"The constitutional implementation of legislation can only be guaranteed effectively if an organ other than the legislative body is assigned with the task of examining whether or not a legislative product is constitutional.."
Kutipan pakar hukum Austria sekaligus penggagas "Teori Hukum Murni," Hans Kelsen tersebut telah menjadi dasar pembentukan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) pada 2003 silam. Sebagai wujud komitmen negara hukum dan demokrasi, Indonesia turut menjalankan agenda reformasi nasional melalui supremasi konstitusi dan perlindungan hak-hak konstitusional warga negara dengan melakukan amandemen UUD NRI 1945.
Sebagaimana pandangan Kelsen tersebut, pembentukan MK di Indonesia tidak terlepas dari adanya kebutuhan pengujian produk legislasi (undang-undang) terhadap konstitusi (UUD NRI 1945), yang mana hal ini tengah berkembang menjadi kebutuhan konstitusional global dan harus dilakukan oleh lembaga peradilan yang independen dan bebas intervensi. Oleh karena itu, pada 13 Agustus 2003 silam MK resmi dibentuk sebagai lembaga peradilan konstitusi Indonesia sesuai amanat Pasal 24C UUD NRI 1945, dan resmi mengemban tugas sebagai pengawal konstitusi (the guardian of constitution) serta penafsir tunggal konstitusi (the sole interpreter of constitution) dalam lingkup kekuasaan kehakiman. Peran sebagai pengawal konstitusi dan penafsir tunggal konstitusi tersebut diwujudkan dengan pelaksanaan fungsi constitutional review. Mekanisme constitutional review ini menjadi praktik negara hukum modern dalam melindungi hak-hak konstitusional warga negara, menegaskan prinsip demokrasi, serta menjaga check and balances antar lembaga negara.
Pasca pembentukannya 20 tahun lalu, berbagai dinamika dan tantangan terkait pelaksanaan tugas dan fungsinya tentu pernah dihadapi MK. Tak sedikit pula apresiasi dan depresiasi yang diterima MK pasca menerbitkan 3.503 putusan, dengan putusan perkara Pengujian Undang-Undang (PUU) mencapai 1.662 sampai dengan pertengahan 2023. Terlihat, bahwa hampir setengah dari total permohonan yang diputus MK didominasi oleh permohonan PUU.
Permohonan PUU di MK tersebut memiliki polemik tersendiri dalam sepak terjang kehadiran MK. Tak jarang MK melahirkan putusan yang terbilang kontroversial, di antaranya putusan terkait permohonan Presidential Thershold, pengujian Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), pengujian Undang-Undang Cipta Kerja, dan lain-lain. Putusan-Putusan MK dalam perkara PUU tersebut menjadi tantangan terbesar MK saat ini, tak hanya dalam upaya menciptakan keadilan tetapi juga dalam upaya menjaga kewibawaan dan marwah lembaga peradilan.
Setidaknya, terdapat dua hal yang menjadi tantangan bagi kewibawaan MK saat ini. Pertama, berkaitan dengan kemampuan MK mempertahankan independensi dan netralitasnya sebagai lembaga peradilan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam perjalanannya MK pernah mengalami masa kelam ketika dua hakimnya terjerat kasus korupsi pada 2013 dan 2017 silam. Hal tersebut menjadi catatan merah MK dalam perjalanan menjaga marwah peradilan konstitusi. Untuk itu, prinsip imparsialitas seyogianya menjadi prioritas utama para hakim konstitusi untuk mencegah keberpihakan dan konflik kepentingan, terutama dengan lembaga pengusung para hakim konstitusi tersebut guna menjaga kepercayaan publik.
Kedua, berkaitan dengan kepatuhan dan sinergitas pelaksanaan putusan MK. Dalam hubunganya dengan fungsi legislasi, MK memiliki peran sebagai negative legislator. Artinya, MK memiliki kewenangan pembatalan pengaturan yang diatur dalam suatu undang-undang ataupun tetap membiarkan pemberlakuan pengaturan tersebut. Dalam hal MK mengamanatkan pembatalan pengaturan dalam suatu undang-undang, maka Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) selaku lembaga legislatif haruslah mematuhi aturan tersebut.
Namun, tak jarang praktik pengabaian dan penundaan terhadap putusan MK terjadi dalam praktik legislasi saat ini, di antaranya putusan terkait wewenang DPD dalam permohonan pengujian UU MD3, putusan terkait penataan dapil, hingga putusan terkait Undang-Undang Cipta Kerja.
Terbaru, penelitian pakar hukum, Herdiansyah Hamzah dalam disertasinya menyebutkan bahwa hanya 52% putusan MK yang ditindaklanjuti dengan baik oleh pemerintah dan DPR sampai dengan tahun 2022. Artinya, hampir setengah putusan MK belum dipatuhi dan dijalankan dengan baik. Hal ini tentu menjadi tantangan dalam upaya menjaga kewibawaan dan martabat lembaga peradilan konstitusi.
Selain hubungan dengan lembaga legislatif, sinergitas antar lembaga peradilan juga menjadi tantangan MK. Dalam kedudukanya sebagai satu-satunya lembaga peradilan konstitusi, putusan MK memiliki sifat final dan mengikat sebagaimana hakikat asas Erga Omnes, sehingga semua pihak termasuk lembaga peradilan wajib mematuhi putusan MK tersebut.Â
Namun, tak sedikit pertentangan dan pembangkangan terhadap putusan MK kerap dilakukan oleh lembaga peradilan lainnya seperti Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) bahkan Mahkamah Agung (MA). Beberapa di antaranya adalah putusan terkait pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) oleh pengurus partai politik pada 2018 silam. Selain itu, hal ini juga tergambar pada kasus pembatalan hukuman mati Hillary K. Chimezie dan Hengky Gunawan oleh MA.
Ketiadaan kekuatan eksekutorial dan ketergantungan pada pelaksanaan oleh cabang kekuasaan lain membuat kedudukan MK Â lebih lemah dari lembaga negara lainnya. Apabila dibiarkan, pengabaian, penundaan, bahkan pembangkangan terhadap putusan MK ini akan menjadi preseden buruk dan mengakibatkan tertundanya pemberian kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum. Oleh sebab itu, diperlukan adanya upaya perbaikan dalam meningkatkan kepatuhan serta menjaga kewibawaan MK guna mencapai tujuan hukum dengan optimal, yakni keseimbangan (equilibrium) antara nilai kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.
Keseimbangan Konstitusional: Ikhtiar Mewujudkan Harapan
Sebagaimana teori Gustav Radbruch, bahwa salah satu nilai dan tujuan yang hendak dicapai dari keberadaan hukum ialah kepastian. Sebagaimana yang telah disampaikan, bahwa PUU telah mendominasi perkara yang diajukan ke MK, namun saat ini belum ada batasan waktu terkait penyelesaian perkara PUU tersebut. Untuk itu, guna menciptakan kepastian hukum idealnya perlu segera diatur mengenai batasan pengujian PUU oleh MK.
Kepastian hukum ini juga berkaitan dengan kekuatan eksekutorial MK, publik tentu berharap setiap lembaga negara dapat mematuhi putusan MK secara langsung dan menjalankan amanat putusan MK secara konsisten. Karena itu, ketegasan dan konsistensi MK juga diperlukan dalam setiap pemberian putusannya guna menciptakan kepastian hukum.
Selain kepastian, keadilan dan kemanfaatan juga menjadi nilai yang tidak boleh terabaikan. Untuk dapat mencapai keadilan dan kemanfaatan hukum, diperlukan adanya sikap responsif dari MK dalam setiap pemberian putusannya. Sebagai satu-satunya lembaga peradilan konstitusi, MK idealnya dapat selalu berpihak kepada masyarakat. Sekalipun hanya berperan sebagai negative legislator, MK Â diharapkan dapat mendorong upaya penciptaan hukum yang responsif sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan mengakomodir hak-hak masyarakat, termasuk hak berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang.
Sebagai salah satu upaya menciptakan keadilan dan pemenuhan hak tersebut, MK idealnya dapat mempertimbangkan keberlangsungan permohonan uji formil pembentukan undang-undang. Tercatat, selama hampir dua dekade berdirinya, MK baru sekali mengabulkan permohonan uji formil undang-undang, yakni dalam pengujian Undang-Undang Cipta Kerja. Kedepannya, MK diharapkan dapat menerima dan mengabulkan permohonan uji formil suatu undang-undang sebagai bentuk upaya menciptakan hukum yang responsif.Â
Selain itu, akomodasi pengujian formil suatu undang-undang juga mencerminkan adanya partisipasi bermakna sebagaimana yang menjadi amanat MK sendiri dalam putusan UU Cipta Kerja. Sebab pengujian undang-undang sejatinya tidak hanya mencakup susbtansi, tetapi juga proses pembentukan undang-undang tersebut. Untuk itu, para hakim MK diharapkan dapat selalu mempertimbangkan rasa keadilan, terutama dalam perkara yang berkaitan dengan keberlangsungan demokrasi.
Terakhir, dalam rangka mencapai titik kemanfaatan MK juga diharapkan dapat bersifat adaptif terhadap tantangan dan kemajuan teknologi. Bak pisau bermata dua, kemajuan teknologi memberi banyak kemudahan dalam berbagai sektor, termasuk dalam hal transparansi. Namun di sisi lain, kemajuan teknologi rawan di salah gunakan. Akibatnya, potensi pelanggaran hak-hak dasar masyarakat akan semakin meluas, terutama yang berkaitan dengan hak privasi dan kebebasan berekspresi.Â
Saat ini, pengaturan terkait perlindungan privasi dan pemanfaatan teknologi informasi tengah diatur dalan UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Adapun UU ITE sendiri telah mendapat permohonan uji materiil lebih dari 10x di MK. Terhadap hal ini, MK perlu bersifat adaptif, namun tidak mengabaikan dinamika sosial politik yang hadir di tengah masyarakat.
MK perlu memastikan bahwa aspek penegakan HAM dan prinsip demokrasi tidak akan tergerus seiiring perkembangan teknologi informasi, melainkan harus mampu memberi kebermanfaatan dan perlindungan terhadap masyarakat. Untuk itu, MK diharapkan dapat menciptakan putusan yang mencerminkan kebermanfaatan dan keberpihakan terhadap hak-hak masyarakat. Sebab, sebaik-baiknya hukum ialah yang mampu memberi manfaat dan perlindungan terhadap masyarakat.
Pada akhirnya, menuju dua dekadenya, publik berharap agar MK tetap berada dalam koridor negara demokrasi yang menjunjung tinggi penegakan hak asasi dan supremasi konstitusi. Praktik pencideraan demokrasi yang pernah terjadi diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi MK dalam ikhtiar mengawal konstitusi.
Sejalan dengan sedang berlangsungnya revisi ke-4 UU MK dan pergantian hakim MK di tahun 2024, publik juga berharap agar revisi ini dapat menjadi tonggak perbaikan MK. Â Lebih dari itu, revisi UU MK ini diharapkan dapat menjadi instrumen yang mampu meningkatkan citra, peran, fungsi, dan kinerja MK guna melahirkan putusan yang menciptkan keseimbangan antara kepastian, keadilan, dan kemanfaatan, serta mampu membawa optimisme baru dalam proses pembangunan hukum nasional ke depan.Â
Sebagaimana pernyataan Tom Ginsburg: "A successful constitutional court in a new democracy will seek to shift from low-equilibrium judicial review to high equilibrium, through careful use of strategy."Â Artinya, puncak keberhasilan lembaga peradilan konstitusi dapat dibuktikan dari tercapainya keseimbangan konstitusional dari tujuan hukum tersebut.
Semoga MK dapat terus menjadi lembaga peradilan yang konsisten tidak hanya dalam mengawal konstitusi, tetapi juga mengawal demokrasi dan melindungi hak konstitusional warga negara. Pergantian hakim MK di tahun selanjutnya diharapkan dapat memberi harapan baru dalam penguatan kembali supremasi konstitusi dengan tetap mengedepankan sikap responsif dan adaptif.
20 Tahun MK: Menciptakan Keseimbangan, Membangun Kewibawaan, dan Menjaga Kepercayaan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H