Namun, tak sedikit pertentangan dan pembangkangan terhadap putusan MK kerap dilakukan oleh lembaga peradilan lainnya seperti Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) bahkan Mahkamah Agung (MA). Beberapa di antaranya adalah putusan terkait pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) oleh pengurus partai politik pada 2018 silam. Selain itu, hal ini juga tergambar pada kasus pembatalan hukuman mati Hillary K. Chimezie dan Hengky Gunawan oleh MA.
Ketiadaan kekuatan eksekutorial dan ketergantungan pada pelaksanaan oleh cabang kekuasaan lain membuat kedudukan MK Â lebih lemah dari lembaga negara lainnya. Apabila dibiarkan, pengabaian, penundaan, bahkan pembangkangan terhadap putusan MK ini akan menjadi preseden buruk dan mengakibatkan tertundanya pemberian kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum. Oleh sebab itu, diperlukan adanya upaya perbaikan dalam meningkatkan kepatuhan serta menjaga kewibawaan MK guna mencapai tujuan hukum dengan optimal, yakni keseimbangan (equilibrium) antara nilai kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.
Keseimbangan Konstitusional: Ikhtiar Mewujudkan Harapan
Sebagaimana teori Gustav Radbruch, bahwa salah satu nilai dan tujuan yang hendak dicapai dari keberadaan hukum ialah kepastian. Sebagaimana yang telah disampaikan, bahwa PUU telah mendominasi perkara yang diajukan ke MK, namun saat ini belum ada batasan waktu terkait penyelesaian perkara PUU tersebut. Untuk itu, guna menciptakan kepastian hukum idealnya perlu segera diatur mengenai batasan pengujian PUU oleh MK.
Kepastian hukum ini juga berkaitan dengan kekuatan eksekutorial MK, publik tentu berharap setiap lembaga negara dapat mematuhi putusan MK secara langsung dan menjalankan amanat putusan MK secara konsisten. Karena itu, ketegasan dan konsistensi MK juga diperlukan dalam setiap pemberian putusannya guna menciptakan kepastian hukum.
Selain kepastian, keadilan dan kemanfaatan juga menjadi nilai yang tidak boleh terabaikan. Untuk dapat mencapai keadilan dan kemanfaatan hukum, diperlukan adanya sikap responsif dari MK dalam setiap pemberian putusannya. Sebagai satu-satunya lembaga peradilan konstitusi, MK idealnya dapat selalu berpihak kepada masyarakat. Sekalipun hanya berperan sebagai negative legislator, MK Â diharapkan dapat mendorong upaya penciptaan hukum yang responsif sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan mengakomodir hak-hak masyarakat, termasuk hak berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang.
Sebagai salah satu upaya menciptakan keadilan dan pemenuhan hak tersebut, MK idealnya dapat mempertimbangkan keberlangsungan permohonan uji formil pembentukan undang-undang. Tercatat, selama hampir dua dekade berdirinya, MK baru sekali mengabulkan permohonan uji formil undang-undang, yakni dalam pengujian Undang-Undang Cipta Kerja. Kedepannya, MK diharapkan dapat menerima dan mengabulkan permohonan uji formil suatu undang-undang sebagai bentuk upaya menciptakan hukum yang responsif.Â
Selain itu, akomodasi pengujian formil suatu undang-undang juga mencerminkan adanya partisipasi bermakna sebagaimana yang menjadi amanat MK sendiri dalam putusan UU Cipta Kerja. Sebab pengujian undang-undang sejatinya tidak hanya mencakup susbtansi, tetapi juga proses pembentukan undang-undang tersebut. Untuk itu, para hakim MK diharapkan dapat selalu mempertimbangkan rasa keadilan, terutama dalam perkara yang berkaitan dengan keberlangsungan demokrasi.
Terakhir, dalam rangka mencapai titik kemanfaatan MK juga diharapkan dapat bersifat adaptif terhadap tantangan dan kemajuan teknologi. Bak pisau bermata dua, kemajuan teknologi memberi banyak kemudahan dalam berbagai sektor, termasuk dalam hal transparansi. Namun di sisi lain, kemajuan teknologi rawan di salah gunakan. Akibatnya, potensi pelanggaran hak-hak dasar masyarakat akan semakin meluas, terutama yang berkaitan dengan hak privasi dan kebebasan berekspresi.Â
Saat ini, pengaturan terkait perlindungan privasi dan pemanfaatan teknologi informasi tengah diatur dalan UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) dan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Adapun UU ITE sendiri telah mendapat permohonan uji materiil lebih dari 10x di MK. Terhadap hal ini, MK perlu bersifat adaptif, namun tidak mengabaikan dinamika sosial politik yang hadir di tengah masyarakat.
MK perlu memastikan bahwa aspek penegakan HAM dan prinsip demokrasi tidak akan tergerus seiiring perkembangan teknologi informasi, melainkan harus mampu memberi kebermanfaatan dan perlindungan terhadap masyarakat. Untuk itu, MK diharapkan dapat menciptakan putusan yang mencerminkan kebermanfaatan dan keberpihakan terhadap hak-hak masyarakat. Sebab, sebaik-baiknya hukum ialah yang mampu memberi manfaat dan perlindungan terhadap masyarakat.
Pada akhirnya, menuju dua dekadenya, publik berharap agar MK tetap berada dalam koridor negara demokrasi yang menjunjung tinggi penegakan hak asasi dan supremasi konstitusi. Praktik pencideraan demokrasi yang pernah terjadi diharapkan dapat menjadi pembelajaran bagi MK dalam ikhtiar mengawal konstitusi.