Mohon tunggu...
Farida Eka Putri
Farida Eka Putri Mohon Tunggu... Psikolog - Cerita dari ruang praktik psikolog klinis.

Clinical Psychologist, Graphologist, and Learners. Menulis saja dulu, suatu saat pasti berguna. Email: faridaekap@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Pentingnya Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak

9 Januari 2023   15:15 Diperbarui: 11 Januari 2023   13:54 1447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya senang sekali mendengar curahan hati bapak ojek online, walaupun hari-harinya penuh perjuangan mencari rezeki di Ibu Kota namun ia tetap menyempatkan waktu untuk pulang ke rumah dan bermain bersama putra-putrinya di akhir pekan. 

Bapak ojek online yang berdomisili di Citayam, Kota Depok Jawa-Barat sehari-hari mencari penumpang di Wilayah Jakarta Pusat dengan pertimbangan lebih banyak penumpang khususnya para pekerja di kawasan perkantoran Jakarta yang pesan ojek dibandingkan di daerahnya.

Demi berhemat dan membawa uang lebih banyak, ia memutuskan untuk menginap di masjid dan pom bensin yang menyediakan tempat istirahat dari hari Senin sampai Jumat, lalu pulang ke rumah di akhir pekan Sabtu dan Minggu untuk bertemu istri serta kedua anaknya di rumah. 

Selama mendengar cerita tersebut di perjalanan saya ikut antusias dan merasa malu jika terbesit keluhan di dalam hati perkara pekerjaan yang saya jalani di kantor saat ini. 

Bagaimana tidak, ia berkata bahwa "Mbak, lelah saya hilang kalau sudah sampai di rumah bermain dengan anak-anak terus semangatnya muncul lagi, anak kan butuh bapaknya yaa kan mbak?"

Saya hanya tertawa kecil merespons pertanyaan itu, namun entah mengapa cerita singkat bapak ojek online itu menghangatkan hati saya sepanjang perjalanan pulang ketika saya menyadari bahwa belum banyak ayah yang paham dirinya begitu penting dalam pengasuhan tumbuh kembang anak. 

Hal ini juga didukung oleh pernyataan dari Kementerian PPPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) bahwa Indonesia masuk dalam 10 besar negara dengan fatherless dalam urusan perkembangan anak (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, 2020).  

Profesi saya sebagai psikolog yang banyak menjumpai klien-klien dengan kondisi fatherless membuat saya begitu khawatir apabila putri kecil saya juga kekurangan sosok ayah di hidupnya terutama di masa anak dan remajanya kelak, maklum saya dan suami harus bekerja di luar rumah demi mencukupi kebutuhan dan keinginan hidup rumah tangga kami berdua. 

Tak jarang sosok suami sebagai economic provider utama, sehingga di hari libur kerja masih mencari rezeki dengan bekerja sampingan untuk menambah income keluarga. Kondisi ini membuat berkurangnya waktu anak saya dengan ayahnya.

Fatherless merupakan sebuah istilah yang sebenarnya memiliki batasan kurang jelas mengenai orangtua yang absen atau terpisah dari anak-anaknya kadang-kadang. Kurangnya kejelasan dalam definisi ini, maka fatherless dapat mencakup aspek sebagai berikut: 

1) Memiliki ayah namun tidak hadir dalam kehidupan seseorang; 2) Tidak memiliki ayah karena kematian; 3) Tidak memiliki ayah karena perceraian ataupun perselisihan keluarga; 4) Ketidakhadiran ayah kerena komitmen kerja; 5) Kehadiran ayah di tempat tinggal atau kediaman keluarga karena penahanan atau pelembagaan; 6) Ayah ada secara fisik, namun tidak hadir karena tidak tertarik atau pengabaian (East et al., 2006).

Tulisan saya dalam kesempatan kali ini merujuk pada ayah hanya ada secara fisik namun tidak hadir secara psikologis di dalam jiwa anak. 

Ketidakhadiran ayah bisa terjadi karena kesibukan pekerjaan ataupun kondisi ayah yang kurang paham bahwa kehadirannya untuk mengasuh anak ternyata dapat memberikan dampak yang positif bagi kehidupan putra-putri mereka di masa depan. 

Namun yang membuat saya termotivasi untuk rajin bahkan tak jarang menjadi agresif meminta suami meluangkan waktunya untuk bermain dengan anak perempuan saya bukanlah dampak positifnya melainkan dampak-dampak negatif yang saya amati dari banyak klien saya di fase usia dewasa awal sekitar 20-25 tahun.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sundari & Herdajani (2013) memaparkan bahwa kondisi fatherless yang dialami oleh individu berdampak pada rendahnya harga diri (self esteem) ketika individu telah dewasa, rasa marah (anger), dan malu (shame) karena berbeda dengan anak lain dan juga tidak memiliki pengalaman kebersamaan dengan seorang ayah seperti dirasakan individu lain. 

Fatherless juga dapat menyebabkan individu akan merasakan kesepian (loneliness), kecemburuan (envy), kedukaan (grief) serta rasa kehilangan yang amat sangat, dan rendahnya kontrol diri (self control), inisiatif, keberanian mengambil resiko (risk taking), juga kecenderungan neurotic terutama terjadi pada anak perempuan.

Bayangkan begitu banyak dampak negatif anak yang dirasa, dampak tersebut membuat saya khawatir jika kebutuhan peran ayah tidak hadir anak akan melakukan penyimpangan perilaku dan merasakan ketidakbermaknaan hidup. 

Lalu bagaimana jika ayah harus bekerja dan memiliki waktu yang singkat untuk membersamai anak di rumah? Apakah perlu mengorbankan pekerjaan dengan melewatkan tawaran-tawaran peningkatan karir? Padahal bekerja secara profesioanal sehingga ada peningkatan finansial juga dibutuhkan dalam membangun kestabilan rumah tangga. Ah, rupanya begitu sulit menjadi orangtua.

Semakin dewasa, saya semakin menyadari bahwa waktu adalah sesuatu yang paling berharga selain kesehatan. 

Saya terus mencari cara bagaimana saya dan suami mampu hadir mengisi jiwa anak kami di tengah kesibukan sebagai pekerja di Ibu Kota. Terutama suami yang masih harus bekerja di weekend, saya berupaya sekali agar anak perempuan kami tidak merasa kekurangan cinta kasih sayang ayahnya. 

Sebagai seorang istri dan ibu, agak sulit bagi saya untuk memilih antara uang dan kasih sayang karena memang kami membutuhkan hal itu semua agar kehidupan yang kami jalani saat ini berkualitas.

Saya setuju dengan konsep teori yang dikembangkan oleh Pleck (2010) tentang lima dimensi keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak, yaitu dimensi positive engagement activities, warm and responsiveness, control, indirect care, dan process responsibility. 

Idealnya dimensi-dimensi tersebut diupayakan setiap hari dengan konsisten, akan tetapi saya memahami hampir tidak ada kondisi yang ideal dalam pola pengasuhan.

Lakukanlah upaya terbaik di tengah keterbatasan yang ada sebagai orang tua. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai dimensi dan contoh kegiatan yang suami saya sering lakukan sebagai ayah untuk mengisi jiwa buah hati kami di tiap kesempatan yang ia bisa:

  • Dimensi Positive Engagement Activities adalah bentuk interaksi yang dilakukan seorang ayah secara langsung seperti meluangkan waktu agar dapat melakukan aktivitas bersama anak. Bisa juga diartikan sebagai bentuk pendekatan secara emosional untuk melihat perkembangan pada anak. Contoh: menemani anak imunisasi ke dokter, menggantikan popok anak, bermain, memberikan makan, dan belanja kebutuhan anak di supermarket.
  • Dimensi Warm and Responsiveness adalah karakter ayah dalam menggambarkan adanya sisi kehangatan serta ketersediaan dalam menunjukkan tindakan yang diberikan oleh buah hati. Contoh: sering memeluk dan menggendong anak, mengatakan secara lisan bahwa ia sayang dengan anak, dan mendengarkan celoteh anak.
  • Dimensi Control adalah komponen yang menunjukkan perilaku ayah saat sedang mengawasi dan membuat keputusan. Contoh: ayah hadir saat pembuatan keputusan penting yang menyangkut kepentingan anak seperti merencanakan pendidikan dan melakukan ibadah secara bersama ketika di rumah.
  • Dimensi Indirect Care, hal ini terbagi menjadi dua golongan yaitu material indirect care dan social indirect care. Pada dimensi ini ayah tidak melakukan komunikasi secara langsung dengan anak namun ayah akan tetap memperhatikan segala kegiatan dan aktivitas anak. Pada kategori material indirect care ayah akan memenuhi segala kebutuhan anak dan memberikan fasilitas yang diperlukan anak. Sedangkan pada kategori social indirect care ayah akan mengenalkan anak dengan lingkungan sekitarnya dengan harapan agar buah hatinya dapat bersosialisasi sehingga membuat anak menjadi sosok yang berkembang. Contoh: mengantarkan dan menjemput anak sekolah.
  • Dimensi Process Responsibility adalah sebagai kepala keluarga dituntut untuk mengemban tugas dan tanggung jawab yang utama dalam proses pengasuhan anak. Ayah menujukkan inisiatif serta mengamati keperluan terkait dengan anak. Dengan terlibatnya ayah dalam proses ini membuat ibu merasa adanya dukungan sosial yang lebih baik, menjadi lebih sering melakukan diskusi dan berimbas pada keharmonisan hubungan rumah tangga.

Oleh karenanya saya himbau kembali dalam tulisan ini ayah perlu merubah pola pikirnya terkait memusatkan pengasuhan hanya bisa dilakukan oleh ibu dan ibu perlu senantiasa mendukung serta memberikan kesempatan bagi ayah untuk membersamai anak di rumah. 

Mengasuh anak bukan hanya menjadi tanggung jawab ibu melainkan secara bersama dengan pasangan. Semakin besar ayah terlibat dalam pengasuhan anak bersama ibu, semakin optimal pertumbuhan dan perkembangan anak.

Daftar Referensi:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun