Mohon tunggu...
Farly Mochamad
Farly Mochamad Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Sebagai lulusan baru teknologi informasi, saya adalah alumni Kebangsaan Lemhannas 2023 dan peserta Muhibah Budaya Jalur Rempah Indonesia-Malaysia bersama KRI Dewaruci 2024

.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Mengurai Sejarah Perang Dunia II: Dari Invasi Jerman ke Polandia hingga kemerdekaan Indonesia

7 September 2024   14:04 Diperbarui: 7 September 2024   14:05 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
encyclopedia.ushmm.org

Perang Dunia II (PD II) adalah konflik global terbesar dalam sejarah umat manusia, berlangsung dari tahun 1939 hingga 1945. Namun, akar penyebab perang ini dapat ditelusuri lebih jauh ke beberapa dekade sebelumnya, terutama setelah Perang Dunia I (1914-1918). Perjanjian Versailles tahun 1919 yang mengakhiri PD I menanam benih ketidakpuasan di Jerman, terutama karena Jerman harus membayar ganti rugi yang sangat besar, kehilangan wilayah, dan menerima pembatasan militer yang ketat. Hal ini memicu ketidakstabilan ekonomi dan politik di Jerman, yang menjadi salah satu faktor penting dalam memicu Perang Dunia II.

Pada 1920-an dan 1930-an, munculnya rezim otoriter di beberapa negara menjadi sinyal lain menuju perang global. Di Italia, Benito Mussolini mengambil alih kekuasaan pada tahun 1922, dan pada tahun 1933, Adolf Hitler dan Partai Nazi-nya berkuasa di Jerman. Sementara itu, Jepang mulai memperluas wilayahnya di Asia, terutama dengan menyerang Manchuria pada tahun 1931 dan mendirikan negara boneka Manchukuo.

Selama periode ini, nasionalisme ekstrem, kebencian terhadap perjanjian internasional, dan ambisi teritorial menjadi ciri khas kekuatan Poros (Axis Powers) yang terdiri dari Jerman, Italia, dan Jepang. Negara-negara ini, dengan cara berbeda, berusaha memperluas wilayah dan pengaruh mereka dengan mengabaikan norma-norma internasional yang diatur oleh Liga Bangsa-Bangsa.

Awal Perang Dunia II: Serangan Jerman terhadap Polandia (1939)

Perang Dunia II secara resmi dimulai pada 1 September 1939 ketika Jerman, di bawah pimpinan Adolf Hitler, melancarkan invasi besar-besaran ke Polandia. Tindakan agresif ini memicu reaksi cepat dari Inggris dan Prancis, yang dua hari kemudian menyatakan perang terhadap Jerman. Serangan terhadap Polandia menjadi simbol dimulainya konflik global yang akan mengubah dunia secara drastis dalam enam tahun berikutnya. Invasi Jerman tidak hanya mengandalkan kekuatan militer semata, tetapi juga menerapkan strategi blitzkrieg atau "perang kilat", sebuah taktik baru yang memanfaatkan serangan cepat dan terkoordinasi antara kekuatan darat, udara, serta mekanis untuk menghancurkan musuh sebelum mereka sempat merespons.

Untuk memuluskan jalannya, Jerman sebelumnya telah menandatangani Pakta Non-Agresi Molotov-Ribbentrop dengan Uni Soviet pada 23 Agustus 1939. Perjanjian rahasia ini memungkinkan kedua negara untuk membagi wilayah Polandia dan Eropa Timur menjadi zona pengaruh mereka masing-masing. Dengan jaminan bahwa Uni Soviet tidak akan mengganggu invasi Jerman, Hitler merasa bebas untuk melancarkan serangan tanpa risiko perlawanan dari timur.

Pada pagi hari 1 September, serangan dimulai dengan pengeboman kota-kota Polandia oleh angkatan udara Jerman, Luftwaffe, diikuti oleh serangan darat dari pasukan mekanis dan infanteri. Tank-tank Jerman bergerak cepat melalui wilayah Polandia, menembus garis pertahanan, dan mengelilingi pasukan Polandia sebelum mereka sempat membentuk pertahanan yang solid. Dalam beberapa hari, kota-kota penting Polandia hancur, dan pasukan Jerman terus bergerak maju ke pusat negara itu. Blitzkrieg terbukti menjadi taktik yang sangat efektif, memanfaatkan kecepatan dan kekuatan untuk melumpuhkan pertahanan musuh.

Namun, invasi ini tidak hanya datang dari barat. Pada 17 September 1939, Uni Soviet, sesuai dengan perjanjian Molotov-Ribbentrop, menyerang Polandia dari timur. Dengan dua kekuatan besar yang menyerang dari dua arah, Polandia berada dalam posisi yang tidak mungkin untuk bertahan. Pasukan Soviet memasuki Polandia tanpa banyak perlawanan karena sebagian besar angkatan bersenjata Polandia telah sibuk melawan invasi Jerman. Dalam beberapa minggu, negara ini jatuh, dan pada akhir September, ibu kota Warsawa menyerah setelah pengepungan panjang dan brutal. Pada 6 Oktober, seluruh Polandia sudah dikuasai oleh Jerman di barat dan Uni Soviet di timur, yang menandai akhir dari eksistensi Polandia sebagai negara merdeka.

Invasi Polandia menimbulkan reaksi internasional yang kuat. Inggris dan Prancis, yang telah berjanji untuk melindungi Polandia dalam aliansi mereka, menyatakan perang terhadap Jerman pada 3 September 1939. Namun, meskipun telah secara resmi terlibat dalam perang, kedua negara ini tidak segera melancarkan operasi militer skala besar terhadap Jerman, menciptakan periode yang dikenal sebagai "Phoney War" atau perang palsu. Pada periode ini, meskipun perang telah dinyatakan, tidak ada pertempuran langsung antara Jerman dan Sekutu di Eropa Barat hingga serangan Jerman di Prancis pada tahun 1940.

Bagi Polandia, dampak invasi ini sangat menghancurkan. Di bawah pendudukan Jerman, rakyat Polandia menghadapi represi brutal, termasuk penganiayaan sistematis terhadap minoritas, terutama Yahudi. Kota-kota seperti Warsawa dan Krakow dijadikan pusat represi Nazi, dan ghetto-ghetto dibangun untuk memisahkan penduduk Yahudi dari masyarakat umum, sebuah kebijakan yang akhirnya mengarah pada Holocaust. Di sisi timur, Uni Soviet juga menerapkan kebijakan represif, termasuk deportasi massal orang Polandia ke Siberia dan pembunuhan ribuan perwira Polandia dalam Pembantaian Katyn pada tahun 1940.

Secara keseluruhan, invasi Jerman ke Polandia tidak hanya menandai awal Perang Dunia II tetapi juga memulai salah satu periode paling kelam dalam sejarah Eropa. Polandia, terjebak di antara dua kekuatan besar, Jerman dan Uni Soviet, terpecah dan mengalami penderitaan luar biasa. Perang yang dimulai di Polandia pada tahun 1939 akan segera meluas ke seluruh dunia, melibatkan hampir semua benua, dan menyebabkan kerusakan yang tak terbayangkan.

Ekspansi Jerman di Eropa (1940-1941)

Setelah sukses menaklukkan Polandia pada akhir 1939, Adolf Hitler dan Jerman Nazi segera mengalihkan pandangannya ke barat. Tujuan utama berikutnya adalah mengamankan kendali strategis atas Eropa Barat dan menguasai rute perdagangan penting di Laut Utara. Pada April 1940, Jerman melancarkan serangan ke Denmark dan Norwegia. Serangan ini bertujuan untuk mengamankan akses ke sumber daya alam Norwegia, terutama bijih besi, serta memastikan kendali atas jalur laut yang vital untuk perdagangan Jerman. Dalam waktu singkat, Denmark menyerah tanpa perlawanan berarti, sementara Norwegia bertahan sedikit lebih lama sebelum akhirnya jatuh ke tangan Jerman. Keberhasilan ini memberi Jerman posisi yang kuat di Skandinavia, sekaligus memperluas pengaruhnya di Eropa Utara.

Tidak berhenti di sana, pada Mei 1940, Jerman melancarkan serangan terhadap Belanda, Belgia, dan Luksemburg sebagai bagian dari serangan skala besar menuju Prancis. Serangan ini, sekali lagi, menggunakan taktik blitzkrieg yang sudah terbukti efektif selama invasi Polandia. Dalam beberapa hari, pasukan Jerman dengan cepat menembus pertahanan Belanda dan Belgia, yang tidak mampu menahan kecepatan dan kekuatan serangan pasukan Nazi yang sangat terorganisir. Blitzkrieg, dengan perpaduan serangan darat dari tank-tank Panzer dan dukungan udara dari Luftwaffe, melumpuhkan komunikasi dan strategi pertahanan musuh. Belanda menyerah dalam waktu kurang dari seminggu, disusul oleh Belgia beberapa hari kemudian.

Fokus utama serangan ini adalah Prancis, kekuatan besar di Eropa Barat yang merupakan ancaman langsung bagi Jerman. Pada pertengahan Mei, pasukan Jerman berhasil melewati Hutan Ardennes, wilayah yang dianggap tidak dapat ditembus oleh militer Prancis. Keberhasilan ini memungkinkan Jerman mengepung sebagian besar angkatan darat Sekutu di wilayah utara. Salah satu peristiwa paling dramatis dalam kampanye ini adalah evakuasi Dunkirk, di mana lebih dari 300.000 pasukan Inggris dan Prancis berhasil dievakuasi ke Inggris melalui laut, meskipun terkepung oleh pasukan Jerman. Meskipun evakuasi ini dianggap sebagai keajaiban, Prancis tidak dapat bertahan lebih lama lagi.

Pada bulan Juni 1940, hanya dalam waktu enam minggu, Prancis jatuh ke tangan Jerman. Negara ini dibagi menjadi dua wilayah. Bagian utara berada di bawah pendudukan Jerman langsung, sementara di bagian selatan dibentuk pemerintahan kolaboratif yang dikenal sebagai Pemerintahan Vichy, dipimpin oleh Marsekal Philippe Ptain. Pemerintahan ini bersedia bekerja sama dengan Nazi, meskipun tetap mempertahankan semacam otonomi. Jatuhnya Prancis menjadi pukulan besar bagi Sekutu, terutama bagi Inggris yang kini menjadi satu-satunya kekuatan besar di Eropa yang melawan ekspansi Nazi.

Di tengah-tengah kemenangan Jerman di Eropa Barat, Inggris tetap teguh dalam perlawanan. Pada Mei 1940, Winston Churchill diangkat sebagai Perdana Menteri Inggris, dan ia segera memimpin negaranya dengan semangat yang pantang menyerah. Pada musim panas dan gugur tahun 1940, Jerman melancarkan serangan udara besar-besaran terhadap Inggris, yang dikenal sebagai Pertempuran Inggris (Battle of Britain). Tujuan Jerman adalah untuk melumpuhkan kekuatan udara Inggris, Royal Air Force (RAF), dan mempersiapkan invasi darat ke pulau tersebut. Namun, berkat keunggulan teknologi radar dan taktik pertahanan udara yang canggih, RAF berhasil menahan serangan-serangan Jerman. Meskipun London dan kota-kota lainnya mengalami kerusakan besar akibat serangan bom, Inggris berhasil bertahan, dan Hitler terpaksa menunda rencana invasi yang dikenal sebagai Operasi Sea Lion.

Di sisi lain Eropa, sekutu Jerman, Italia, yang dipimpin oleh Benito Mussolini, mencoba memperluas pengaruhnya di Mediterania. Pada Oktober 1940, Italia menyerang Yunani dari Albania, namun serangan ini segera berubah menjadi bencana. Yunani memberikan perlawanan keras, memaksa pasukan Italia mundur. Kekalahan ini mempermalukan Mussolini dan mengancam ambisi ekspansi Italia di kawasan tersebut. Selain itu, pada waktu yang hampir bersamaan, Italia juga melancarkan serangan ke Mesir, yang saat itu berada di bawah kendali Inggris, dari wilayah Libya. Namun, kampanye ini juga gagal, dan pasukan Italia menghadapi kekalahan berulang kali.

Kegagalan militer Italia memaksa Hitler untuk campur tangan. Pada awal 1941, Jerman mengirimkan bantuan militer ke Afrika Utara, yang dikenal sebagai Korps Afrika (Afrika Korps), dipimpin oleh Jenderal Erwin Rommel. Pasukan ini segera terlibat dalam serangkaian pertempuran melawan Inggris di gurun Afrika Utara. Pada saat yang sama, Jerman juga meluncurkan kampanye militer untuk menaklukkan Yunani dan wilayah Balkan lainnya, termasuk Yugoslavia, yang segera jatuh ke tangan Jerman pada April 1941.

Ekspansi militer Jerman di Eropa pada periode 1940-1941 menunjukkan kekuatan luar biasa yang dimiliki oleh Nazi di bawah pimpinan Hitler. Dengan menguasai sebagian besar Eropa Barat, serta memperluas pengaruhnya di Balkan dan Afrika Utara, Jerman tampaknya tak terbendung. Namun, meskipun berhasil menaklukkan banyak negara, perlawanan dari Inggris dan kesulitan yang muncul di Afrika Utara dan Balkan menunjukkan bahwa dominasi Jerman di Eropa tidaklah absolut. Inggris tetap berdiri kokoh sebagai benteng perlawanan, dan situasi di Mediterania menunjukkan bahwa Sekutu masih memiliki peluang untuk membalikkan keadaan. Pertempuran ini hanyalah awal dari konflik yang akan terus meluas dan menjadi semakin brutal seiring berjalannya waktu.

Perang di Timur: Serangan Jerman ke Uni Soviet (1941)

Pada 22 Juni 1941, Jerman meluncurkan Operasi Barbarossa, sebuah invasi yang direncanakan dengan sangat ambisius untuk menyerang Uni Soviet. Operasi ini merupakan salah satu serangan militer terbesar dalam sejarah dunia, baik dalam hal skala maupun dampaknya. Dengan mengerahkan lebih dari tiga juta tentara, ribuan tank, dan pesawat tempur di sepanjang front Timur yang membentang lebih dari 2.900 kilometer, Hitler bertekad untuk menaklukkan Uni Soviet dan mengakhiri apa yang ia lihat sebagai ancaman terbesar bagi rencana global Nazi: komunisme.

Motif utama di balik serangan ini adalah ideologi dan ambisi ekonomi. Hitler ingin menghancurkan komunisme dan menggulingkan Joseph Stalin, pemimpin Soviet yang telah lama menjadi musuh ideologisnya. Selain itu, Uni Soviet, dengan wilayahnya yang luas dan kaya sumber daya, terutama Ukraina yang dikenal sebagai "keranjang roti" Eropa, menjadi sasaran strategis yang berharga bagi Jerman. Dengan menguasai wilayah tersebut, Hitler berharap dapat mengamankan pasokan pangan, minyak, dan bahan mentah yang sangat dibutuhkan untuk menopang mesin perangnya dalam jangka panjang.

Pada awalnya, Operasi Barbarossa berjalan sesuai rencana. Pasukan Jerman, yang mengandalkan taktik blitzkrieg (perang kilat), maju dengan kecepatan yang mengejutkan. Mereka menduduki wilayah-wilayah penting di Eropa Timur, termasuk wilayah Baltik, Belarusia, dan Ukraina. Di setiap pertempuran awal, pasukan Soviet terpaksa mundur karena keunggulan Jerman dalam persenjataan dan taktik. Pada musim panas 1941, Jerman bahkan berhasil mendekati ibu kota Uni Soviet, Moskow, dalam waktu yang relatif singkat, menciptakan kepanikan di pihak Soviet.

Namun, meskipun mengalami kerugian besar, Uni Soviet di bawah pimpinan Stalin tidak pernah menyerah. Stalin, yang sempat terkejut dengan serangan mendadak Jerman, segera mengorganisir pertahanan negara dan memobilisasi seluruh sumber daya untuk melawan invasi tersebut. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia, Uni Soviet memiliki keuntungan dalam jumlah manusia dan wilayah, yang memberikan mereka kemampuan untuk terus memproduksi senjata dan merekrut pasukan dalam jumlah besar. Stalin juga mengadopsi strategi "bumi hangus", di mana pasukan Soviet membakar ladang, menghancurkan infrastruktur, dan merusak jalur transportasi agar tidak bisa dimanfaatkan oleh pasukan Jerman.

Namun, yang menjadi titik balik utama bagi Jerman dalam kampanye ini adalah datangnya musim dingin Rusia yang keras. Hitler dan jenderal-jenderalnya, yang terlalu percaya diri dengan kemampuan mereka untuk menyelesaikan perang sebelum musim dingin tiba, tidak mempersiapkan pasukan mereka untuk kondisi cuaca ekstrem di Rusia. Suhu yang sangat rendah, medan yang sulit, dan kurangnya perbekalan memaksa pasukan Jerman untuk melambat. Peralatan militer mulai rusak, dan banyak tentara Jerman yang tewas bukan karena pertempuran, melainkan karena kedinginan dan kelaparan.

Pada akhir tahun 1941, Jerman berusaha untuk merebut Moskow dalam serangan terakhir sebelum musim dingin sepenuhnya melumpuhkan mereka. Namun, perlawanan gigih dari Tentara Merah, didukung oleh rakyat sipil Soviet yang berjuang mempertahankan ibu kota mereka, menghentikan serangan tersebut. Pada Desember 1941, dengan kondisi pasukan Jerman yang semakin lemah, Tentara Merah melancarkan serangan balasan besar-besaran yang berhasil memaksa pasukan Jerman mundur dari Moskow. Ini menjadi pertama kalinya sejak dimulainya Perang Dunia II bahwa pasukan Jerman mengalami kekalahan signifikan di medan perang.

Kegagalan untuk merebut Moskow menandai titik balik penting dalam Perang Dunia II. Invasi Jerman ke Uni Soviet, yang awalnya tampak seperti kemenangan pasti, mulai terlihat sebagai bencana militer yang tidak bisa dihindari. Meskipun pertempuran di Front Timur terus berlanjut dengan intensitas yang luar biasa selama beberapa tahun ke depan, mulai dari Pertempuran Stalingrad hingga Kursk, kegagalan Operasi Barbarossa menunjukkan bahwa Jerman tidak lagi tak terkalahkan. Jumlah korban jiwa di kedua belah pihak sangat besar, dengan jutaan tentara dan warga sipil yang tewas, menjadikan Front Timur sebagai medan perang paling mematikan dalam sejarah manusia.

Pertempuran di Front Timur tidak hanya mengubah arah perang, tetapi juga menciptakan penderitaan luar biasa bagi penduduk sipil. Pendudukan Jerman di wilayah Soviet ditandai dengan kebrutalan yang luar biasa, termasuk pembantaian massal terhadap penduduk Yahudi dan tindakan genosida lainnya. Di sisi lain, Stalin memanfaatkan situasi tersebut untuk memperkuat kontrol politiknya di dalam negeri, memberlakukan kebijakan ketat untuk memastikan rakyat Soviet tetap loyal dan mendukung perang melawan Nazi.

Meskipun Jerman terus berjuang keras untuk mempertahankan posisi mereka di Front Timur, mereka tidak pernah pulih sepenuhnya dari kegagalan awal mereka dalam merebut Moskow dan menghancurkan Uni Soviet. Pertempuran di Front Timur menjadi salah satu faktor utama yang menguras sumber daya Jerman dan berkontribusi pada kekalahan akhir mereka dalam Perang Dunia II.

Amerika Serikat Masuk Perang: Serangan Jepang ke Pearl Harbor (1941)

Pada 7 Desember 1941, dunia dikejutkan oleh serangan mendadak Jepang terhadap pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbor, Hawaii. Di pagi hari yang tenang, lebih dari 350 pesawat tempur Jepang muncul di atas langit Pearl Harbor dan melancarkan serangan udara yang sangat menghancurkan. Serangan tersebut menargetkan kapal-kapal perang, pesawat tempur, serta infrastruktur militer penting milik Amerika. Dalam waktu kurang dari dua jam, Jepang berhasil merusak atau menghancurkan delapan kapal perang, tiga kapal penjelajah, dan hampir 200 pesawat tempur. Lebih dari 2.400 tentara dan warga sipil Amerika tewas, dan lebih dari 1.000 lainnya terluka.

Serangan ke Pearl Harbor adalah bagian dari rencana strategis Jepang untuk menetralkan ancaman Angkatan Laut AS di Pasifik dan memuluskan jalan bagi ekspansi Jepang di Asia Tenggara dan Pasifik. Selama beberapa dekade, Jepang telah mencoba memperluas pengaruhnya di kawasan tersebut, dengan menjajah Korea, China, dan kemudian menduduki wilayah Asia Tenggara untuk mengamankan sumber daya alam yang mereka perlukan, seperti minyak dan karet. Namun, ekspansi Jepang bertentangan dengan kepentingan negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, yang khawatir atas dominasi Jepang di kawasan tersebut.

Sebelum serangan ini, hubungan antara Amerika Serikat dan Jepang sudah sangat tegang, terutama setelah AS memberlakukan embargo minyak terhadap Jepang sebagai protes atas invasi Jepang ke China dan Indo-China Prancis. Embargo ini secara langsung mengancam ekonomi Jepang dan kemampuan militernya untuk melanjutkan perang di Asia. Oleh karena itu, Jepang memandang serangan terhadap Pearl Harbor sebagai langkah preventif untuk melumpuhkan AS sebelum negara itu sempat mengintervensi ekspansi mereka di Asia.

Meskipun serangan ini dianggap sukses dalam jangka pendek karena mampu menghancurkan sebagian besar armada Pasifik AS, dalam jangka panjang, ini menjadi kesalahan besar bagi Jepang. Sebaliknya dari membuat AS mundur, serangan ini justru membangkitkan semangat perang di seluruh Amerika. Pada 8 Desember 1941, Presiden Franklin D. Roosevelt berpidato di depan Kongres AS dan menyebut tanggal serangan tersebut sebagai "a date which will live in infamy" (tanggal yang akan hidup dalam kenistaan). Dengan dukungan publik yang sangat besar, Amerika Serikat segera menyatakan perang terhadap Jepang.

Tak hanya Jepang yang menjadi musuh Amerika, beberapa hari setelah itu, Jerman dan Italia, sebagai sekutu Jepang dalam Pakta Tripartit, juga menyatakan perang terhadap Amerika Serikat. Dengan demikian, AS tidak hanya terlibat dalam Perang Pasifik melawan Jepang, tetapi juga dalam Perang Dunia II yang lebih luas melawan Blok Poros di Eropa. Keterlibatan AS membawa perubahan besar dalam dinamika perang, karena negara ini memiliki kekuatan industri, militer, dan sumber daya manusia yang sangat besar.

Kehadiran Amerika Serikat di medan perang memberi harapan baru bagi Sekutu. Di Eropa, Inggris dan Uni Soviet yang tengah menghadapi tekanan besar dari Jerman, menyambut keterlibatan AS dengan antusias. Di Pasifik, AS segera memulai kampanye untuk merebut kembali wilayah-wilayah yang diduduki Jepang. Kekuatan industri Amerika yang luar biasa memungkinkan negara ini memproduksi pesawat, kapal perang, senjata, dan amunisi dalam jumlah besar, yang akan menjadi kunci dalam perjuangan panjang melawan kekuatan Poros.

Serangan terhadap Pearl Harbor bukan hanya menjadi titik balik dalam Perang Dunia II, tetapi juga mengubah lanskap politik global secara drastis. Amerika Serikat yang sebelumnya berusaha mempertahankan netralitasnya kini secara aktif memimpin perjuangan Sekutu melawan kekuatan fasis di seluruh dunia. Dengan sumber daya militer yang hampir tak terbatas, AS memainkan peran sentral dalam memenangkan perang, baik di Eropa maupun di Pasifik.

Keterlibatan Amerika Serikat juga mempercepat inovasi teknologi dan perubahan dalam strategi perang. Salah satu contohnya adalah pengembangan kapal induk sebagai tulang punggung Angkatan Laut AS, menggantikan kapal perang besar yang rusak di Pearl Harbor. Strategi baru yang berfokus pada perang udara dan laut memungkinkan Amerika dan Sekutu untuk secara bertahap merebut kembali wilayah yang jatuh ke tangan Jepang.

Dengan masuknya Amerika Serikat ke dalam Perang Dunia II, perang berubah dari konflik yang sebagian besar terbatas di Eropa dan Asia menjadi konflik global yang melibatkan hampir setiap benua. Kekuatan ekonomi dan militer AS mengubah jalannya perang dan pada akhirnya, bersama dengan sekutu lainnya, membawa kekalahan bagi Blok Poros.

Serangan Jepang terhadap Pearl Harbor tidak hanya mengundang pembalasan dari Amerika Serikat tetapi juga mengawali kampanye panjang yang mengarah pada kejatuhan Kekaisaran Jepang, yang berpuncak pada pengeboman atom Hiroshima dan Nagasaki empat tahun kemudian.

Kemenangan Sekutu di Afrika dan Italia (1942-1943)

Di tengah perang yang berkecamuk di berbagai penjuru dunia, Afrika Utara menjadi medan penting dalam Perang Dunia II. Setelah kekalahan pasukan Jerman di Front Timur pada akhir 1941, Adolf Hitler mengalihkan fokusnya untuk mendukung sekutu utama di Eropa, Italia, yang dipimpin oleh Benito Mussolini. Mussolini sebelumnya telah berusaha memperluas pengaruh Italia di wilayah Mediterania dan Afrika Utara, tetapi kampanye militernya di wilayah tersebut terbukti bencana, dan Hitler harus mengirim bantuan berupa Korps Afrika yang dipimpin oleh Marsekal Erwin Rommel, yang dikenal sebagai "Singa Gurun."

Pada awal 1942, pasukan Poros (Jerman dan Italia) tampak mendominasi Afrika Utara, berhasil mendesak mundur pasukan Inggris dan Sekutu hingga ke Mesir. Rommel, dengan kepemimpinannya yang cemerlang, terus mendorong pasukannya menuju Terusan Suez, yang merupakan rute penting bagi sekutu. Namun, pada Oktober 1942, momentum perang di Afrika Utara berubah drastis setelah Pertempuran El Alamein yang kedua. Di bawah komando Jenderal Bernard Montgomery, pasukan Inggris dan Persemakmuran melancarkan serangan balik yang menghancurkan pasukan Rommel. Kemenangan ini sangat penting karena menandai titik balik dalam kampanye Afrika Utara, mengakhiri ambisi Jerman dan Italia di wilayah tersebut.

Dengan kemenangan di El Alamein, Sekutu segera melancarkan Operasi Torch pada November 1942, sebuah invasi amfibi besar-besaran yang melibatkan pasukan Amerika Serikat dan Inggris yang mendarat di Maroko dan Aljazair, yang saat itu berada di bawah kendali pemerintah kolaboratif Vichy Prancis. Operasi ini berhasil mengepung pasukan Poros di Tunisia. Setelah berbulan-bulan pertempuran sengit, pada Mei 1943, pasukan Sekutu berhasil mengusir seluruh pasukan Poros dari Afrika Utara. Sekitar 250.000 tentara Jerman dan Italia ditangkap, mengakhiri kehadiran militer Poros di benua Afrika.

Kemenangan Sekutu di Afrika Utara memberikan landasan penting bagi langkah berikutnya dalam perang, yakni invasi ke Eropa Selatan melalui Italia, yang dianggap sebagai "perut lembut Eropa" oleh Winston Churchill. Pada Juli 1943, pasukan Sekutu melancarkan Operasi Husky, invasi besar-besaran ke Sisilia. Pendaratan ini merupakan keberhasilan strategis yang mempercepat runtuhnya pemerintahan Benito Mussolini di Italia. Dalam waktu singkat, Mussolini ditangkap dan digulingkan dari kekuasaan oleh Raja Victor Emmanuel III dan pemerintah Italia yang baru.

Namun, meskipun Italia menyerah kepada Sekutu pada September 1943, pertempuran di Italia jauh dari selesai. Pasukan Jerman segera mengambil alih kendali di Italia utara dan tengah, mendirikan pemerintahan boneka di bawah Mussolini yang dibebaskan dari penahanan oleh pasukan Jerman. Jerman juga membangun garis pertahanan yang kuat di sepanjang semenanjung Italia, yang dikenal sebagai Garis Gustav, yang menghambat kemajuan Sekutu menuju Roma.

Selama dua tahun berikutnya, pertempuran di Italia menjadi salah satu kampanye paling brutal dan berdarah dalam Perang Dunia II. Pasukan Sekutu harus berjuang melawan medan yang sulit, pegunungan yang terjal, dan pertahanan Jerman yang gigih. Meskipun begitu, mereka terus maju perlahan ke utara, merebut kota demi kota. Pertempuran paling terkenal selama kampanye Italia adalah Pertempuran Monte Cassino, yang berlangsung dari Januari hingga Mei 1944, di mana pasukan Sekutu akhirnya berhasil menembus garis pertahanan Jerman.

Kemenangan di Afrika Utara dan invasi ke Italia membawa implikasi strategis yang sangat besar bagi jalannya perang. Keberhasilan ini membuka front baru di Eropa yang memaksa Jerman untuk membagi sumber daya mereka, mengurangi tekanan di Front Timur melawan Uni Soviet. Selain itu, kampanye Italia menunjukkan tekad Sekutu untuk terus menekan pasukan Poros hingga mencapai kemenangan total. Dengan Italia kini berada di bawah kendali Sekutu, perhatian segera beralih ke tahap berikutnya yang lebih besar---invasi ke Prancis yang diduduki Jerman, yang akan diluncurkan pada tahun 1944 dan menjadi titik balik utama dalam Perang Dunia II.

Titik Balik di Eropa Timur dan Barat (1943-1944)

Pada tahun 1943, Perang Dunia II mencapai titik balik yang krusial di Eropa. Di Front Timur, setelah kekalahan Jerman di Pertempuran Stalingrad (1942-1943), Uni Soviet memulai serangan balik besar-besaran yang mengubah arah perang. Pertempuran Stalingrad merupakan salah satu pertempuran paling brutal dan berdarah dalam sejarah, dengan jutaan korban tewas di kedua belah pihak. Setelah kemenangan Soviet, pasukan Jerman yang sebelumnya mendominasi di wilayah Soviet, mulai terdesak mundur. Tentara Merah, di bawah komando Joseph Stalin, berhasil merebut kembali wilayah yang sebelumnya diduduki Jerman, termasuk kota-kota penting seperti Kiev, dan mendorong pasukan Nazi keluar dari Uni Soviet menuju Eropa Timur.

Pertempuran Kursk pada Juli 1943 menjadi pertempuran tank terbesar dalam sejarah, di mana pasukan Soviet menghancurkan kekuatan tank Jerman dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kekalahan Jerman di Kursk memastikan bahwa mereka tidak lagi mampu melancarkan serangan besar di Front Timur. Soviet terus mendesak ke barat, membebaskan wilayah di Eropa Timur, seperti Polandia, Ukraina, dan negara-negara Baltik, sementara pasukan Jerman semakin tertekan dan kehilangan kekuatan untuk melawan. Momentum kemenangan ini membuat Uni Soviet semakin percaya diri dalam usahanya untuk mencapai Berlin dan mengalahkan Nazi secara total.

Sementara itu, di Front Barat, pada 6 Juni 1944, Sekutu Barat yang dipimpin oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada meluncurkan invasi besar-besaran ke pantai Normandia di Prancis dalam operasi yang dikenal sebagai D-Day. Ini merupakan salah satu operasi militer terbesar dan paling ambisius dalam sejarah, melibatkan ratusan ribu pasukan Sekutu yang mendarat di pantai Prancis. D-Day merupakan peristiwa kunci yang menandai dimulainya pembebasan Eropa Barat dari pendudukan Jerman. Dengan koordinasi yang baik antara angkatan darat, laut, dan udara, Sekutu berhasil menembus pertahanan Jerman di Pantai Normandia, meskipun perlawanan sengit dari pasukan Nazi.

Setelah pendaratan di Normandia, Sekutu bergerak cepat melalui Prancis, membebaskan Paris pada Agustus 1944. Dengan bantuan pasukan Perlawanan Prancis, mereka mendesak pasukan Jerman ke arah timur. Operasi D-Day tidak hanya penting karena membuka front baru di Eropa Barat, tetapi juga karena memaksa Jerman untuk berperang di dua front---di Barat melawan Sekutu dan di Timur melawan Uni Soviet. Ini melemahkan kekuatan Jerman secara signifikan, karena mereka tidak dapat fokus pada satu front perang saja.

Invasi di Front Timur dan Barat menandai titik balik strategis dalam Perang Dunia II. Pasukan Jerman mulai terjepit dari dua arah, dengan Sekutu Barat mendekat dari Prancis dan Soviet mendekati Jerman dari Timur. Setelah beberapa tahun perang brutal, momentum mulai berpindah ke tangan Sekutu. Tahun 1944 menjadi tahun yang penuh dengan kemenangan bagi Sekutu, menandakan awal dari berakhirnya dominasi Nazi di Eropa.

Akhir Perang di Eropa: Kekalahan Jerman (1945)

Setelah keberhasilan pendaratan Sekutu di Normandia pada D-Day dan pembebasan Paris pada Agustus 1944, pasukan Sekutu melanjutkan kemajuan cepat melintasi Eropa Barat. Dengan kekuatan militer yang semakin besar, Sekutu menghadapi perlawanan keras dari pasukan Nazi yang mulai terdesak ke wilayah Jerman. Pada akhir tahun 1944, Pasukan Jerman mencoba melancarkan serangan balik terakhir di Pertempuran Bulge, tetapi upaya ini gagal, dan Sekutu terus mendesak ke jantung Jerman.

Di Front Timur, Tentara Merah Uni Soviet juga bergerak maju dengan kekuatan besar setelah kemenangan telak di Stalingrad dan Kursk. Sepanjang tahun 1944 dan awal 1945, pasukan Soviet berhasil merebut kembali wilayah Eropa Timur dan akhirnya mencapai perbatasan Jerman. Pada awal tahun 1945, pasukan Soviet mendekati Berlin, kota terakhir yang menjadi simbol kekuatan Nazi.

Pada April 1945, Berlin dikepung oleh Tentara Merah, dan pertempuran brutal terjadi di dalam kota. Sementara itu, di barat, pasukan Sekutu terus menembus wilayah Jerman, dengan pasukan Amerika Serikat dan Inggris mencapai sungai Elbe. Hitler, yang telah kehilangan harapan untuk kemenangan, berlindung di bunkernya di bawah Reich Chancellery di Berlin. Pada 30 April 1945, Adolf Hitler mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri, menyadari bahwa kekalahannya tidak terelakkan.

Setelah kematian Hitler, pasukan Nazi yang tersisa hanya memiliki sedikit pilihan selain menyerah. Pada 7 Mei 1945, Jerman secara resmi menyerah tanpa syarat kepada pasukan Sekutu Barat di markas besar Jenderal Dwight D. Eisenhower di Reims, Prancis. Keesokan harinya, 8 Mei 1945, ditetapkan sebagai Hari Kemenangan di Eropa (V-E Day), merayakan berakhirnya perang di Eropa. Penyerahan ini mengakhiri perang yang telah menghancurkan sebagian besar benua Eropa, menyebabkan jutaan korban jiwa, dan membawa bencana kemanusiaan yang luar biasa.

Dengan kekalahan Jerman, rezim Nazi yang brutal runtuh, dan wilayah Jerman mulai dibagi dan diduduki oleh Sekutu, termasuk Amerika Serikat, Uni Soviet, Inggris, dan Prancis. Proses denazifikasi dan rekonstruksi Jerman dimulai setelah perang, sementara para pemimpin Nazi yang bertanggung jawab atas kekejaman perang dibawa ke pengadilan di Nuremberg. Kekalahan Nazi Jerman menandai berakhirnya perang yang mengerikan di Eropa, namun Perang Dunia II belum sepenuhnya usai, karena konflik masih berlanjut di Pasifik antara Sekutu dan Jepang.

Akhir Perang di Asia: Penyerahan Jepang (1945)

Di teater Pasifik, meskipun Jepang mengalami kekalahan dalam banyak pertempuran besar dan menghadapi tekanan berat dari Sekutu, mereka tetap berjuang dengan gigih dan menolak untuk menyerah. Pada pertengahan tahun 1945, situasi semakin mendesak bagi Amerika Serikat dan sekutunya, yang mencari cara untuk mengakhiri perang dengan cepat tanpa harus melancarkan invasi darat yang diperkirakan akan sangat memakan korban jiwa.

Dalam upaya untuk memaksa Jepang menyerah dan menghindari konflik yang lebih panjang, Amerika Serikat memutuskan untuk menggunakan senjata nuklir yang baru dikembangkan. Pada 6 Agustus 1945, pesawat B-29 Enola Gay menjatuhkan bom atom pertama di kota Hiroshima, yang menyebabkan kehancuran besar dan menewaskan sekitar 140.000 orang, sebagian besar adalah warga sipil. Bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki pada 9 Agustus 1945, menewaskan sekitar 70.000 orang. Kedua serangan ini memberikan dampak yang sangat mengerikan, menghancurkan infrastruktur dan menambah beban psikologis bagi penduduk Jepang.

Kehancuran yang ditimbulkan oleh bom atom, ditambah dengan serangan besar-besaran oleh pasukan Soviet di Manchuria dan tekanan dari blokade laut yang telah memperparah krisis ekonomi dan kekurangan sumber daya di Jepang, menyebabkan pemerintah Jepang akhirnya menyerah. Pada 15 Agustus 1945, Kaisar Hirohito mengumumkan kepada rakyat Jepang melalui siaran radio bahwa Jepang akan menyerah tanpa syarat, menandai akhir dari Perang Dunia II di Asia.

Penyerahan resmi Jepang dilakukan pada 2 September 1945, di atas kapal USS Missouri yang berlabuh di Teluk Tokyo. Dalam upacara yang dipimpin oleh Jenderal Douglas MacArthur, yang memimpin pasukan Sekutu di Asia Pasifik, pejabat Jepang menandatangani dokumen penyerahan yang menandai akhir dari konflik global yang paling dahsyat dalam sejarah. Penandatanganan ini menandai berakhirnya Perang Dunia II secara keseluruhan, mengakhiri perjuangan yang telah mengakibatkan kehancuran dan kehilangan nyawa dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Pengaruh Perang Dunia II terhadap Indonesia

Perang Dunia II membawa perubahan yang mendalam dan signifikan bagi Indonesia, yang pada saat itu masih merupakan koloni Belanda, Hindia Belanda. Awalnya, Belanda terlibat dalam konflik global dengan mendukung Sekutu. Namun, situasi berubah drastis ketika Jepang melancarkan serangkaian invasi ke wilayah Asia Tenggara, termasuk Hindia Belanda. Pada Maret 1942, pasukan Jepang berhasil menduduki Indonesia, menggulingkan pemerintahan kolonial Belanda dan mengakhiri dominasi Belanda atas kepulauan tersebut.

Pendudukan Jepang di Indonesia berlangsung selama tiga tahun dan membawa dampak yang kompleks dan mendalam bagi masyarakat Indonesia. Jepang, yang pada awalnya dianggap sebagai pembebas dari penjajahan Belanda, segera memperlihatkan wajahnya sebagai penjajah baru dengan kebijakan yang sangat keras. Pemerintahan Jepang memberlakukan kerja paksa (romusha) yang melibatkan jutaan orang Indonesia dalam kondisi yang sangat berat, pengambilalihan sumber daya alam untuk kepentingan perang Jepang, dan represi politik yang ketat. Kebijakan ini menyebabkan penderitaan yang luas dan memperburuk kondisi kehidupan rakyat Indonesia.

Namun, di balik penderitaan yang dialami, pendudukan Jepang juga membuka kesempatan bagi gerakan nasionalis Indonesia untuk berkembang. Jepang, dalam upaya untuk menggalang dukungan lokal dan mengurangi perlawanan, memberikan pelatihan militer kepada pemuda Indonesia dan mendirikan organisasi semi-militer seperti PETA (Pembela Tanah Air). PETA menjadi landasan penting bagi pembentukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) di kemudian hari. Melalui pelatihan dan pembentukan organisasi ini, Jepang tidak sengaja memperkuat kapasitas organisasi yang nantinya akan memainkan peran kunci dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Saat Jepang mulai menghadapi kekalahan dalam perang, mereka berusaha menarik dukungan dari para nasionalis dengan menawarkan janji kemerdekaan. Pada 9 Agustus 1945, Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dipimpin oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Meski pembentukan PPKI ini dimaksudkan untuk menunjukkan dukungan Jepang terhadap kemerdekaan, kekalahan Jepang yang tidak terhindarkan pada bulan yang sama memberi momentum bagi para pemimpin Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaan mereka.

Pada 17 Agustus 1945, dua hari setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, Soekarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Proklamasi ini menandai lahirnya Republik Indonesia, meskipun Belanda mencoba untuk kembali menguasai wilayah tersebut setelah perang. Perjuangan untuk kemerdekaan berlanjut hingga akhirnya Indonesia diakui secara internasional pada tahun 1949 setelah melalui berbagai perundingan dan konflik.

Pengaruh Perang Dunia II terhadap Indonesia tidak hanya terletak pada perubahan politik dan administratif, tetapi juga pada proses transformasi sosial dan militer yang mempersiapkan negara baru ini untuk berdiri sebagai sebuah bangsa merdeka di panggung internasional. Perubahan ini menciptakan dasar bagi perjuangan Indonesia untuk mendapatkan pengakuan penuh dan kemerdekaan yang diinginkan.

Kesimpulan

Perang Dunia II adalah salah satu peristiwa paling monumental dalam sejarah manusia yang membawa perubahan drastis di seluruh dunia. Konflik global ini, yang berlangsung dari 1939 hingga 1945, tidak hanya mengakibatkan kerugian manusia dan materi yang sangat besar tetapi juga meruntuhkan banyak negara dan mengubah tatanan politik global. Perang ini mengakhiri era kolonialisme di banyak bagian dunia, memicu dekolonisasi di Asia dan Afrika, dan membentuk peta politik baru yang mempengaruhi hubungan internasional hingga hari ini.

Bagi Indonesia, Perang Dunia II membawa dampak yang signifikan dan mendalam. Pendudukan Jepang, meskipun dilakukan dengan cara yang sangat menindas, memberikan momentum yang sangat penting bagi gerakan nasionalis Indonesia. Jepang, dengan kebijakan dan tindakannya, secara tidak langsung memfasilitasi perkembangan kapasitas militer dan politik para pemimpin Indonesia yang nantinya akan memimpin perjuangan kemerdekaan. Melalui Proklamasi Kemerdekaan yang diumumkan pada 17 Agustus 1945, Indonesia memasuki era baru sebagai negara merdeka.

Kesimpulannya, Perang Dunia II bukan hanya tentang konflik militer dan kekalahan bangsa-bangsa, tetapi juga tentang perubahan besar dalam struktur kekuasaan dan hubungan internasional. Untuk Indonesia, perang ini adalah katalisator penting bagi lahirnya kemerdekaan dan pembentukan identitas bangsa baru. Sejarah ini mencerminkan bagaimana konflik global dapat mengubah nasib sebuah negara dan mempengaruhi perjalanan sejarahnya secara mendalam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun