Mohon tunggu...
Fariza Ibrahim
Fariza Ibrahim Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa Geofisika, Universitas Indonesia. Peduli terhadap isu energi terbarukan dan lingkungan hidup.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Tsunami Selat Sunda: Diramalkan oleh Ahli dan Terjadi

27 Desember 2018   19:04 Diperbarui: 27 Desember 2018   19:31 518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Namun, pada kenyataannya sistem peringatan dini tidak beroperasi dengan baik. Buoy atau pelampung alat pendeteksi tinggi gelombang laut aktual, sejak tahun 2012, sebanyak 22 unit tidak ada yang beroperasi lagi. 

Hal tersebut terjadi dikarenakan tidak adanya biaya pemeliharaan sehingga buoy menjadi rusak dan bahkan beberapa ditemukan menghilang. Walaupun demikian, sistem peringatan dini masih dapat bisa dilakukan, namun dengan tidak beroperasinya buoy akan mengurangi kecepatan dan akurasi data untuk dianalisis menjadi suatu kesimpulan untuk disebarkannya sinyal peringatan

Patut pula menjadi sorotan adalah anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk mitigasi bencana. Dengan bencana alam yang sangat mempengaruhi kerugian ekonomi, pemerintah malah memangkas anggaran yang sebelumnya diusulkan oleh BMKG sebesar Rp 2,9 Triliun hanya disetujui menjadi Rp 1,7 T, dalam rapat kerja bersama Komisi V DPR RI. 

Menjadi suatu yang kontradiktif terhadap pernyataan Presiden Jokowi yang pada tiap kesempatannya dalam kunjungan ke daerah terdampak bencana "Ke depan saya sudah perintahkan BMKG untuk membeli alat deteksi, early warning system yang bisa memberikan  peringatan secara dini ke masyarakat".

Hal tersebut dapat menjadi suatu bahan renungan atau refleksi bagi pemerintah untuk dapat lebih memperhatikan upaya mitigasi bencana, mengingat secara ilmiah sudah terbukti bahwa Indonesia termasuk salah satu negara dengan risiko bencana alam yang tinggi. Menjadi sesuatu yang urgentif untuk mengupayakan perbaikan infrastruktur mitigasi kebencanaan alam di Indonesia.

Menilik Penerapan Science Based Policy di Indonesia

Setelah sekian penelitian yang menyimpukan potensi besar tsunami pada Selat Sunda yang tidak digubris oleh pemerintah melalui instansi-instansinya, juga menjadi suatu pembuktian bahwa science based policy khusunya dalam bidang kebencanaan belum diterapkan di Indonesia. 

Belum lagi pada kasus hasil kajian lainnya yang dilakukan oleh Badan Pengkajian Penerapan Teknologi (BPPT) yang menyebutkan prediksi tsunami setinggi 57 meter yang akan menghujam Pandeglang dan sekitarnya dalam penelitiannya yang dipaparkan saat Focus Group Discussion 'Sumber-sumber Gempabumi dan Potensi Tsunami di Jawa Bagian Barat' yang diselenggarakan oleh BMKG pada April 2018 lalu. 

Dengan kajian tersebut Polda Banten merencanakan memproses secara hukum dan memanggil peneliti terkait untuk dimintai keterangan dengan dalih 'meresahkan dan menghambat investasi'.

Jelas dimandatkan pada UU No. 12 Tentang Pendidikan Tinggi bahwasanya hak atas kebebasan akademik dijamin oleh negara. Peneliti memiliki kebebasan untuk melakukan kegiatan ilmiah apapun asal dapat dipertanggungjawabkan. 

Menurut ahli pidana Syaiful Bakhri juga menyebutkan bahwa penelitian tentang potensi tsunami 57 meter tersebut juga tidak dapat dipidanakan, hal tersebut dikarenakan oleh adanya hak atas kebebasan akademik yang dimiliki oleh seorang peniliti dalam melakukan riset. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun