Di dunia pendidikan modern, keyakinan semacam ini seharusnya menjadi asing. Namun, di masa transisi dan ditunjang dengan kegagalan kita untuk move on menuju budaya akademis yang lebih maju, kekentalan tradisi tersebut masih terasa bahkan pada taraf yang paling tinggi dari hierarki pendidikan tinggi.
Dosen bukan orang yang paling tahu, apalagi yang pasti benar. Justru beranjak dari premis itulah budaya kritis dapat berkembang.Â
Kenyataan bahwa dosen dan mahasiswa berada pada tingkatan yang berbeda dalam sistem belajar mengajar, tidak serta-merta menjadikan dosen selalu benar, sebab potensi melakukan kesalahan melekat pada setiap individu lintas pengalaman maupun latar belakang pendidikan.Â
Oleh sebab itu sifat kritis seharusnya dilepaskan ke habitatnya yang paling liar, dan dosen sebaiknya memosisikan diri sebagai fasilitator bagi sifat kritis mahasiswanya, bukan sebaliknya.Â
Dengan demikian penguasaan terhadap keilmuan sebagai tujuan utama dari proses belajar mengajar di perguruan tinggi dapat dicapai.
Menemukan Jawaban dari dalam Diri
Sebagai penutup, hal berikutnya yang perlu dipahami adalah bahwa tidak semua jawaban atas pertanyaan datang dari sumber yang berasal dari luar.Â
Kebanyakan jawaban justru datang dari dalam diri sendiri. Jawaban tersebut tidak muncul karena kita belum mengajukan pertanyaan yang tepat, yang dapat memancing pemikiran kritis.Â
Pertanyaan tentang "banyaknya orang merokok" pada contoh di atas sejatinya dapat diganti menjadi: "Di Puskesmas tempat saya bertugas sudah terpasang spanduk dan sticker tentang larangan dan bahaya merokok. Selain itu, di setiap kemasan rokok juga sudah terdapat peringatan tentang bahaya merokok, lantas kenapa orang-orang tetap merokok?".Â
Dengan terlebih dahulu mengajukan pertanyaan semacam itu kepada diri sendiri, tanpa perlu bantuan ahli sekalipun pikiran kritis kita secara otomatis akan mulai menganalisis dan memunculkan kemungkinan-kemungkinan variabel untuk menjawab kenapa orang-orang tetap merokok meskipun sudah diperingatkan.Â
Sebut saja hal-hal seperti pemahaman masyarakat yang kurang mendalam, pola perilaku masyarakat yang tidak peduli, atau bukti-bukti yang tidak cukup untuk meyakinkan mereka, dan lain sebagainya.Â