1) Memiliki ayah namun tidak hadir dalam kehidupan seseorang; 2) Tidak memiliki ayah karena kematian; 3) Tidak memiliki ayah karena perceraian ataupun perselisihan keluarga; 4) Ketidakhadiran ayah kerena komitmen kerja; 5) Kehadiran ayah di tempat tinggal atau kediaman keluarga karena penahanan atau pelembagaan; 6) Ayah ada secara fisik, namun tidak hadir karena tidak tertarik atau pengabaian (East et al., 2006).
Tulisan saya dalam kesempatan kali ini merujuk pada ayah hanya ada secara fisik namun tidak hadir secara psikologis di dalam jiwa anak.Â
Ketidakhadiran ayah bisa terjadi karena kesibukan pekerjaan ataupun kondisi ayah yang kurang paham bahwa kehadirannya untuk mengasuh anak ternyata dapat memberikan dampak yang positif bagi kehidupan putra-putri mereka di masa depan.Â
Namun yang membuat saya termotivasi untuk rajin bahkan tak jarang menjadi agresif meminta suami meluangkan waktunya untuk bermain dengan anak perempuan saya bukanlah dampak positifnya melainkan dampak-dampak negatif yang saya amati dari banyak klien saya di fase usia dewasa awal sekitar 20-25 tahun.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sundari & Herdajani (2013) memaparkan bahwa kondisi fatherless yang dialami oleh individu berdampak pada rendahnya harga diri (self esteem) ketika individu telah dewasa, rasa marah (anger), dan malu (shame) karena berbeda dengan anak lain dan juga tidak memiliki pengalaman kebersamaan dengan seorang ayah seperti dirasakan individu lain.Â
Fatherless juga dapat menyebabkan individu akan merasakan kesepian (loneliness), kecemburuan (envy), kedukaan (grief) serta rasa kehilangan yang amat sangat, dan rendahnya kontrol diri (self control), inisiatif, keberanian mengambil resiko (risk taking), juga kecenderungan neurotic terutama terjadi pada anak perempuan.
Bayangkan begitu banyak dampak negatif anak yang dirasa, dampak tersebut membuat saya khawatir jika kebutuhan peran ayah tidak hadir anak akan melakukan penyimpangan perilaku dan merasakan ketidakbermaknaan hidup.Â
Lalu bagaimana jika ayah harus bekerja dan memiliki waktu yang singkat untuk membersamai anak di rumah? Apakah perlu mengorbankan pekerjaan dengan melewatkan tawaran-tawaran peningkatan karir? Padahal bekerja secara profesioanal sehingga ada peningkatan finansial juga dibutuhkan dalam membangun kestabilan rumah tangga. Ah, rupanya begitu sulit menjadi orangtua.
Semakin dewasa, saya semakin menyadari bahwa waktu adalah sesuatu yang paling berharga selain kesehatan.Â
Saya terus mencari cara bagaimana saya dan suami mampu hadir mengisi jiwa anak kami di tengah kesibukan sebagai pekerja di Ibu Kota. Terutama suami yang masih harus bekerja di weekend, saya berupaya sekali agar anak perempuan kami tidak merasa kekurangan cinta kasih sayang ayahnya.Â
Sebagai seorang istri dan ibu, agak sulit bagi saya untuk memilih antara uang dan kasih sayang karena memang kami membutuhkan hal itu semua agar kehidupan yang kami jalani saat ini berkualitas.