Pada prinsipnya hukum syara' yang ditetapkan oleh Allah SWT adalah di fokuskan untuk manusia. Karena manusialah yang mampu menerima Amanah sebagai khalifah di muka bumi. Hukum syara' ditetapkan oleh Allah sebagai rahmat bagi hamba-Nya, untuk mengatur segala tatanan kehidupan hamba-Nya agar berjalan dengan baik dan sesuai dengan apa yang telah ditentukan oleh-Nya. Hukum syara' yang ditetapkan terhadap manusia berbentuk tanpa pengecualian bersifat merata tanpa pandang bulu, pangkat dan strata sosial. Namun hukum syara' memiliki batasan-batasan tertentu sesuai dengan tingkat kemampuan seorang hamban-Nya, misal seperti apa yang dilakukan oleh orang normal dalam melaksanakan ibadah tentunya akan sangat berat dilakukan oleh orang yang sedang sakit. Untuk mewujudkan kemaslahatan terhadap hamba-Nya maka Allah SWT memberikan keringanan dengan menetapkan hukum-hukum pengecualian.
Didalam Alquran menegaskan bahwa Allah SWT tidak akan membebani hamba-Nya di luar batas kemampuannya (QS al-Baqarah [2]:286). Beragam jenis perintah Allah SWT yang wajib dilaksanakan, pasti tidaklah keluar dari batas kesanggupan hamba itu sendiri untuk melaksanakannya. Bahkan, hukum wajib terseut bisa gugur dan di subtitusikan dengan perkara lain misal seperti membayar fidyah, tayammum, sholat dengan posisi duduk dll. Keringanan tersebut dibentuk oleh beberapa faktor, diantaranya keringanan dalam bentuk pengguguran, keringanan dalam bentuk pengurangan, keringanan dalam bentuk pengurangan, keringanan dalam bentuk penggantian, keringanan untuk mendahukukan sesuatu yang belum datang waktunya, keringanan untuk mengakhirkan sesuatu yang telah datang waktunya, keringanan dalam bentuk kemurahan, dan keringanan dalam bentuk perubahan. Bentuk rukhsah tersebut diperntukkan kaum muslim untuk mendapatkan keringanan yang nantinya akan diambil tergantung dengan kasus, situasi dan kondisi yang dihadapi.
Istilah rukhsah dalam hukum Islam diartikan sebagai keringanan atau kelonggaran terhadap ketentuan Allah SWT. Dengan adanya konsep rukhsah dalam Islam, mukallaf bisa mendapatkan keringanan dalam melakukan ketentuan Allah SWT pada keadaan yang memang-memang tidak memungkinkan seperti saat kesulitan. Terdapat dalam Ilmu ushul fikih menyebutkan, konsep rukhsoh bisa diperbolehkan atau diberikan kepada orang-orang yang memang mengalami kebutuhan (al-hajat) dan keterpaksaan (ad-dariirat).
Pada akhir ini, sering kita menemui orang-orang yang tetap melakukan kewajiban memaksakan diri dengan dalih semakin berat suatu ketentuan jika dilaksanakan dengan benar dan usaha yang besar, maka semakin banyak pahala yang akan diberikan. Kejadian tersebut sebenarnya tidaklah benar, karena Islam sendiri memberikan ketentuan-ketentuan syara' sudah dikonsep sebaik mungkin seperti ada batasan-batasan pengecualian dengan tingkat kemampuan seorang hambanya.Â
Oleh karena itu, fokus penulis disini yakni menguatkan dalil tentang konsep rukhsoh melalui hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dengan harapan para pembaca bisa menambah wawasan dan yakin terhadap konsep rukhsah yang memang ada dan diperbolehkan dalam Islam.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Rukhsah
Secara bahasa rukhsah memiliki artian yang berarti keringanan dan kemudahan. Sebagaimana yang terdapat dalam ungkapan (Abdul Karim:2001). Secara istilah rukhsah memiliki beberapa pengertian dari ulama-ulama fikh, diantaranya:
- Menurut Ulama Syafi'iyah, rukhsah adalah (Wahbah al-Zuhaily:1996)
- Menurut Ulama al-Thufi rukhsah adalah (Abdul Karim bin Ali bin Muhammad al-Namlah:2001)
Dari dua pernyataan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian rukshah yakni sebuah ketetapan hukum yang menyalahi atau berbeda dari hukum yang sudah ditetapkan seara kulli atau dalam istilah disebut dengan 'azmiah. Rukhsah lebih condong terhadap pengecualian dari hukum-hukum yang ditetapkan secara global yang bersifat umum.
B. Kritik Sanad Hadits
Sesuai dengan objek kepenulisan artikel ini. Penulis menguatkan konsep rukhsah dengan hadits nabi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari:1710, berikut
:
Shahih Bukhari 1710: Telah menceritakan kepada kami Abu Al Walid telah menceritakan kepada kami Syu'bah berkata: telah mengabarkan kepada saya 'Amru bin Dinar: aku mendengar Jabir bin Zaid: Aku mendengar Ibnu 'Abbas radliyallahu 'anhuma berkata: Aku mendengar Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkhuthbah di 'Arafah: "Barangsiapa yang tidak memiliki sepasang sandal hendaklah dia memakai sepatunya. Dan barangsiapa yang tidak memiliki kain sarung hendaklah dia memakai celana untuk ihram".
Setelah dilakukan takhrij (penelusuran) terhadap hadits tersebut, dapat disimpulkan hadits tersebut ditemukan dalam 5 kitab hadits, yaitu: Sunan Ibn Majah nomor hadits 2922, Musnad Ahmad nomor hadits 1817, 1911, 2395, 2452, 2949, 4222, 4224, 5638, 13941, 14716, Sunan Darimi nomor hadits 1731, Sunan Nasa'I nomor hadits 2624, 2631, 2632, dan 5230, dan dalam kitab Shahih Muslim dengan nomor hadits 2014 dan 2016.
Setelah melakukan penelusuran terhadap masing-masing perawi, semuanya memiliki ketersambungan. Hal ini dikarenakan masing-masing perawi memiliki hubungan guru dan murid. Disamping itu, perawi-perawi hadits diatas juga dinilai sebagai perawi yang tsiqah. Dengan demikian hadits tersebut adalah shahih karena telah memenuhi kriteria kaedah keshahihan hadits.
C. Kritik Matan Hadits
Dalam hadits tersebut dinukilkan bahwasanya ketika Rasulullah sedang berkhotbah di arafah beliau bersabda bahwa bagi orang yang tidak memiliki sandal, maka orang tersebut mendapatkan rukhsah atau keringanan dengan diperbolehkannya memakai khuf (kaos kaki kulit). Dan bagi orang yang tidak memiliki kain sarung yang tidak berjahit maka diperbolehkan mengenakan celana untuk ihram. Para ulama menyepati namun terdapat perbedaan pendapat mengenai apakah orang yang mengenakan celana dan khuf jika tidak memiliki sandal dan sarun maka dikenakan fidyah atau tidak.
Hadits tersebut menjadi suatu dalil dasar hukum bagi keringanan (rukhsah) terhadap sesuatu ketentuan-ketentuan Islam. matan hadits tersebut menunjukkan bahwa Islam memberikan kemurahan atau keringan terhadap ketenteuan yang diluar batas kemampuan atau dalam kondisi yang memang tidak memungkinkan. Dalam matan hadits tersebut menjelaskan bahwa rasul menyamapaikan beberapa konsep tentang Ihram Haji bahwasanya jika pelaku ibadah terebut tidak memiliki sandal maka cukup baginya untuk mengenakan khauf dan apabila juga pelaku ibadah tersebut tidak meiliki kain sarung yang tidak berjahit maka diperbolehkan mengenakan celana namun membayar fidyah sebagai penggantinya menurut madzhab Imam Hambali.
Islam begitu menjaga ketat terhadap segala ketentuan-ketentuannya, apabila ketentuan tersebut dilaur batas kemampuannya atau sedang tidak memungkinkan untuk dilakukan maka diberikannya rukhsah atau keringanan kepadanya yang nantinya disesuaikan dengan konteks ketentuan ibadahnya. Bila dilihat dari sisi hukum ulama Syafi'iyah dan Hanafiyah membagi rukhsah kepada beberapa bagian, Imam Syafi'I mengklasifikasikan rukhsah menjadi 4 bagian:
- Rukhsah Wajib
Memakan bangkai dalam keadaan darurat atau meminum khamar bagi orang yang tenggorokannya tersekat sehingga tidak bisa bernafas. Maka jika berada dalam kondisi ini hukumnya wajib untuk mengambil Rukhshah untuk memelihara jiwa. (Wahbah alZuhaily: 1996, Abdul Karim bin Ali bin Muhammad alNamlah: 2001, Abdul Haq, 2006) Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat alBaqarah: 195: "Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri dalam kebinasaan" (QS. Al-Baqarah:195).
- Rukhsah Mandub
Rukhshah mandub. Contohnya salat qasar bagi musafir yang telah melakukan perjalanan selama tiga hari. Adapun qasar dalam kondisi ini adalah sunnat atau lebih afdhal melakukannya. Berdasarkan firman Allah surat al-nisa,: 101 dan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar bin Khattab bahwa shalat qasar adalah sedekah yang diberikan oleh Allah maka terimalah sedekah Allah tersebut. Demikian juga hukum melihat wajah dan kedua telapak tangan calon istri saat meminangnya. (Wahbah alZuhaily: 1996: 111, Abdul Karim bin Ali bin Muhammad alNamlah: 2001, 99, Abdul Haq, 2006, 182).
- Rukhsah Mubah
Rukhshah Mubah. Contohnya seperti akad salam, akad ijarah, akad masaqah. Akad ini dikategorikan rukhshah yang mubah karena memandang hukum asalnya yang tidak diperbolehkan karena dianggap membeli barang yang ma'dum, dan mengambil manfaat yang ma'dum (Wahbah al-Zuhaily: 1996: 111, Abdul Karim bin Ali bin Muhammad alNamlah: 2001, 109-119, Abdul Haq,dkk, 2006, 182).
- Rukhsah Khilaful Awla (lebih utama ditinggalkan)
Contohnya berbuka bagi musafir yang tidak mengalami kesulitan untuk melaksanakan puasa, menyapu sepatu, melafazkan kafir dalam kondisi terpaksa. (Wahbah alZuhaily: 1996: 111, Abdul Karim bin Ali bin Muhammad al- Namlah: 2001, 120-125, Abdul Haq, 2006, 182)
- Berbeda dengan Ulama Syafi'iyah, Ulama Hanafiyah memiliki 4 klasifikasi yang berbeda, diantaranya:
- Kebolehan melakukan perbuatan yang diharamkan karena kondisi darurah atau hajah. Contohnya: kebolehan mengucapkan kata-kata kufur tetapi hati tetap dalam keimanan jika berada kondisi terpaksa seperti akan dibunuh. atau kebolehan memakan bangkai dalam kondisi sangat lapar serta kebolehan meminum khamar dalam kondisi sangat haus.
- Kebolehan meninggalkan yang wajib apabila pelaksanaannya amat berat karena adanya kesulitan. Contohnya boleh berbuka puasa Ramadhan bagi orang yang sakit dan musafir. Kondisi sakit dan safar tidak mewajibkan berbuka. Demikian juga dengan mengqasar salat yang empat rakaat ketika dalam perjalanan dan menyapu sepatu ketika berwudhu'.
- Kebolehan melakukan akad atau melakukan sesuatu yang dibutuhkan manusia dengan menyalahi kaidah-kaidah yang bersifat umum. Seperti akad salam dan ijarah.
- Kebolehan meninggalkan syariat umat sebelum kita karena jika tidak ditinggalkan akan menimbulkan kesulitan. Contohnya membayar zakat 25% dari harta, bunuh diri sebagi cara untuk taubat, memotong pakaian yang terkena najis sebagai cara untuk membersihkannya. Bila diperhatikan keringan hukum dalam hal ini dibandingkan yang berlaku sebelum ini lebih tepat disebut nasakh, meskipun demikian dalam pengertian luas dapat juga disebut Rukhshah. Wahbah alZuhaily, 1996: 112-114, Abdul Aziz Dahlan (Ed), 1993:157-158, Amir Syarifuddin, 2000: 324-326, Mukhtar Yahya, dkk, 1997: 151- 152)
Bila dilihat secara sisi bentuk-bentuk keringanan, maka rukhsah terbagi menjadi beberapa bentuk, diantaranya:
- Rukhshah yang berbentuk menggugurkan kewajiban (Takhfif isqath): Contohya boleh meninggalkan shalat jumat, haji, umrah dan jihad. Semua perbuatan itu tidak dapat dilakukan jika terdapat uzur dengan ketentuanketentuan tertentu.
- Rukhshah yang berupa pengurangan kuantitas pekerjaan (Takhfif tanqish): Contohnya seperti kebolehan mengqasar shalat bagi musafir.
- Rukhshah yang berbentuk penggantian kewajiban (Takhfif ibdal): Contohnya mandi dan wudhu diganti dengan tayamum. Kewajiban berdiri dalam shalat dapat di ganti dengan duduk, berbaring dan dengan isyarat. Begitu juga kewajiban memerdekan budak dalam kaffarat dapat diganti dengan puasa dua bulan berturutturut dan memberi makan fakir miskin. Kewajiban mengganti puasa bagi orang yang sudah tua yang tidak mampu berpuasa dapat diganti dengan membayar fidyah.
- Rukhshah dalam bentuk mendahulukan kewajiban (Takhfif taqdim): Contohnya membayar zakat fitrah pada awal Ramadhan padahal waktu wajibnya adalah ketika akhir Ramadhan. Mengerjakan sholat Asar pada waktu Dzuhur dalam jamak taqdim, juga membayarkan zakat maal sebelum haulnya.
- Rukhshah berupa penundaan kewajiban (Takhfif ta'khir): Seperti penangguhan puasa Ramadhan ke waktu sesudahnya, melaksanakan shalat Dzuhur pada waktu Ashar.
- Rukhshah berbentuk peringanan (Takhfif tarkhis): Rukhshah berbentuk peringanan. Contohnya diperbolehkan memakan bangkai saat kelaparan, berobat dengan obat-obatan atau makanan yang najis atau haram, dan meminum khamar bagi orang yang tersekat tenggorokannya. Seluruh jenis rukhshah ini dapat dilakukan jika sudah menjadi keharusan dan satu-satunya jalan bisa ditempuh untuk menyelamatkan penderita.
- Rukhshah dalam bentuk mengubah kewajiban (Takhfif taghyir): Contohya cara shalat dalam kondisi peperangan, shalat dalam kondisi ini bisa dilakukan sesuai kemampuan dan gerakan yang mungkin bisa dilakukan. (Amir Syarifuddin, 2000: 326, Abdul Haq, 2006: 183-185).
Dalam Objek Rukshah perpesktif fiqh sering ditegaskan bahwa setiap ada massaqah akan mendapatkan rukhsah, tetapi tidak semata-mata semua orang mendapatkan rukhsah ini. Ada beberapa kategori yang bisa mendapatkan rukhsah, diantaranaya:
- Ikrah (pemaksaan)
Terpaksa yang dimaksud disini adalah menghendaki orang lain melakukan tindakan yang bertentangan dengan keinginannya, atau dalam defenisi lain menyuruh orang lain untuk melakukan perbuatan tertentu, sekaligus memberikan ancaman yang sangat mungkin untuk dijatuhkan sehingga orang dipaksa mengalami ketakutan.
Untuk sahnya sesuatu pekerjaan dapat dikategorikan terpaksa, maka ulama ushul memberikan syarat yaitu:
1. Pemaksa mampu merealisasikan ancamannya, baik melalui sarana kekuasaan atau intimidasi.
2. Orang yang dipaksa tidak mampu menolak dengan cara apapun.
3. Orang yang dipaksa menduga kuat jika dia menolak maka ia akan melaksanakan ancamannya.
4. Objek paksaan adalah sesuatu yang diharamkan dan mengakibatkan kerusakan. (Muhammad Abu Zahrah, t. th: 321, Amir   Syarifuddin, 2000: 380, Abdul Haq, 2006: 186)
- Nisyan (lupa)
Nisyan atau lupa adalah tidak mampu menampilkan sesuatu dalam ingatan pada waktu yang diperlakukan oleh beberapa faktor. Ketidakmampuan ini menyebabkan tidak ingat akan beban hukum yang dipikul padanya. Nisyan ini diklasifikasikan menjadi 3 bagian:
1. Jika lupa dalam bentuk meninggalkan suatu kewajiban, maka hakikatnya kewajiban tersebut belum gugur.
2. Apabila lupa adalah melakukan suatu larangan, maka akan menimbulkan dua akibat: pertama; jika berhubungan dengan perusakan harta benda maka tidak berdosa tetapi wajib membayar ganti rugi. Kedua; jika tidak berkaitan dengan ganti rugi maka tidak ada dosa dan ganti rugi.
3. Lupa terjadi pada sesuatu yang berakibat fatal, seperti hukuman dera, maka dalam kondisi ini lupa dianggap sebagai sesuatu yang subhat sehingga tidak dapat diterapkan hukuman. (Abdul haq, 2006:189)
- Jahl (tidak tahu)
Ketidaktahuan adalah suatu hal yang sangat dilematis. Pada satu sisi Islam sangat membencinya tetapi ia selalu ada. Karena itu, syariat yang mulia tidak serta merta menafikannya tetapi memberikan klasifikasi pada aspek-aspek mana saja mendapatkan rukhshah.
Ulama ushul fikh mengklasifikasikan ketidaktahuan menjadi 4 bagian, diantaranya:
1. Ketidaktahuan tentang hukum yang pelakunya tidak diberi uzur atau Rukhshah. Contohnya murtad setelah masuk Islam.
2. Ketidaktahuan yang pelakunya diberi keringanan, karena ketidak tahuannya tersebut berada dalam hal-hal yang meragukan dari segi dalil hukum. Contohnya tidak tahu dalam masalah-masalah yang pemahamannya memerlukan tafsir dan ta'wil. Ketidak tahuan tentang ta'wil tersebut maka meyebabkan pelakunya menjadi kafir, maka tidak tahu dalam hal ini dapat dikategorikan rukhshah.
3. Ketidaktahuan dalam lapangan ijtihad. Dalam hal ini ada tiga bentuk; pertama, tidak tahu dalam hal hukum yang memiliki dua dalil, kedua, tidak tahu tentang sebab yang menimbulkan larangan, ketiga, tidak tahu tentang hukum yang dalil-dalil hukumnya itu berbeda.
4. Ketidaktahuannya karena berada di luar lingkungan Islam. (Muhammad Abu Zahrah, t. th: 315, Wahbah al-Zuhaily, 1996: 177-178, Amir Syarifuddin, 2000: 377).
- Safar (perjalanan)
Bepergian atau melakukan perjalanan sudah merupakan suatu kebutuhan bagi manusia. Walaupun tidak masuk kategori primer bisa dikatakan sebagai "semi primer". Dalam keadaan tertentu terkadang perjalanan tersebut mengakibatkan kesulitan untuk melaksanakan kewajiban agama. Pada dasarnya kesulitan dalam perjalanan tidak menghilangkan kecakapan untuk berbuat hukum. Tetapi syariat yang mulia ini memberikan kemudahan (rukhshah) dalam perjalanan.
Di antara kemudahan (rukhshah) dalam perjalanan adalah: bolehnya menqasar shalat yang empat rakaat, boleh berbuka puasa Ramadhan, bolehnya menyapu sepatu lebih dari malam, bolehnya meninggalkan shalat jumat dan mengganti dengan salat zuhur, bolehnya menjama' sholat, bolehnya memakan bangkai dan sesuatu yang diharamkan, serta gugurnya kewajiban salat yang telah dilakukan walaupun bersuci dengan tayamum. (Abdul haq, 2006: 192, Amir Syarifuddin, 2000: 384).
- Maradl (sakit)
Sakit adalah sesuatu yang manusiawi yang dirasakan hampir bahkan seluruh manusia. Tetapi yang menjadi persoalan apakah sakit menggugurkan beban hukum atau tidak. Berbicara tentang sakit disini adalah terkait dengan penyakit yang menyulitkan seseorang untuk melaksanakan kewajibannya, karena ternyata keadaan sakit tidak menghilangkan kecakapan dalam berbuat hukum. Karena cakap terkait dengan akal. Sementara orang yang sakit akalnya masih tetap utuh.
Syariat yang mulia memberikan keringanan kepada orang-orang yang sakit dalam menjalankan kewajibannya. Tetapi tidak semua jenis penyakit mendapat keringanan dalam hukum. Karena itu fuqaha memberikan batasan bahwa sakit yang mendapat keringanan adalah sakit yang membahayakan dirinya jika ia melakukan kewajiban syariat sesuai dengan ketentuan umum yang berlaku. Contohya orang yang sakit boleh berbuka puasa Ramadhan, boleh mengganti wudhu' dengan tayammum, boleh duduk dalam shalat atau berbaring, dan juga berobat dengan sesuatu yang najis.
- Al-'Usr (kesulitan)
Kehidupan manusia tidak akan lepas dari keadaan yang mengharuskannya melakukan pilihan-pilihan yang serba sulit dan dilematis. Hal ini pasti akan terjadi dalam dinamika kehidupan sehari-hari. Hukum Islam bukanlah hukum yang ekstrim, hukum Islam memiliki elastisitas hukum yang disesuaikan dengan konteks permasalahan yang terjadi.
Contohnya ketika turun hujan, biasanya percikan air akan bercampur dengan najis dan hal ini sangat sulit untuk dihindarkan. Namun karena percikan ini timbul dari keadaan yang sulit untuk dihindari maka hukumnya dimaafkan. Demikian juga dengan hal lain seperti darah bisul, lalat, jerawat adalah hal yang sangat sulit untuk dihindari karena kadarnya sedikit sehingga kondisi ini masuk kategori yang dimaafkan. (Abdul haq, 2006: 191)
- Naqish (nilai minus)
Yang termasuk dalam kategori ini adalah anak-anak, orang gila, idiot (safih), dan hamba sahaya. Ketidaksempurnaan yang dimaksud bukan berati cacat badan atau minusnya intelektualitas melainkan nilai minus yang bersifat insting psikologis ( tabiat Kejiwaan).
Anak kecil, idiot dan orang gila nilai minusnya terletak pada daya pikir yang kurang memadai dibanding daya nalar orang normal dan dewasa. Sementara nilai minus hamba sahaya terletak pada kedudukannya yang masih berada di bawah kekuasaan orang lain. Syariat memberikan rukhshah bagi mereka dalam pelaksanaan hukum. (Abdul haq, 2006: 194)
Kesimpulan
Agama islam merupakan agama yang didalamnya membahas segala aspek kehidupan baik dari bangun tidur hingga tidur kembali. Berbagai ketentuan seperti rukun, syarat, dan tata tertib segalanya diatur oleh agama Islam dengan ketentuan dari Allah SWT dengan dalil yang menguatkan seperti Al-Qur'an, Hadits Nabi Muhammad SAW, Ijma' Ulama, Qiyas, dll.
Ketentuan-ketentuan tersebut bersifat merata, semua orang akan dikenakan ketentuan tersebut. Akan tetapi apabila ketentuan tersebut diluar batas kemampuannya atau sedang tidak memungkinkan untuk melaksanakan ketentuan tersebut, Islam memberikan keringanan yang disebut Rukhsah. Istilah rukhsah dalam hukum Islam diartikan sebagai keringanan atau kelonggaran terhadap ketentuan Allah SWT. Dengan adanya konsep rukhsah dalam Islam, mukallaf (orang yang dikenakan kewajiban) bisa mendapatkan keringanan dalam melakukan ketentuan Allah SWT pada keadaan yang memang-memang tidak memungkinkan seperti saat kesulitan.
Dengan penguatan dari Hadis Imam Bukhari 1710 hadits tersebut memberikan gambaran kiyas terhadap persoalan umum tentang rukhsah. Hadist tersebut tergolong hadits shahih dan mampu dijadikan sebagai dalil untuk menopang argument-argumen individu yang menentangnya.
Referensi
Abdul Karim bin Ali bin Muhammad al-Namlah, 2001, Rakhshu al-Syar'iyyah Istbatuha bi al-Qiyas, Riyadh: Maktabah Rusyd
Abdul Haq, dkk, 2006, Formulasi Nalar Fiqih; Telah Kaidah Fiqh Konseptual, Surabaya: Khalista
Abu Zahrah, t. th, Ushul Fiqh, Kairo: Daa al-Fikr al;'Arabi
Abdul Aziz Dahlan (Ed), 1999, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve
Kasmidin, 2011, al-Qawaed alFiqhiyyah, Batusangkar: STAIN Baqatusangkar Press
Mukhtar Yahya, dkk, 1997, Dasardasar Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung: Al-Ma'rifat
Amir Syarifuddin, 2000, Ushul Fiqh I, Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Wahbah al-Zuhaily, 1996, Ushul alFiqh al-Islamy, Damaskus: Dar al-Fikr
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H