Ketentuan Tentang Wasiat
Latar Belakang
Dalam Hukum Islam, kewarisan dan wasiat merupakan dua sub bab yang berhubungan.
Hal itu dikarenakan keduanya sama-sama berkaitan dengan harta peninggalan, yaitu semua
yang ditinggalkan oleh mayit dalam arti apa-apa yang ada saat seseorang meninggal dunia.
Namun, kewarisan mempunyai sifat ijbari, yang secara leksikal berarti paksaan. Maksudnya
yaitu bahwa peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dengan ahli warisnya
berlaku dengan sendirinya menurut kehendak Allah tanpa tergantung kehendak pewaris atau
ahli warisnya. Jadi kewarisan terjadi secara otomatis dan ahli waris terpaksa menerima
kewarisan tersebut. Sedangkan dalam wasiat barsifat sukarela,
jadi wasiat terjadi apabila
seseorang yang meninggal berpesan untuk memberikan hartanya kepada orang yang diberi
wasiat. Tetapi Ibnu Hazm dalam kitabnya al Muhalla menyatakan bahwa wasiat wajib untuk
anggota kerabat yang tidak mewarisi, baik karena perbedaan agama, perbudakan, maupun
karena ter-hijab. Hal ini didukung juga oleh Abu Bakr bin Abdul Aziz, seorang tokoh
mazhab Hanbali, yang menyatakan wasiat seperti itu hukumnya wajib. Berdasarkan
pendapat jumhurul fuqaha, mewasiatkan harta benda kepada seseorang keluarga, dekat
maupun jauh, tidak diwajibkan oleh syari'at. Kecuali bagi orang-orang yang mempunyai
tanggungan hak dengan orang lain yang tidak dapat diketahui selain oleh dia sendiri atau
mempunyai amanat-amanat yang tidak diketahui orang (saksi).
Pembahasan
Wasiat adalah berpesan tentang suatu kebaikan yang akan dijalankan
sesudah orang meninggal dunia. Wasiat berasal dari kata washa yang berarti
menyampaikan atau memberi pesan atau pengampuan. Dengan arti kata lain,
wasiat adalah harta yang diberikan oleh pemiliknya kepada orang lain setelah
si pemberi meninggal dunia.
Wasiat juga diartikan menjadikan harta untuk orang lain. Arti kata
washa merupakan bentuk jamak dari kata washiyyah, mencakup wasiat harta,
sedang iishaa', wishayaa dan washiyyah dalam istilah ulama fiqih diartikan
kepemilikkan yang disandarkan kepada keadaan atau masa setelah kematian
seseorang dengan cara tabbaru' atau hibah, baik sesuatu yang akan dimiliki
tersebut berupa benda berwujud atau hanya sebuah nilai guna barang.
Menurut Madzhab Syafi'i, wasiat adalah pemberian suatu hak yang
berkuatkuasa selepas berlakunya kematian orang yang membuat wasiat sama
ada dengan menggunakan perkataan atau sebaliknya.
Menurut Madzhab Hanbali, wasiat adalah pemberian harta yang
terjadi setelah berlakunya kematian sama ada dalam bentuk harta ('ain) atau
manfaat.
Menurut madzhab Hanafi, wasiat adalah pemilikan yang berlaku
setelah kematian dengan cara sumbangan.
Menurut madzhab Maliki, wasiat adalah suatu akad yang menetapkan
kadar 1/3 sahaja bagi tujuan wasiat dan wasiat tersebut akan terlaksana
setelah berlakunya kematian pewasiat.
Adapun rukun wasiat, yaitu :
a. pemberi wasiat (mushiy),
b. penerima wasiat (mushan lahu),
c. barang yang diwasiatkan (mushan bihi).
d. Kalimat wasiat (lafadz).
Kesimpulan
Sedangkan dalam wasiat barsifat sukarela, jadi wasiat terjadi apabila seseorang yang meninggal berpesan untuk memberikan hartanya kepada orang yang diberi wasiat.
Arti kata washa merupakan bentuk jamak dari kata washiyyah, mencakup wasiat harta, sedang iishaa', wishayaa dan washiyyah dalam istilah ulama fiqih diartikan kepemilikkan yang disandarkan kepada keadaan atau masa setelah kematian seseorang dengan cara tabbaru' atau hibah, baik sesuatu yang akan dimiliki tersebut berupa benda berwujud atau hanya sebuah nilai guna barang.
Menurut Madzhab Syafi'i, wasiat adalah pemberian suatu hak yang berkuatkuasa selepas berlakunya kematian orang yang membuat wasiat sama ada dengan menggunakan perkataan atau sebaliknya.
Menurut madzhab Maliki, wasiat adalah suatu akad yang menetapkan kadar 1/3 sahaja bagi tujuan wasiat dan wasiat tersebut akan terlaksana setelah berlakunya kematian pewasiat.