Mohon tunggu...
M Alfarizzi Nur
M Alfarizzi Nur Mohon Tunggu... Lainnya - Paralegal Posbakumadin Lampung

Paralegal yang senang bertutur melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

4 Penumpang Gelap (Bagian 4): Perbincangan Terakhir Yono

2 November 2023   08:08 Diperbarui: 2 November 2023   08:50 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sesama prajurit saling menolong (Sumber: Military.com)

Prajurit belanda itu mencoba terbangun. Bokongnya cukup keras menghentak lantai kedai, sehingga membuat dirinya tertatih sakit untuk kembali berdiri. Kolonel Vogel menatap sinis prajurit tersebut, gestur yang dia perlihatkan seolah akan menggambarkan nasib dan masa depan prajurit tersebut.

"Komerad, sekali lagi melakukan tindakan yang gegabah. Aku dapat memastikan dirimu tergantung di alun-alun kota ini. Mengerti ?!" tegas Kolonel Vogel.

Prajurit belanda yang mendengarnya itu langsung terbelalak. Seketika itu kesadarannya kembali, barangkali iblis yang berbisik telah pergi untuk mencari korban lainnya. Yono masih bersimpuh, wajahnya kusam, bibirnya kering, dan siku lengannya terluka. Kolonel Vogel di warnai dengan kebimbangan, kali ini bukan soal moralitas atau batin, tetapi lebih tepat karena faktor politik yang masih membara di Ibukota Batavia belakangan ini. Keributan yang terjadi antara internal militer Belanda mengakibatkan beberapa kelompok tertentu sibuk mencari kesalahannya para oposisi atau musuh-musuhnya.

Kolonel Vogel menghela napas, menggaruk alis dan menoleh ke arah para serdadu di belakangnya. "Hei, bawa Peter dan prajurit kolot ini keluar dari kedai. Oh ya, kamu yang berada di belakang coba lihat dahulu di dapur apakah masih ada orang disana" perintah Kolonel Vogel. Para serdadu itu memberikan salam hormat dan langsung melaksanakan perintah atasannya itu. Peter dan prajurit Belanda itu digiring ke arah mobil kompi militer yang terparkir di luar kedai, sedangkan sisanya menyisir bagian bar dan dapur untuk mencari orang atau korban lainnya. Beruntung Romi telah pergi melalui pintu belakang dari dapur. Dirinya berlari setelah tembakan berhenti.

"Aman Kolonel. Tidak ada lagi orang selain kita disini" lapor serdadu tersebut.

"Baiklah, bawa mayat-mayat ini. Masukan ke dalam Kompi dan tunggu perintahku"

"Siap !" bergegas para serdadu itu membopong mayat ke luar kedai.

"Hei, tolong juga amankan masyarakat di sekitar sini. Jangan mendekati TKP"

"Siap !" prajurit itu keluar dengan berjalan terhuyung-huyung.

"Kenapa dengan dirimu, terkena peluru-kah ?"

"Ya" prajurit itu membuka mengangkat baju, dan memperlihat luka pada perut kirinya itu

"Cih, cepat obati sebelum terlambat"

"Siap.."

Seluruh serdadu telah hilang. Keramaian kedai berubah menjadi kesunyian yang begitu gelap dan dingin. Matahari sudah mulai terbenam dari ufuk barat, langit telah menebar spektrum warna jingga kemerahan. Banyak dari masyarakat yang hilir menuju rumah mereka masing-masing, walaupun dalam benak mereka masih menyisakan tanda tanya apa yang sedang terjadi kedai yang paling terkenal itu.

"Ha.. Ha.. Ha.." Yono terduduk di meja bar dengan keadaan terengah-engah. Nafasnya semakin pendek, mungkin karena faktor syok.

Salah satu kursi yang terlihat masih utuh, tetapi tergeletak jatuh di lantai ditegakan kembali oleh Kolonel Vogel. Dirinya dan Yono duduk berdampingan melihat secercah cahaya sore yang semakin menipis di antara sela-sela jendela dan ventelasi yang rusak akibat terkena tembakan.

"Haus ?"

"Y-ya..." ujar Yono yang masih berusaha mengatur nafasnya

Kolonel Vogel melirik ke arah dalam bar. Berharap masih ada brendi atau minuman lainnya yang masih tersisa. Kolonel Vogel beranjak dari kursinya, membuka tiap laci dan lemari bar, masuk ke arah dapur, membuka beberapa kardus minuman dan menemukan sebotol brendi yang nampaknya masih terselamatkan oleh beberapa peluru. Setelahnya Kolonel Vogel kembali ke bar membuka laci gelas dan mengambilnya. Aneh tetapi konyol, sekian banyak peluru dilepaskan laci lemari yang dipenuhi dengan gelas masih tetap utuh, pikir Kolonel Vogel.

Tutup botol dibuka dengan cara mencungkilnya menggunakan pisau lipat. Kolonel Vogel melihat Yono yang masih terus mengatur nafas, terlihat juga tangan kirinya memegangi dada bagian kanan. Segera botol brendi itu dituangkan ke gelas yang kosong.

"Sebelum dirimu mati..." ujar Kolonel Vogel menawari. Segelas bredi dijulurkan ke arah Yono. Tidak ada pilihan, pikir Yono, setegak brendi barangkali dapat menghilangkan rasa sesak yang dirinya alami. Yono menerima brendi itu dengan hati yang terbuka.

"T-terima kasih K-kolonel..."

Senja telah mulai berganti dengan gemerlap. Peralihan waktu siang ke malam hampir tiba, sudah waktunya masalah di kedai tersebut diselesaikan. Kolonel Vogel dengan gagah kembali ke kursinya. Setelahnya menepuk pundak Yono dan menggoyang-goyangkan tubuhnya yang lunglai dan lesu itu dengan begitu pelan, "Puk.. , Puk..".

"Jurusan apa di Leiden ?" tanya Kolonel Vogel

"J-j-jurusan ?"

"Ya, hukum atau sosial politik ?"

"H-hoofdvaak R-rechten (Jurusan Ilmu Hukum)"

"Hmm, sulit itu pasti" Kolonel Vogel mengeluarkan satu batang rokok. Api dipantik dari batang korek yang hampir patah. Tidak ingin mengudut sendiri, Kolonel Vogel menawarkan kepada Yono, hanya saja Yono menolak dengan melambaikan tangan kirinya.

"Kau tahu. Di antara sebagian belahan bumi yang dijajah oleh Belanda, aku begitu terkagum dengan kalian orang-orang Indonesia. Dahulu aku sempat berpikir untuk menghina kalian seperti prajurit belanda yang barbar itu. "Inlander", huh !" ujar Kolonel Vogel

"Fuh..." asap rokok membumbung seperti awan, pikir Yono yang mulai berhalusinasi tetapi mencoba terus mempertahankan kesadarannya.

"Terus terang saja, mereka yang mengatakan kalian Inlander itu lebih bodoh dari seekor monyet yang memakan kulit pisang. Contoh saja prajurit itu memperjuangkan emosi yang membawa korban tidak bersalah, aku jamin dia adalah prajurit yang selalu berbaris paling belakang ketika hendak perang. Nah, kalau soal perjuangan kalian itu yang aku takutkan"

"Fuhh...."

Yono mengangguk. Dirinya mulai menyeringai dengan perkataan yang dilontarkan oleh Kolonel Vogel itu. Bukan berarti menerima begitu saja "pujian-pujian" itu, bisa saja itu adalah omong kosong yang dibalut dengan mulut manis kaum putih kolonialis dengan tujuan untuk mempengaruhi rasa nasionalisme dalam dirinya, pikir Yono.

"Y-ya, ohok !. A-aku hanya bisa berterima kasih" ujar Yono dengan menyeruput brendi.

"Terserah mau dirimu percaya atau tidak, yang jelas aku sangat terkagum dengan semangat kalian. Aksi rekan-rekanmu yang luar biasa ini dalam membela harga diri bangsa kalian setidaknya menjadi contoh bagiku untuk dapat bisa menghargai hidup, terutama takdir hidup orang lain. Memang penindas seperti kami kelak akan menelan nasib pahitnya dikemudian hari atas kejadian ini" ujar Kolonel Vogel, dirinya menoleh keluar jendela dan melihat tirai langit telah menggelap.

Yono tidak bersuara ataupun terengah-engah.

"Maafkan kami. Semoga kalian tenang dipangkuan Tuhan".

Cahaya lampu telah mulai menerangi jalanan. Rumah dan bangunan sekitarnya juga telah memunculkan binar cahaya pertanda penghuni rumah dan bangunan itu telah kembali. Indische Bar yang menjadi saksi kelam pada hari itu harus terpaksa terlihat seperti bangunan mati karena mulai diraut oleh kegelapan malam. Menyisakan seorang petinggi militer dan pemuda pribumi yang sudah tidak bernyawa. Sirene mobil ambulan dari kejauhan telah terdengar, serta iringan-iringan mobil polisi militer yang hendak melakukan tindakan keamanan pada lokasi tempat kejadian perkara.

Dalam gelap Kolonel Vogel mematikan rokok yang telah menipis, dan membiarkan brendi yang mahal itu tersisa untuk dibagikan oleh para nyamuk. Tentara dengan jabatan tinggi itu berjalan ke arah keluar, menatap langit dan berkata "Ongelukkige dag (Hari yang sial)", kata Kolonel Vogel membatin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun