Alangkah baiknya jika pengaturan mengenai jangka waktu SP3 ini tidak diberi batasan waktu. Sebab, Â korupsi ini merupakan kejahatan luar biasa yang menimbulkan kerugian besar bagi negara dan juga masyarakatnya. Sebagaimana tidak ada daluarsa dalam kasus tindak pidana pelanggaran HAM berat, tindak pidana korupsi ini juga seharusnya tidak mengenal batas waktu di dalam pengusutannya.Â
Pembatasan jangka waktu penyidikan yang relatif singkat ini dikhawatirkan akan banyak meloloskan praktik korupsi yang terjadi, dan hal ini tentu saja akan mempermudah langkah para koruptor untuk meluncurkan aksinya.
Jika kemudian timbul anggapan bahwa tidak terbatasnya penyidikan yang dilakukan oleh KPK ini merupakan bentuk pelanggaran HAM, dapat dikatakan bahwa sejak awal pembentukannya KPK memang melanggar beberapa prinsip HAM. Namun, hal itu bukan tanpa sebab, karena pelaku tindak pidana korupsi seseungguhnya juga merupakan pelaku pelanggaran HAM.Â
Para koruptor telah melemahkan kewajiban negara dalam melayani kebutuhan rakyat, yang artinya para koruptor telah mengurangi esensi daripada hak ekonomi rakyat, sehingga dalam hal ini alasan penghentian penyidikan yang dinilai melangar prinsip HAM tentulah tidak relevan.Â
Adapun penerbitan SP3 ini bisa diberikan dalam keadaan-keadaan tertentu, misalnya ketika tersangka meninggal dunia atau jika perkara ini sudah diajukan sebelumnya dan sudah ada penuntutan terhadap tersangka (nebis in idem).
Mengenai Dewan Pengawas, rasanya pembentukannya memang diperlukan untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan bagi para pegawai KPK. Namun, wewenang Dewan Pengawas ini bukan pada ranah untuk memberikan izin penyadapan, melainkan mengawasi perilaku para pegawai KPK agar tetap berjalan sesuai dengan prinsip kode etik.Â
Apabila ditemui pelanggaran, Dewan Pengawas berhak menyidang komponen KPK tersebut dengan memberi sanksi yang relevan. Setelah itu, Dewan Pengawas berkewajiban untuk memberi pertanggungjawabannya kepada publik.
Khusus untuk pengaturan mengenai pengangkatan penyelidik yang harus berasal dari Kepolisian dan penuntutan perkara yang harus dilakukan dengan koordinasi Kejaksaan Agung, batasan antara penguatan dan pelemahan KPK dalam pengaturan tersebut dapat dikatakan sangat tipis.Â
Di satu sisi, koordinasi yang baik antara KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan dapat membentuk sinergi yang memperkuat upaya pemberantasan korupsi. Namun, di sisi lain, keterlibatan kepolisan dan kejaksaan ini cenderung mengundang permainan intervensi.Â
Sebagaimana diketahui, kedua lembaga tersebut pun tak luput dari praktik korupsi, dan dikhawatirkan penyelidik yang berasal dari kepolisian ini masih akan tunduk pada pengaruh-pengaruh jabatan di atasnya, sehingga mereka menjadi tidak bebas dalam mengusut kasus praktik korupsi. Selain itu, aspek kuantitas penanganan kasus korupsi yang ditangani oleh aparat Kepolisian dan Kejaksaan ini seringkali berjalan belum optimal, bahkan cenderung menurun.Â
Berdasarkan data penelitian ICW, pada tahun 2018 terdapat hanya 68 kasus korupsi yang mampu ditangani oleh Kejaksaan, sedangkan kasus korupsi yang berhasil ditangani pada tahun 2017 berjumlah 135 kasus. Sementara untuk kepolisian sendiri, rata-rata jumlah kasus yang ditangani perbulan hanya berjumlah 7 kasus, padahal terdapat 535 kantor kepolisian yang tersebar. Apabila KPK hanya boleh mengangkat penyelidik yang berasal dari pihak Kepolisian, bukan tidak mungkin bahwa intervensi dari pihak-pihak berkepentingan akan masuk, dan jumlah penanganan korupsi akan semakin terhambat.