Akan tetapi, syariat justru didasari oleh tujuan pembangunan mental dan spiritual. Dua hal ini, hanya mampu dilakukan melalui metode Talqin Dzikir dan Amaliyah Thoriqoh.
Tanpa keduanya, syariat tidak akan memiliki jiwa. Ia tidak lebih dari sekedar orang-orangan sawah yang hanya mampu mengusir burung pengganggu padi jika digerakan oleh pemilik sawah.Â
Jika burung itu hadir bergerombol, tetapi pemilik sawah tidak hadir di saung dan menarik tali penggerak, orang-orangan sawah itu hanya mampu diam membisu, mematung tak bergerak sama sekali.
Sengkarut Pikiran
Warga bangsa saat ini dikejutkan dengan produk para pengelola negara. Berbagai Rancanangan Undang-Undang (RUU) mengalami penolakan dimana-mana.Â
Rakyat menolak berbagai RUU itu karena dinilai memiliki banyak sekali unsur sengkarut pikiran, fatal dalam berlogika, dan ketidakpahaman memahami situasi dan kondisi umat dan rakyat secara keseluruhan.
Akhirnya, para wakil rakyat yang terhormat itu kehilangan kehormatannya sendiri karena dengan telanjang mempertontonkan kejahiliyahan di hadapan publik.Â
Suara rakyat itu kini tidak lagi menjadi suara Tuhan, melainkan sekedar menjadi suara cemoohan dan tawa riang di warung kopi yang menghiasi kegelapan malam.
Melihat fenomena ini, saya sebenarnya teringat perjuangan Jenderal Sudirman saat mempertahankan kemerdekaan. Talqin dan Amaliyah Dzikir telah menerangi jalan panjang beliau mulai dari penyusunan strategi perang hingga eksekusinya di lapangan.Â
Seluruhnya berjalan dengan mulus karena ada cahaya barokah mulai dari perencanaan hingga pelaksaan proses bernegara yang dilakukan oleh Jenderal Sudirman.
Andai aja pengelola negara saat ini juga merupakan bagian integral dari kaum sufi, tentulah pekik perjuangan Jenderal Sudirman tidak akan sekedar menguap di udara.Â