1995 adalah tahun kelahiranmu. Ditandai dengan pristiwa pembantaian Srebrenica, dimana sekitar 8000 warga muslim bosniac dibantai secara membabi buta oleh pasukan sparska pimpinan jendral Retko Mladic. Pristiwa tersebut seakan menjadi kecaman dan petaka akan nilai kemanusian. Beruntung, 3 bulan kemudian, 31 oktober, orang tuamu melahirkan gadis cantik dimana darah etnis tionghoa dan jawa kini mengalir di nadimu laksana ombak yang berderu ke tepi pantai.
Kelahiranmu seakan memberi nafas baru dan menjadi penawar racun pembantaian Srebrenica.Â
Tak ada kata yang bisa saya alirkan, selain ucap syukur kehadiran tuhan yang maha memberi kehidupan. Terima kasih telah melahirkannya dan mengijikanku untuk memilikinya.
Aku tak tahu bagaimana perasaannya terhadap cintaku? Yang ku tahu ia hanya tersesat dalam jeritan kawat berduri yang mencoba menghalaunya untuk merebut cita dan harapan. Kawat itulah yang kerap menjadi beban, menjadi penyakit, menjadi rasa sedih yang ia rasakan selama 4 tahun belakangan ini.
Sebagai lelaki yang terlahir untuknya, aku ingin memutus kawat itu. Agar ia bisa terbang bebas keangkasa atau kemana perasaannya ingin bersandar. Hanya kawat itulah yang mengurungnya ke dalam sangkar.
Tuhan, sayangilah ia. Dan berikanlah aku kekuatan untuk berjuang bersamanya dalam menghancurkan kawat berduri itu. Karena ia adalah Bung Penghujung Zaman, yang tak ada lagi bunga indah setelahnya.
Makassar, 8 april 2018
(Sajak ini telah dibukukan dalam sebuah buku berjudul Tombak Merah Sehimpun Tulisan Bernada Gelora. 2019. Probolinggo: Penerbit Anlitera)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H