Aneka tuduhan selalu mendera kaum sufi sejak lama. Mereka dianggap asosial (anti sosial) bahkan apolitik (anti politik). Tuduhan ini hadir sejak masa kolonial Belanda, seiring dengan keberhasilan taktik perang gerilya yang dicetuskan oleh Jenderal Sudirman. Jenderal Besar pengukir sejarah tinta emas dunia militer Indonesia itu merupakan seorang ikhwan Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah.
Pemerintah kolonial Belanda saat itu melakukan analisa tentang spirit yang mendasari perjuangan pasukan Sudirman. Penjajah berambut jagung itu merasa terheran melihat semangat yang begitu sporadis namun sangat terstruktur dan sistematis. Padahal, pasukan Sudirman hanyalah gabungan rakyat jelata. Penjajah bahkan menyebut mereka sebagai 'inlander' (cacing tanah).
Sebutan itu hadir menyusul penduduk nusantara saat itu tidaklah memiliki latar pendidikan formal dan militer yang cukup. Akan tetapi faktanya, para 'inlander' itu berhasil merepotkan para 'rambut jagung'. Susah payah mereka dibuatnya, hingga harus mengemis bantuan kepada berbagai pihak yang menjadi sekutunya.
Melihat latar belakang Jenderal Sudirman sebagai pemilik Talqin (Pembelajaran) Dzikir, penulis sama sekali tidak merasa heran. Amaliyah Dzikir memang akan menjadikan pengamalnya mampu menaklukan rasa takut dalam diri. Sehingga, jangankan pasukan penjajah, pasukan syaitan pun akan dibuatnya lari tunggang langgang, hilang tanpa kerana.
Jenderal Sudirman mengalirkan energi optimisme itu kepada seluruh pasukannya sehingga para serdadunya memiliki semangat juang yang sama dan rasa yang sama yakni keyakinan penuh akan mendapatkan pertolongan Allah swt saat menghadapi berbagai macam situasi dalam setiap pertempuran.
Belanda berhasil menganalisis jantung semangat para pejuang itu sehingga mereka menyebarkan isu untuk rakyat arus bawah bahwa Talqin Dzikir Thoriqoh tidak pantas didapatkan oleh orang awam. Tidak hanya itu, bahasa khutbah jum'at yang menggunakan bahasa daerah pun mereka imbau untuk diganti dengan menggunakan bahasa arab.
Alasannya, agar khutbahnya lebih afdhol atau lebih utama sebagai bahasa pengantar karena bahasa arab merupakan bahasa Rasulullah saw. Padahal, cara ini merupakan sekedar kedok agar propaganda perjuangan melawan kolonialisme terhenti. Biasanya, para khatib shalat jum'at menyerukan pekik perjuangan kemerdekaan melalui mimbar-mimbar masjid.
Sejak saat itulah, perjuangan kaum sufi dalam mewarnai kehidupan kebangsaan seolah terkebiri atas nama keutamaan bersyariat. Kaum sufi dianggap terasing, cukup berdiam di rumah atau di puncak gunung tanpa harus berinteraksi dalam kehidupan. Padahal, akhlak mulia hanya mampu 'bekerja' mewarnai kehidupan hanya jika digunakan untuk berinteraksi secara sosial.
Karena itu, tashawuf sebagai ilmu dan orientasi, thoriqoh sebagai satu-satunya metoda menuju tashawuf dan sufi sebagai pelaku atau pengamal harus menjalankan amaliyah dzikir sekaligus dengan aktivitas sehari-hari sebagaimana biasa.
Kalaupun ada keharusan untuk sejenak mengasingkan diri, itu sekedar dalam rangka latihan atau kaum thoriqoh menyebutnya sebagai 'riyadhoh'. Selepas itu, mereka kembali berbaur dengan lingkungan dan masyarakat untuk menjalankan peran dan fungsi sebagai anggota masyarakat bahkan sebagai penyelenggara negara sekalipun.
Artinya, atribut syariat sebenarnya bukanlah melulu menyoal tentang ibadah ritual. Framing semacam ini hanya akan menyempitkan tujuan Agama untuk membangun kesejahteraan umat secara keseluruhan.Â
Akan tetapi, syariat justru didasari oleh tujuan pembangunan mental dan spiritual. Dua hal ini, hanya mampu dilakukan melalui metode Talqin Dzikir dan Amaliyah Thoriqoh.
Tanpa keduanya, syariat tidak akan memiliki jiwa. Ia tidak lebih dari sekedar orang-orangan sawah yang hanya mampu mengusir burung pengganggu padi jika digerakan oleh pemilik sawah.Â
Jika burung itu hadir bergerombol, tetapi pemilik sawah tidak hadir di saung dan menarik tali penggerak, orang-orangan sawah itu hanya mampu diam membisu, mematung tak bergerak sama sekali.
Sengkarut Pikiran
Warga bangsa saat ini dikejutkan dengan produk para pengelola negara. Berbagai Rancanangan Undang-Undang (RUU) mengalami penolakan dimana-mana.Â
Rakyat menolak berbagai RUU itu karena dinilai memiliki banyak sekali unsur sengkarut pikiran, fatal dalam berlogika, dan ketidakpahaman memahami situasi dan kondisi umat dan rakyat secara keseluruhan.
Akhirnya, para wakil rakyat yang terhormat itu kehilangan kehormatannya sendiri karena dengan telanjang mempertontonkan kejahiliyahan di hadapan publik.Â
Suara rakyat itu kini tidak lagi menjadi suara Tuhan, melainkan sekedar menjadi suara cemoohan dan tawa riang di warung kopi yang menghiasi kegelapan malam.
Melihat fenomena ini, saya sebenarnya teringat perjuangan Jenderal Sudirman saat mempertahankan kemerdekaan. Talqin dan Amaliyah Dzikir telah menerangi jalan panjang beliau mulai dari penyusunan strategi perang hingga eksekusinya di lapangan.Â
Seluruhnya berjalan dengan mulus karena ada cahaya barokah mulai dari perencanaan hingga pelaksaan proses bernegara yang dilakukan oleh Jenderal Sudirman.
Andai aja pengelola negara saat ini juga merupakan bagian integral dari kaum sufi, tentulah pekik perjuangan Jenderal Sudirman tidak akan sekedar menguap di udara.Â
Akan tetapi akan mampu menghiasi relung jiwa kebangsaan sebab seluruh produk penyelenggara negara didasarkan pada ruh ilahiyah yang tercermin di dalam ruh kebangsaan Indonesia yang plural.
Implikasinya, adopsi terhadap falsafah yang tidak dikenal oleh bangsa ini menjadi terminimalisir dengan sendirinya. Sebab bangsa ini memiliki kultur dan cara berpikir sendiri dalam menetapkan hukum. Tinggal, ruh dari cara berpikir tersebut sangat perlu untuk dihembuskan. Tidak ada ruh yang mulia selain ruh ilahiyah.
Cermin dari ruh ilahiyah itu terdapat dalam akhlak mulia dalam kehidupan. Sayangnya, warga bangsa dan para penyelenggara kehidupan berbangsa tidak akan mampu mengecap akhlak mulia itu tanpa bimbingan Talqin dan Amaliyah Dzikir sebagaimana yang dimiliki oleh Jenderal Sudirman.
Ruh Rabbaniyyah Pembangkit Pikiran Baik
Terminologi lain bagi ruh ilahiyah adalah ruh rabb atau ruh rabbaniyah. Ruh ini berisi sifat baik dan mulia dengan hati sebagai rumahnya. Karena itu, sepintar-pintarnya penyelenggara negara tidak akan mampu bersikap baik dan mulia dalam arti yang sesungguhnya jika tidak dikendalikan oleh Ruh Rabbaniyah. Kebaikan dan kemuliaan yang hari ini tersaji menjadi tontonan boleh jadi kebaikan dan kemuliaan yang bersifat semu.
Baiknya pura-pura baik karena berkepentingan dalam rangka menaikan basis elektoral pemilih. Mulianya pun mulia yang semu karena hanya menjadi semangat retorik dalam kalimat saat berpidato dan menyampaian visi dan misi jika terpilih. Lalu kemudian, perlahan terlupa akibat terlalu lama tidur di ruang sidang paripurna.
Originalitas Ruh Rabbaniyah akan terlihat dari konsistensi seorang penyelenggara negara dalam menjalankan biduk bahtera bernegara. Ruh itu mampu membangkitkan pikiran yang positif yang tergambar dalam langkah-langkah strategis menjalankan pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif bahkan yudikatif sekalipun.
Kaum sufi yang sudah 'wushul' (sampai) kepada Allah swt akan mampu menjadi pengoleksi sifat Allah swt yang juga merupakan sifat Ruh Rabbaniyah. Di antara sifat-sifat itu adalah al-Haakim atau Maha Bijaksana.Â
Bayangkan jika salah satu sifat ini hadir dalam diri penyelenggara negara. Mereka akan bertindak berdasarkan kebijaksanaan. Sesuai dengan sifat Allah swt, sesuai dengan ruh Pancasila, sesuai pula dengan ruh kebangsaan.
Sifat Bijak itu kemudian melahirkan sikap bijak karena sudah menghiasi pikirannya menjadi bijak pula. Sehingga, produk perbuatan (af'al) pun menjadi cermin dari kebijaksanaan yang sudah muncul dari dalam dirinya. Sayangnya, kepemilikan terhadap sifat ini hanya mampu diperoleh dari Pemilik Sifatnya yakni Allah swt.
Siapapun yang berada dekat dengan api, pastilah merasakan panas yang merupakan sifat api. Maka siapapun yang berada dekat dengan Allah swt akan mampu merasakan berbagai jenis sifat Allah swt tersebut. Bijaksana hanya salah satu di antaranya saja.
Dengan segala hormat, proses menuju sifat itu hanya dapat dilakukan melalui proses pengenalan terhadap nama. Adapun proses pengenalan terhadap nama hanya mampu didapatkan melalui Talqin (Pembelajaran) Dzikir dari Guru Mursyid yang bersilsilah sampai kepada Kanjeng Rasulullah saw.Â
Wujud sebagai pemilik nama dan sifat hanya akan hadir menghampiri manakala dipanggil melalui proses Amaliyah Dzikir. Ibarat kata, ada seorang wanita bernama Intan yang memiliki sifat baik nan cantik jelita. Maka saat kita panggil namanya, dia hadir bersama dengan seluruh sifat yang dia miliki.
Begitupun dalam dzikir, Amaliyah Dzikir merupakan rutinitas memanggil nama Allah swt. Saat terus menerus dipanggil, Allah swt hadir dengan membawa serta seluruh sifat yang Dia miliki. Berdasarkan keterangan populer, sifat-sifat itu merupakan seluruh karakter dalam Asmaul Husna (nama-nama yang baik).
Semoga esok lusa, Indonesia memiliki penyelenggara negara yang tersifati oleh sifat-sifat Allah swt. Sejatinya, Rabb bermakna Pengurus. Begitupun dengan penyelenggara negara, juga merupakan rabb (pengurus) Indonesia. (*)
*) Penulis merupakan Ketua Bidang Sumber Daya Manusia Thoriqoh Qodiriyah Naqsyabandiyah Cermin Hati, Cimaung, Purwakarta. Santri Pangersa Aa Cimaung yang Faqir terhadap Ilmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H