Hanya dalam kurun waktu dua minggu, masa jabatan anggota DPR periode 2014-2019 akan segera berakhir. Sisa waktu tersebut kemudian digunakan untuk membuat suatu legacy melalui pembuatan produk hukum sesuai dengan fungsi legislasi yang dimiliki.
Salah satu legacy yang ingin ditinggalkan oleh DPR saat ini adalah melakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.Â
Keberadaan UU yang sudah berdiri selama 17 tahun tersebut dinilai sudah tidak relevan dan berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan dalam upaya pemberantasan korupsi. Hal inilah yang kemudian mendasari para anggota DPR untuk mengejar waktu pembahasan revisi tersebut.
Adapun wacana untuk melakukan perubahan terhadap dasar hukum lembaga anti rasuah tersebut sebenarnya sudah muncul sejak tahun 2010, yakni pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).Â
Kala itu, usulan revisi UU KPK datang dari Komisi 3 DPR dan  ditetapkan dalam Prolegnas prioritas 2011.
Usulan revisi tersebut sudah masuk ke dalam tahap harmonisasi di Badan Legislasi (Baleg), dan bahkan sudah sempat terbentuk Panitia Kerja (Panja), namun usulan revisi tersebut ditolak oleh SBY lantaran dinilai waktu pemunculannya belum tepat, sehingga pembahasannya harus kandas
Tahun 2015, usulan perubahan atas UU KPK tersebut kembali dimunculkan. Adapun klaim tujuan dilakukannya revisi tersebut adalah untuk memperkuat sinergi antara institusi penegak hukum.
Namun, pembahasan RUU tersebut kembali terhambat lantaran Presiden Joko Widodo menunda pembahasan tersebut karena ingin fokus pada program-program prioritasnya terlebih dahulu.
Saat ini, usulan revisi tersebut telah disepakati oleh kesepuluh fraksi di DPR dalam sidang paripurna. Adapun secara garis besar, point-point revisi tersebut mencakup pembatasan kewenangan penyadapan KPK, penerbitan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3), pengurangan kewenangan  penyitaan dan penggeledahan, pembentukan Dewan Pengawas, pengangkatan pegawai KPK sebagai ASN, keharusan koordinasi dengan Jaksa Agung, serta pemangkasan wewenang pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
Point-point revisi tersebut kemudian menimbulkan polemik dan kekisruhan di kalangan masyarakat. Masyarakat menilai bahwa usulan revisi tersebut berpotensi melemahkan keberadaan KPK.Â
Indepedensi KPK dalam mengawal pemberantasan korupsi terancam lumpuh akibat pembatasan dan pemangkasan kewenangan yang dimiliki oleh KPK, terutama soal pembentukan Dewan Pengawas dan keharusan menerbitkan SP3 bagi perkara yang belum dapat diselesaikan dalam jangka waktu setahun.
Kekisruhan masyarakat semakin memuncak ketika Presiden mengeluarkan Surat Presiden (Supres) yang berisi persetujuan untuk membahas usul revisi tersebut bersama DPR.Â
Sikap Presiden tersebut dinilai telah mengingkari janji dan komitmen pemberantasan korupsi sebagaimana yang telah digaungkan pada masa kampanye.
Ditambah lagi, terpilihnya Inspektur Jenderal Firli Bahuri sebagai Ketua KPK yang baru saja disahkan oleh Komisi III DPR semakin menambah keyakinan masyarakat bahwa keberadaan KPK saat ini sedang disabotase untuk segera dilumpuhkan. Dan saat ini, revisi UU KPK tersebut baru saja disahkan pada sidang paripurna DPR.
Indikasi Kekuasaan Oligarki
Oligarki, bentuk pemerintahan yang merupakan kemerosotan dari model aristokrasi ini kembali membayangi sistem demokrasi Indonesia pasca disahkannya revisi UU KPK. Dalam oligarki, pemerintahan dikendalikan oleh golongan atau segelintir pihak berkuasa dengan tujuan memuaskan kepentingan golongannya sendiri.
Bayang-bayang oligarki memang sulit dilepaskan dalam tatanan kehidupan demokrasi dan organisasi. Sebab, sebagaimana yang diutarakan oleh Robert Michels bahwa siapa yang berbicara mengenai organisasi, maka sesungguhnya berbicara mengenai oligarki, dan gambaran inilah yang tepat untuk menggambarkan situasi pemerintahan Indonesia saat ini ketika pembahasan revisi UU KPK akhirnya disahkan. Lantas, mengapa usulan revisi UU KPK ini dapat dikatakan sebagai kemunculan bayang-bayang oligarki?
Sebagaimana diketahui, pembahasan revisi UU KPK ini terkesan dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan terburu-buru. Usulan revisi ini telah disahkan pada sidang paripurna DPR 5 September lalu dengan keputusan bulat sepuluh fraksi menyetujui pembahasan revisi UU KPK dilakukan. Namun, pemberian pandangan fraksi ini dilakukan secara tertulis sehingga kita tidak bisa mengetahui alasan pandangan tersebut.Â
Setelah itu, DPR mengirim surat kepada Presiden untuk meminta persetujuan pembahasan revisi UU KPK, dan Presiden pun langsung menyetujuinya dalam jangka waktu enam hari sejak surat tersebut diserahkan, padahal Presiden memilki jangka waktu 60 hari untuk menyikapi usulan revisi UU KPK tersebut. Lalu apa yang menyebabkan Presiden begitu cepat dalam mengambil keputusan tersebut?
Jika alasannya adalah untuk mengejar waktu pengesahan UU sebelum masa jabatan DPR berakhir, rasanya Presiden tidak perlu secepat itu dalam mengambil keputusan. Sebab, usulan revisi ini bukan sesuatu yang sudah berjalan dengan progress yang cukup besar. Usulan revisi ini baru dimunculkan, dan tidak ada salahnya jika pembahasannya dimulai pada periode anggota DPR selanjutnya.
Lagipula, apa yang bisa diharapkan dari pembahasan produk hukum dalam jangka waktu dua minggu? Bukankah keputusan yang gegabah ini cenderung menghasilkan produk hukum yang tidak matang? dan lagipula, pembahasan UU ini berlangsung di tengah gelombang penolakan masyarakat, seharusnya hal ini dapat menjadi pertimbangan Presiden dan DPR dalam melanjutkan pembahasan revisi UU KPK tersebut.
Sikap Presiden dalam hal ini jelas mengabaikan suara masyarakat, terlebih lagi DPR juga telah menyatakan bahwa masukan publik tak lagi diperlukan. Padahal, Pasal 96 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan telah merumuskan bahwa masyarakat berhak untuk memberikan masukan secara lisan dan/atau tulisan dalam hal pembentukan perundang-undangan, dan masukan masyarakat ini dapat dilakukan melalui Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di DPR dan juga sosialisasi atau diskusi terbuka.
Idealnya, pembentukan suatu produk hukum haruslah memperhatikan aspek yuridis, filosofis, dan sosiologis. Aspek sosiologis berupa pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam hal ini sangat penting untuk dijadikan pertimbangan, karena pembentukan undang-undang haruslah mampu memberikan kepastian hukum dan manfaat bagi masyarakat.Â
Pembentukan produk hukum juga harus memperhatikan fakta empiris di dalam masyarakat, dan fakta empiris saat ini menunjukan bahwa masyarakat menentang dilakukannya revisi atas UU KPK karena dinilai akan melemahkan KPK dan mempermudah penyebaran praktik korupsi di Indonesia.
Namun, alih-alih mendengarkan aspirasi masyarakat, Presiden justru terkesan tunduk pada kepentingan para politikus dan elite penguasa. Presiden larut dalam bayang-bayang permainan para oligark. Dan jika hal ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin akan menjadi preseden buruk dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Urgensi Revisi UU KPK
Tidak dapat dipungkiri, bahwa keberadaan KPK dan undang-undangnya yang telah berdiri selama 17 tahun ini perlu dikaji kembali untuk melihat sejauh mana efektivitas pembentukan lembaga anti korupsi dengan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
KPK yang mulanya dibentuk untuk mengambil alih tugas kepolisian dan kejaksaan dalam hal pemberantasan korupsi ini memang terbilang memiliki kewenangan independen dan terbebebas dari intervensi pihak manapun.Â
KPK diberi kewenangan-kewenangan istimewa seperti melakukan penyadapan dan tidak memiliki keharusan untuk menerbitkan SP3. Selain itu, keberadaan KPK juga tidak diawasi oleh badan pengawas seperti lembaga-lembaga negara lainnya.
Alasan kewenangan-kewenangan istimewa tersebutlah yang kemudian dijadikan dasar oleh DPR untuk dilakukannya revisi UU KPK. KPK dinilai sudah terlalu kuat, dan kekuatan yang dimiliki oleh KPK tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan abuse of power.
Jika dicermati, pemberian wewenang istimewa kepada KPK tersebut bahwasanya merupakan wujud dari semangat pemberantasan korupsi di Indonesia. Sebagaimana diketahui, korupsi merupakan salah satu bentuk extraordinary crime, sehingga pemberantasannya pun perlu dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa juga.
Pengaturan mengenai penerbitan SP3 dalam jangka waktu setahun sejak ditetapkannya seorang tersangka rasanya terlalu singkat untuk membereskan kejahatan yang penyebarannya begitu masif. Sebagaimana diketahui, kejahatan kerah putih (white collar crime) ini merupakan kejahatan yang terstruktur, sehingga pengusutannya pun memerlukan waktu yang panjang.
Jangka waktu setahun tidak akan cukup bagi KPK untuk memeriksa tersangka dan mengumpulkan alat bukti, terlebih lagi jika kewenangan untuk melakukan penyadapan yang dimiliki oleh KPK harus mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas, sementara unsur Dewan Pengawas yang tertulis dalam draft revisi UU KPK tersebut merupakan orang-orang yang dipilih oleh DPR.Â
DPR merupakan lembaga politis, sehingga sangat memungkinkan untuk menghasilkan keputusan yang bersifat politis juga, dan hal ini tentu saja akan mengancam independensi KPK dalam memeriksa tersangka pelaku tindak pidana korupsi.
Alangkah baiknya jika pengaturan mengenai jangka waktu SP3 ini tidak diberi batasan waktu. Sebab, Â korupsi ini merupakan kejahatan luar biasa yang menimbulkan kerugian besar bagi negara dan juga masyarakatnya. Sebagaimana tidak ada daluarsa dalam kasus tindak pidana pelanggaran HAM berat, tindak pidana korupsi ini juga seharusnya tidak mengenal batas waktu di dalam pengusutannya.Â
Pembatasan jangka waktu penyidikan yang relatif singkat ini dikhawatirkan akan banyak meloloskan praktik korupsi yang terjadi, dan hal ini tentu saja akan mempermudah langkah para koruptor untuk meluncurkan aksinya.
Jika kemudian timbul anggapan bahwa tidak terbatasnya penyidikan yang dilakukan oleh KPK ini merupakan bentuk pelanggaran HAM, dapat dikatakan bahwa sejak awal pembentukannya KPK memang melanggar beberapa prinsip HAM. Namun, hal itu bukan tanpa sebab, karena pelaku tindak pidana korupsi seseungguhnya juga merupakan pelaku pelanggaran HAM.Â
Para koruptor telah melemahkan kewajiban negara dalam melayani kebutuhan rakyat, yang artinya para koruptor telah mengurangi esensi daripada hak ekonomi rakyat, sehingga dalam hal ini alasan penghentian penyidikan yang dinilai melangar prinsip HAM tentulah tidak relevan.Â
Adapun penerbitan SP3 ini bisa diberikan dalam keadaan-keadaan tertentu, misalnya ketika tersangka meninggal dunia atau jika perkara ini sudah diajukan sebelumnya dan sudah ada penuntutan terhadap tersangka (nebis in idem).
Mengenai Dewan Pengawas, rasanya pembentukannya memang diperlukan untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan bagi para pegawai KPK. Namun, wewenang Dewan Pengawas ini bukan pada ranah untuk memberikan izin penyadapan, melainkan mengawasi perilaku para pegawai KPK agar tetap berjalan sesuai dengan prinsip kode etik.Â
Apabila ditemui pelanggaran, Dewan Pengawas berhak menyidang komponen KPK tersebut dengan memberi sanksi yang relevan. Setelah itu, Dewan Pengawas berkewajiban untuk memberi pertanggungjawabannya kepada publik.
Khusus untuk pengaturan mengenai pengangkatan penyelidik yang harus berasal dari Kepolisian dan penuntutan perkara yang harus dilakukan dengan koordinasi Kejaksaan Agung, batasan antara penguatan dan pelemahan KPK dalam pengaturan tersebut dapat dikatakan sangat tipis.Â
Di satu sisi, koordinasi yang baik antara KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan dapat membentuk sinergi yang memperkuat upaya pemberantasan korupsi. Namun, di sisi lain, keterlibatan kepolisan dan kejaksaan ini cenderung mengundang permainan intervensi.Â
Sebagaimana diketahui, kedua lembaga tersebut pun tak luput dari praktik korupsi, dan dikhawatirkan penyelidik yang berasal dari kepolisian ini masih akan tunduk pada pengaruh-pengaruh jabatan di atasnya, sehingga mereka menjadi tidak bebas dalam mengusut kasus praktik korupsi. Selain itu, aspek kuantitas penanganan kasus korupsi yang ditangani oleh aparat Kepolisian dan Kejaksaan ini seringkali berjalan belum optimal, bahkan cenderung menurun.Â
Berdasarkan data penelitian ICW, pada tahun 2018 terdapat hanya 68 kasus korupsi yang mampu ditangani oleh Kejaksaan, sedangkan kasus korupsi yang berhasil ditangani pada tahun 2017 berjumlah 135 kasus. Sementara untuk kepolisian sendiri, rata-rata jumlah kasus yang ditangani perbulan hanya berjumlah 7 kasus, padahal terdapat 535 kantor kepolisian yang tersebar. Apabila KPK hanya boleh mengangkat penyelidik yang berasal dari pihak Kepolisian, bukan tidak mungkin bahwa intervensi dari pihak-pihak berkepentingan akan masuk, dan jumlah penanganan korupsi akan semakin terhambat.
Keberadaan KPK saat ini memang perlu diperkuat, dan revisi terhadap dasar hukum keberadaan KPK tersebut sebenarnya tidak akan menjadi polemik apabila tidak ada point-point yang berindikasi akan melumpuhkan KPK.Â
Revisi yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah revisi yang memperkuat keberadaan KPK, salah satunya melalui pengaturan masuknya KPK ke dalam sektor swasta, sebagaimana yang dilakukan oleh lembaga anti korupsi Hong Kong dan Singapura.Â
Selain itu, revisi UU KPK harus lebih menekankan kepada upaya-upaya pencegahan. Sebab, keberhasilan penanganan korupsi di Indonesia tidak hanya bergantung pada banyaknya Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan, tetapi juga bergantung pada meningkatnya angka Indeks Pemberantasan Korupsi (IPK) di Indonesia.
Adapun upaya yang harus dilakukan terlebih dahulu dalam rangka pemberantasan korupsi adalah merevisi UU Tipikor sebagai hukum materiil  pemberantasan korupsi di Indonesia.Â
UU Tipikor yang sudah ada lebih dulu dibanding dengan UU KPK Â layak untuk direvisi dengan memperluas makna korupsi dan memperkuat ancaman hukuman, baru setelah itu revisi UU KPK sebagai hukum formil pemberantasan korupsi di Indonesia dapat dilakukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H