Tsunamigenik yang diakibatkan oleh gempa bumi pada Selat Sunda umumnya berasosiasi dengan zona subduksi lambat yang biasanya menghasilkan gempa bumi dengan mekanisme sesar naik besar (megathrust earthquake). Dalam katalog tsunami juga disebutkan bahwa gempa bumi tektonik yang menyebabkan terjadinya tsunami di Selat Sunda pernah terjadi pada tahun 1757, dengan magnitudo Ms7.5 serta ketinggian berkisar 1 m.Â
Kesenjangan aktivitas gempa besar atau yang disebutkan dengan seismic gap di daerah ini sudah mencapai sekitar 251 tahun, yang artinya gempa bumi tektonik di laut selatan Selat Sunda sangat memungkinkan untuk terjadi. Sementara kita tahu bahwa gempa bumi berkekuatan lebih dari 7 Skala Richter pada kedalaman dangkal merupakan suatu potensi timbulnya tsunami
Selain, tsunamigenik gempa bumi tektonik, tsunami di Selat Sunda juga memungkinkan disebabkan akibat dua jenis longsoran. Pertama, longsoran bawah laut yang sangat dipengaruhi perbedaan kedalam dasar laut.Â
Dasar laut Selat Sunda merupakan salah satu daerah dasar laut yang labil. Ketika terjadi guncangan akibat gempa apapun itu penyebabnya, maka akan sangat berpotensi untuk terjadi longsoran bawah laut. Kedua, yaitu potensi tsunami akibat longsoran di pantai. Potensi ini dapat dilihat pada Teluk Semangko dan Teluk Lampung, yang relief dasar lautnya didominasi oleh perbukitan dari yang landai hingga curam. Ketika longsor, maka kolom air laut akan terganggu dan menimbulkan tsunami meski dalam skala kecil dan regional.
Dalam makalah ilmiahnya, Thomas Giachetti juga memodelkan tsunami akibat aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau yaitu yang disebabkan oleh runtuhan dinding gunung. Pada pemodelannya digambarkan bahwa jika setidaknya apabila terdapat runtuhan sebesar 0.28 km3, maka dapat memicu gelombang tsunami awal setinggi 43 meter.Â
Gelombang tsunami tersebut akan menyebar secara radial dengan kecepatan hingga 110 km/jam dan akan mencapai pantai barat Jawa dalam kurun waktu 35 sampai 45 menit setelah terjadi runtuhan. Beberapa wilayah di daerah pantai barat Jawa akan terkena dampak gelombang tsunami dengan ketinggian maksimum sekitar 1.5 meter.
Menakar Kembali Urgensi Mitigasi Bencana Alam di Indonesia
Gelombang tsunami seperti pada kasus di Selat Sunda, tidak diawali oleh aktivitas gempa tektonik alih-alih dipicu oleh aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau. Sampai sejauh ini instansi pemerintahan yang terkait belum dapat memberikan analisis dengan pasti untuk mendeteksi gelombang tsunami.Â
Sejumlah instansi sepakat bahwa sistem peringatan dini tsunami saat ini masih tergolong lemah. Hal ini menjadi semacam bukti bahwa mitigasi bencana di Indonesia masih lemah dan belum menjadi perhatian bagi pemerintah.
Mitigasi bencana merupakan serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana. Pembangunan fisik dalam mitigasi bencana, dalam kasus ini, dapat dalam bentuk penerapan sistem peringatan dini tsunami.Â
Di Indonesia sendiri telah dikembangkan sistem peringatan dini tsunami (InaTEWS) yang telah dioperasikan oleh Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) berpusat di Jakarta. Sistem ini memungkinkan BMKG untuk mengirimkan peringatan tsunami jika terjadi gempa yang berpotensi mengakibatkan tsunami.Â