Mohon tunggu...
M Alfarizzi Nur
M Alfarizzi Nur Mohon Tunggu... Lainnya - Paralegal Posbakumadin Lampung

Paralegal yang senang bertutur melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

4 Penumpang Gelap (Bagian 3): Tragedi Berdarah Indische Bar

23 Oktober 2023   10:52 Diperbarui: 23 Oktober 2023   11:37 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warung Tinggi Zaman Kolonial Belanda (merahputih.com)

"Rud !. Tenangkan dirimu. Kita di situasi yang tidak menguntungkan".

Kedua belah pihak saling menodongkan senjata api. Tidak terkecuali Van Dirk yang diam-diam merogoh senjata gentel yang tersingkap di balik meja bar.  Musik berhenti, suasana kedai yang seharusnya menimpalkan suasana riang dan penuh canda tawa berakhir dengan kondisi yang dapat menghantarkan nyawa mereka kapan saja. Emosi yang seharusnya dapat dikendalikan berubah liar lantaran percakapan rasisme yang dilakukan oleh pihak militer Belanda. Tidak bukan militer belanda, tetapi hampir seluruh pengunjung Non Pribumi yang berada disana.

Romi memunculkan kepalanya sedikit dari bilik pintu dapur. Walaupun sedikit merasa takut, jiwa nasional Romi terpanggil lantaran keberanian pemuda Pribumi yang tidak kenal takut itu. Berani melawan demi martabat diri dan bangsa, pikir Romi. Seketika itu juga Romi melihat Van Dirk yang turut siap siaga.

"Mr Van Dirk, aku mohon dapat dirimu bisa menenangkan kedua belah pihak. Bila tidak, kau tahu apa yang terjadi. Kedaimu akan tutup" ujar Yono memohon

Van Dirk memunculkan mimik wajah yang mengeras. Sorot mata yang begitu tajam menatap Yono itu dengan sigap mengeluarkan tindakan yang tidak begitu ramah.

"Tutup mulutmu kaum pribumi kolot !. Beraninya kalian datang kesini !" maki Van Dirk dengan suara yang memekik. Dirinya menodongkan senjaga gentel dihadapan wajah Yono.

Para Noni Belanda yang telah berdandan manis, lipstik yang merah merona, taburan riasan wajah yang demikian putih dihadapkan dengan situasi yang mencekam seperti ini memutuskan mereka untuk pergi keluar dari kedai dengan mengacuhkan kejantanan para laki-laki yang tidak mengenal kedamaian sore senja. Van Dirk melihat banyak para Noni Belanda dengan latar belakang anak pejabat itu pergi meninggalkan kedai, baginya itu sangat tidak baik bagi keberlangsungan usaha miliknya.

"Sial !" Van Dirk mengumpat.

Tidak hanya Rudi, Roland juga menodongkan senjata api, tetapi tidak pada serdadu militer Belanda itu namun kepada Van Dirk. Yono berdiri meninggalkan meja bar dan mengangkat kedua tangannya seperti seorang yang sedang mengkumandangkan takbir ketika sholat. Sejenak mereka terdiam, mereka seperti menunggu pihak mana yang akan menarik pelatuk terlebih dahulu. Jam yang terus berdetak menuju waktu matahari terbenam hanya menambah hiruk pikuk ketegangan di dalam kedai tersebut.

Kolonel Vogel percaya para Pribumi ini belum dikuasai oleh alkohol. Kesadaran mereka masih penuh dan terkendali, Kolonel Vogel berpikir untuk memberikan tawaran lain kepada para Pribumi itu agar tidak melakukan tindakan gegabah. Alih-alih menarik pelatuk pada senjata api mereka. Kolonel Vogel sama sekali tidak menginginkan itu.

"Turunkan senjata kalian !" tegas Kolonel Vogel

"Tetapi pak.."

"Berani melawan perintah atasan. Cepat lakukan saja perintahku !"

Semua prajurit menurunkan senjata api mereka. Ada yang memasukan kembali senjata api ke dalam sarungnya, sebagian yang lain memilih untuk tetap menggegam, takut apabila para pribumi itu memilih untuk memantik senpi mereka. Kolonel Vogel tetap bersikap tenang, dirinya terlebih dahulu mengambil sebatang rokok yang tersingkap di balik saku baju dinasnya, dan meminta bawahannya untuk menghidupkan rokok yang telah terselip diantara kedua bibirnya.

"Fuh.." Kolonel Vogel menghemburkan asap ke arah langit plafon

"Aku takjub dengan tekad kalian"

Rudi dan Roland menurunkan senjata api mereka. Sadat juga berpaling, dan menatap Van Dirk yang masih tetap mengacungkan senjata laras panjangnya itu ke arah dirinya.

"Santai pak tua. Semuannya sudah mulai kembali kondusif. Bisakah dirimu menurunkan senjata laras panjangmu itu ?" ujar Sadat dengan duduk kembali ke meja bar dan mengambil segelas brendi miliknya yang masih tersisa untuk dihirup.

"Huh ?!" Van Dirk merasa kecewa, tetapi apa boleh buat bila Kolonel Vogel telah berkata.

"Jarang mengetahui ada pribumi yang begitu lacang datang kedai ini. Duduk langsung di meja bar, setelahnya memesan brendi yang seharusnya hanya dapat diminum oleh orang-orang Belanda seperti kami. Meskipun demikian, aku sangat begitu menolak dengan keberadaan kalian para pribumi yang membawa senpi kemanapun kalian pergi. Bagi diriku, walaupun kalian berstatus sebagai mahasiswa, berdasarkan prosedur militer kalian dapat dikategorikan sebagai pemberontak"

"Jadi dirimu berniat menangkap kami dengan delik kepemilikan senjata ilegal atau     apa ?" ujar Rudi

"Bisa saja bila diriku terus terang wahai tuan yang berpendidikan. Namun melihat situasi yang sudah tidak kondusif, dan aku juga merasa tidak enak dengan Van Dirk selaku pemilik kedai" tunjuk Kolonel Vogel

"Alangkah lebih baik kalau kalian mangkat dari sini segera" tawar Kolonel Vogel

Rudi menoleh kepada Roland, Yono, dan Sadat. Yono mengangguk dengan cepat, memberi gestur untuk menerima tawaran dari Kolonel tersebut. Adapun pada Roland dan Sadat menerima tawaran tersebut secara terus terang, walaupun masih menyisakan sesak di dalam dada mereka. Semuanya telah mengembalikan senjata mereka ke saku sarung senjata mereka masing-masing, termasuk Van Dirk yang telah menaruh kembali senjata laras panjangnya itu di bawah meja bar.

Suasana senja meredam emosi mereka. Kucing jalanan yang berhenti menunggu aksi saling tembak tersebut memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Yono bisa sedikit menghela napas, mengajak rekan-rekannya itu untuk segera pergi dari kedai itu. Romi yang asik menonton aksi para pemuda pribumi cukup tergecap kagum. Meskipun demikian, keberanian mereka tidak hanya sebatas itu saja. Sadat berkeinginan memberikan sedikit pernyataan yang setidaknya akan teringat oleh pengunjung kedai Indische Bar.

"Ayo kita pergi, sudah aku bayar tadi" ajak Rudi

Sadat seperti terpaku. Dirinya tidak beranjak dari tempat dia berdiri, kurang lebih berjarak 2-3 meter dari Kolonel Vogel.

"Huh !. Aku benci mengatakan ini, tetapi aku pikir perlu untuk dikatakan. Kami memang tidak seputih kalian, se-tangguh kalian dalam bertarung, atau status pendidikan dan kelas sosial kalian yang cukup sejahtera bagi kaum kalian. Sebagai bangsa, kami yang dibesarkan dan dididik oleh orang tua kami di rumah kami, negeri kami tercinta ini. Kami menolak segala bentuk penindasan, penghinaan, dan diskriminasi yang dilakukan oleh kalian kepada kami. Bahkan aku berani bersumpah hingga dunia ini berakhir. Aku atau setidaknya keturunanku kelak akan menjadikan bangsa ini sebagai bangsa yang merdeka dan berdikari sebagai suatu negara yang utuh tanpa adanya penindasan dan penjajahan !" tegas Sadat.

Rudi terkikih, Roland menyeringai, sedangkan lutut Yono gemetar takut. Angin kencang berhembus masuk melalui sela-sela ventelasi udara yang berada di dalam kedai. Barangkali akan menimbulkan rasa sejuk setelah terpantiknya emosi yang membakar akal dan batin. Namun seseorang pria belanda sekonyong-konyong berdiri di atas meja. Pria itu adalah pria yang pertamakali memprovokasi Sadat berserta para rekannya. Buruknya dia diambang batas kewarasan.

"Persetan dengan itu semua !!. Aku tidak peduli apakah kalian orang-orang berpendidikan, pejuang kemerdekaan atau apa !. Di mata-ku kalian tetapi Inlander yang busuk yang sama dengan 30 juta kerbau lainnya !. Mati kalian !!"

"Dor !, Dor !" dentuman senjata api meletus

Peluru dipantik oleh orang Belanda yang barbar itu. Dia menembak secara membabi buta ke arah para Pribumi. Roland dengan sigap langung mengeluarkan senjatanya kembali dari sarung yang berada disakunya itu, begitu dengan Rudi yang langsung menembak serdadu bawahan Kolonel Vogel yang hendak menghujamkan peluru. Pemilik kedai, Van Dirk tidak ingin ketinggalan momentum. Baginya ikut campur dalam permasalahan ini berarti turut berkontribusi melawan pemberontak kemerdekaan Indonesia. Van Dirk ikut menembak.

"In het belang van de Koningin en in het belang van Nederland ! (Demi ratu dan demi Belanda !)" ujar Van Dirk menyemangati diri.

"Dor !, Dor !, Dor !" saling tembak terus terjadi. Kaca kedai pecah secara satu per satu hingga menyisakan lubang hampir di setiap jendela. Dinding dan lantai kedai menjadi saksi pertumpahan darah. "Dor !, dor !, dor !" suara peluru terus berdentum seolah tidak pernah habis. Sadat tidak terlindungi oleh apapun, tidak memiliki senjata ataupun alih-alih rompi anti peluru. Sadat menjadi orang yang tumbang pertama. Dirinya terhempas ke arah belakang hingga tersungkur di lantai kedai yang begitu hangat akan cahaya sore.

"Akh !!" teriak sadat memegang dadanya yang tertembak.

Kolonel Vogel dengan insting militernya dengan cepat melompat ke arah samping meja bar untuk melindungi diri dan membiarkan para serdadu bawahannya itu beradu tembak dengan para pribumi.

Roland membalik badan dan melumpuhkan Van Dirk dengan menembak mata kirinya yang telah mengalami gejala katarak itu. Romi melihat Van Dirk terkapar tidak bernyawa dengan mata kanan yang terbelalak terbuka menengadah ke arah plapon. Akhirnya pria serakah ini tewas, pikir Romi. Namun usaha Roland itu membuka peluang bagi punggung belakangnya yang tidak terjaga, benar saja pria Belanda barbar itu menembak pundak dan pinggul Roland hingga membuatnya diri Roland terjerembab ke arah depan meja depan. Kepalanya membentur lantai, dirinya berteriak kesakitan dengan kencang. Masih berasa tidak puas, pria Belanda itu dengan naif terus menembaki Roland yang sudah tidak mampu berdiri itu. Tindakan itu begitu keji, bahkan terlihat dari ekspresi wajah yang menggambarkan betapa senang dirinya melihat para Inlander ini mati dengan keadaan yang buruk. Tubuh berlubang akibat timah panas, darah segar yang terus mengalir menyusuri lantai menjadi daya tarik bagi pria Belanda itu.

"Hahaha !. Mati kalian !".

Kondisi adu tembak yang tidak seimbang ini berakhir dengan na'as. Rudi membalik badan, seketika itu mental dirinya cukup jatuh hingga membuat dirinya lengah karena melihat kedua sahabat karibnya, Sadat dan Roland, telah merenggang nyawa di kedai tersebut. Salah satu prajurit bawahan Kolonel Vogel tanpa sungkan dan ampun menembak bagian belakang kepala Rudi hingga membocor.

"Akh !" tanpa erangan sakit yang terdengar dari mulut Rudi. Tembakan itu melesat membisukan Rudi untuk selamanya. Rudi yang malang.

"Hei, dimana yang satu lagi ?"

Para serdadu itu menoleh kesana kemari. Mencari Yono di setiap sudut ruang yang telah porak poranda itu.

"Hiks, hiks" terdengar suara isak tangis diantara balik meja yang telah terbalik itu. Buruknya prajurit belanda yang barbar itu mendekati sumber suara tersebut.

"Hei, hei" ujarnya

"Lihat siapa yang aku temui disini. Dirinya masih hidup, yang paling pengecut di antara yang lainnya" tunjuk prajurit Belanda itu kepada seorang penyintas, Yono.

"T-tolong, a-ampuni diriku..." ujar Yono bersimpuh memohon. Memang dirinya tidak terluka parah, tetapi jiwa dan mentalnya hancur karena kejadian yang begitu singkat dan keji itu.

Prajurit belanda itu menempelkan ujung senpi miliknya di dahi Yono yang telah berkeringat dingin. Yono gemetar ketakutan setengah mati, berpikir untuk berlari dirinya pasti akan dihujamkan peluru, mencoba untuk melawan akan berakhir peluru yang hinggap di dahinya. Tidak ada upaya lain selain berdoa kepada tuhan, Yono berpikir sejenak, tidak pikirnya. Barangkali lebih tepat bila mengharapkan rasa iba yang berada di lubuk hati para prajurit Belanda ini, toh mereka juga manusia pasti jiwa kemanusiaan diri mereka tidak hilang, pikir Yono.

"Oh, lihat dirimu. Begitu malang, lihat sekelilingmu"

Yono menyisir lantai yang dipenuhi dengan mayat Sadat, Rudi, dan Roland yang terkapar mati bagai burung yang mati ditembak karena diburu.

"Heh !, sampaikan salamku kepada mereka Inlander bodoh !"

Peluru hendak dipantik untuk terakhir kalinya. Namun Kolonel Vogel berlari dan menerjang prajurit Belanda itu hingga terpelanting ke arah meja dan kursi yang telah hancur. "Bruak !" situasi mendadak menjadi dingin. Nafas Yono yang sempat tersendak di kerongkongan kembali seperti semula akibat tindakan heroik Kolonel Vogel. Walaupun sejujurnya masih tidak tahu itu motif pengampunan atau penguluran eksekusi dirinya, pikir Yono.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun