Menjadi kritis, salah satunya adalah menjadi tahu pertanyaan apa yang seharusnya diajukan. Dalam konteks pendidikan tinggi, sifat kritis sudah seharusnya menjadi ciri khas.Â
Dari sudut pandang seorang mahasiswa---saya, misalnya---meyakini bahwa salah satu kunci dari pemahaman terhadap keilmuan yang sedang saya tekuni adalah dengan menjadi kritis, yang berarti menjadi terbuka terhadap setiap kemungkinan pertanyaan yang berpotensi membawa saya kepada pemahaman yang utuh terhadap sebuah subjek kuliah.
Frasa "pertanyaan yang tepat" mungkin terkesan sebagai sesuatu yang subjektif, bahwa setiap orang memiliki minat, latar belakang, dan kondisi realitas yang berbeda, yang pada akhirnya menuntun mereka untuk mengajukan pertanyaan yang berbeda pula antara satu dan lainnya.Â
Namun, jika kita bersedia untuk sepakat bahwa semua bidang ilmu sejatinya tidak datang dalam kotak-kotak, yang masing-masing dari kotak tersebut terlahir dari rahim pengalaman empiris yang secara dikotomi ditemukan satu-persatu; melainkan merupakan akibat dari kumpulan pengalaman hidup manusia di masa lalu, yang kemudian dibuat kotak-kotaknya (baca: disiplin ilmu) untuk kebutuhan pembangunan peradaban---maka kita akan segera sadar bahwa apa pun yang melatarbelakangi motif kita untuk mengajukan sebuah pertanyaan, semangat yang kita usung semestinya adalah sama: for mastery.
Sal Khan---pendiri Khan Academy yang merupakan sebuah organisasi edukasi non-profit penyedia platform pembelajaran online---dalam sebuah sesi di TED Talk pernah berbicara tentang Teaching for Mastery.Â
Menurutnya, sistem pendidikan kita sekarang berorientasi pada seberapa jauh pemahaman seorang pelajar tentang sebuah subjek dalam kurun masa pembelajaran tertentu.Â
Ketika tiba waktunya untuk melakukan evaluasi (baca: ujian/ulangan), kita lantas membuat standar kelulusan. Nilai yang di atas standar menjadi tiket bagi peserta didik untuk lanjut ke tahap pembelajaran berikutnya (baca: naik kelas).Â
Sistem ini, menurut Sal, berpotensi membuat seorang pelajar hanya berfokus pada standar kelulusan yang telah ditetapkan, bukan pada penguasaan (mastery) atas semua subjek yang menjadi fondasi guna melanjutkan ke tahap selanjutnya.Â
Jika standar kelulusan yang kita tetapkan adalah 75%, dan seorang peserta didik berhasil mencapai batas minimal tersebut, lantas dia lulus, maka 25% pelajaran yang tidak dikuasainya akan menjadi utang yang tidak akan pernah bisa dibayar, sebab di kelas berikutnya pembahasan yang dipelajari akan semakin kompleks dan menuntut penguasaan atas materi yang menjadi fondasi, yang 25%-nya belum dia kuasai.Â
Sal mengajukan, bagaimana kalau sistemnya di balik? Kita harus mulai berorientasi pada berapa lama waktu yang diperlukan seorang pelajar untuk menguasai sebuah subjek pembelajaran. Jadi, fokusnya beralih kepada "penguasaan" ketimbang "kenaikan kelas".
Manakala kita sepakat bahwa sebagai makhluk pembelajar, kita memiliki kepentingan yang sama, yakni "penguasaan" terhadap subjek pembelajaran, niscaya kita akan sepakat pula bahwa pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan seharusnya dalam rangka memancing pemahaman yang kemudian menuntun kita kepada penguasaan, dan secara otomatis akan menafikan pertanyaan yang tidak menunjang tercapainya visi tersebut.Â
Hal ini menjadi penting karena kita kerap membuang waktu hanya untuk mencari jawaban yang sejatinya tidak berkontribusi terhadap pemahaman. Seperti sebuah pertanyaan seperti ini: "Di wilayah kerja Puskesmas tempat saya bertugas, banyak orang merokok, apa yang harus kami lakukan?".Â
Adalah sah menanyakan hal-hal teknis dan bersifat personal, namun dalam konteks mengejar pemahaman yang utuh, pertanyaan semacam itu hanya akan berujung pada waktu yang terbuang sia-sia.
Kembali ke dunia pendidikan tinggi. Saya adalah mahasiswa program studi S1 Keperawatan yang merupakan salah satu rumpun dalam bidang ilmu kesehatan.Â
Dalam perkuliahan, saya sering menemukan rekan-rekan mahasiswa yang lebih tertarik untuk menanyakan hal-hal teknis seputar protokol kerja seorang perawat.Â
Jika begini, maka bagaimana? Jika pasien mengalami gejala lebih dari tiga hari, apa yang harus dilakukan? Jika instrumen ini tidak ada, apakah bisa diganti dengan instrumen yang lain? Dan seterusnya.Â
Semestinya kita lebih tertarik untuk mengejar pemahaman tentang sebuah konsep---yang dalam hal ini adalah konsep sebuah penyakit dan konsep keperawatan---sampai ke tingkatannya yang paling dasar, sehingga pertanyaan yang muncul tidak lagi berkutat pada hal-hal yang bersifat teknis maupun personal.Â
Bahkan, lebih parahnya lagi, sebagian mahasiswa juga menyukai pertanyaan-pertanyaan semacam, "Apakah materi ini akan diujikan nanti saat final test?", "Apakah peraturan itu wajib?", "Di acara seminar itu harus pakai seragam atau tidak?".
Membuka diri untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis, yang tidak jarang adalah pertanyaan yang radikal, sering kali terkendala oleh stereotip bahwa orang yang ditanya, yang dalam hal ini adalah dosen, adalah orang yang serba tahu dan tidak mungkin salah.Â
Di daerah-daerah tertentu, hal ini barangkali erat kaitannya dengan budaya belajar mengajar yang tradisional, di mana adalah tidak lazim bagi seorang murid untuk mengkritisi sang guru, karena seseorang tidak mungkin diberi label sebagai "guru", kecuali apa yang dikatakannya adalah berdasarkan keilmuan yang mendalam serta kebijaksanaan yang ditempa sepanjang hidup.Â
Tidak menaati apalagi membantah perkataan guru berarti mencederai integritas dan karakter sebagai seorang murid yang berbakti, yang ujungnya bisa menjadi kualat.Â
Di dunia pendidikan modern, keyakinan semacam ini seharusnya menjadi asing. Namun, di masa transisi dan ditunjang dengan kegagalan kita untuk move on menuju budaya akademis yang lebih maju, kekentalan tradisi tersebut masih terasa bahkan pada taraf yang paling tinggi dari hierarki pendidikan tinggi.
Dosen bukan orang yang paling tahu, apalagi yang pasti benar. Justru beranjak dari premis itulah budaya kritis dapat berkembang.Â
Kenyataan bahwa dosen dan mahasiswa berada pada tingkatan yang berbeda dalam sistem belajar mengajar, tidak serta-merta menjadikan dosen selalu benar, sebab potensi melakukan kesalahan melekat pada setiap individu lintas pengalaman maupun latar belakang pendidikan.Â
Oleh sebab itu sifat kritis seharusnya dilepaskan ke habitatnya yang paling liar, dan dosen sebaiknya memosisikan diri sebagai fasilitator bagi sifat kritis mahasiswanya, bukan sebaliknya.Â
Dengan demikian penguasaan terhadap keilmuan sebagai tujuan utama dari proses belajar mengajar di perguruan tinggi dapat dicapai.
Menemukan Jawaban dari dalam Diri
Sebagai penutup, hal berikutnya yang perlu dipahami adalah bahwa tidak semua jawaban atas pertanyaan datang dari sumber yang berasal dari luar.Â
Kebanyakan jawaban justru datang dari dalam diri sendiri. Jawaban tersebut tidak muncul karena kita belum mengajukan pertanyaan yang tepat, yang dapat memancing pemikiran kritis.Â
Pertanyaan tentang "banyaknya orang merokok" pada contoh di atas sejatinya dapat diganti menjadi: "Di Puskesmas tempat saya bertugas sudah terpasang spanduk dan sticker tentang larangan dan bahaya merokok. Selain itu, di setiap kemasan rokok juga sudah terdapat peringatan tentang bahaya merokok, lantas kenapa orang-orang tetap merokok?".Â
Dengan terlebih dahulu mengajukan pertanyaan semacam itu kepada diri sendiri, tanpa perlu bantuan ahli sekalipun pikiran kritis kita secara otomatis akan mulai menganalisis dan memunculkan kemungkinan-kemungkinan variabel untuk menjawab kenapa orang-orang tetap merokok meskipun sudah diperingatkan.Â
Sebut saja hal-hal seperti pemahaman masyarakat yang kurang mendalam, pola perilaku masyarakat yang tidak peduli, atau bukti-bukti yang tidak cukup untuk meyakinkan mereka, dan lain sebagainya.Â
Sang penanya, dengan sendirinya, akan menyimpulkan bahwa ternyata spanduk, sticker, dan tulisan peringatan pada kemasan saja tidak cukup untuk mengubah perilaku masyarakat, perlu dibuat sebuah penelitian sederhana untuk menentukan variabel apa yang terkait sehingga program kerja yang tepat dapat disusun.
Dengan demikian, kita dapat simpulkan bahwa, sebenarnya, kita cukup cerdas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis yang kita ajukan sendiri. Modal yang dibutuhkan hanya kemampuan untuk menemukan pertanyaan yang tepat. Berhenti bertanya berarti berhenti menemukan potensi budaya kritis untuk dapat berkembang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI