Mohon tunggu...
Farid Fauzi
Farid Fauzi Mohon Tunggu... Swasta -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cakak Banyak dan Krisis Toleransi

17 Agustus 2018   05:52 Diperbarui: 17 Agustus 2018   06:28 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: annasindonesia.com

Iftitah

Erwin Syahputra menghembuskan napas terakhirnya setelah mendapatkan sejumlah tusukan di kepala, dada dan perut. Sementara itu, Tedi Sutandi anggota DPRD Kab. 50 Kota dan adiknya Primsito sekarat usai tragedi cakak banyak itu.

Cakak banyak atau perkelahian masal itu dipicu perebutan tanah ulayat (tanah kaum) di perbatasan nagari Taram dan Pilubang, Kab. 50 Kota. Masyarakat Taram umumnya mengatakan bahwa tanah itu milik suku mereka, tetapi Tedi Sutandi dan masyarakat Pilubang telah lama memanfaatkan tanah tersebut. Sebelum terjadi peristiwa cakak banyak tersebut, masyarakat Taram dan Pilubang sempat cekcok sesaat, karena kedua kubu saling klaim kepemilikan, akhirnya berbuntut pada perkelahian masal (Kabarpolisi.com, 11/09/2017).

Peristiwa sama juga terjadi di Kabupaten Solok, dipicu masalah pekerjaan proyek dua kelompok pemuda Nagari Koto Laweh dan Kecamatan Lembang Jaya cakak banyak. Akibat kejadian itu, lebih dari dua pemuda mengalami luka serius dan empat pemuda lainnya diamankan petugas kepolisian. Kajadian itu bermula ketika empat pemuda menadapatkan proyek pembuatan jalan baru di Nagari Koto Laweh. Karena pemuda Koto Laweh merasa iri kepada empat pemuda yang mendapatkan proyek itu, maka terjadilah cekcok dan pengeroyokan oleh pemuda setempat. Merasa tidak terima dikeroyok, empat pemuda tersebut membawa pemuda-pemuda Lembang Jaya ke Koto Laweh untuk membalas aksi pengeroyokan, sehingga bentrok cakak banyak tidak bisa dielakkan. Banyak rumah warga rusak akibat dilempari batu, begitu juga dengan kendaraan masyarakat yang berada di sekitar kejadian, tidak luput dari amukan masa yang naik pitam (Kabarsumbar.com, 21/08/2017).

Dua tragedi cakak banyak di atas adalah potret telah terkikisnya nilai-nilai toleransi di masyarakat. Bagaimana tidak, ketika ada perbedaan pendapat dan berlainan cara bersikap, tidak selesaikan dengan duduk bersama atau musyawarah. Perilaku tersebut ibarat hukum rimba, yang memaksakan sesuatu dengan kekerasan.

Tragedi cakak banyak tersebut tentu sangat sharih bertolak belakang dengan spirit al-Qur'an dan nilai adat istiadat Minangkabau. Ini adalah perilaku intoleran yang harus dimusnahkan. Jika tidak, berarti telah terang-terangan menentang al-Qur'an dan adat istiadat Minangkabau. Bila al-Qur'an dan adat yang bertopang al-Qur'an sudah ditentang, alamat hidup tidak akan selamat dunia dan akhirat. Mirisnya, perilaku buruk itu terus saja berkembang, ibarat jamur yang tumbuh subur di kayu yang lapuk. Tidak jarang kita mendengar, membaca dan menonton di televisi perilaku cakak banyak atau perkelahian masal itu. Mulai dari cakak banyak antar siswa, mahasiswa bahkan pejabat pun ikut terjangkiti perilaku buruk ini. Oleh karena itu, umat Islam umumnya dan masyarakat Minang khususnya harus segera berbenah. Belajar bagaimana cara menyikapi dan berlapang hati dalam perbedaan. Baik itu perbedaan pendapat maupun perbedaan cara bersikap.

Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam dan basis adat istiadat Minangkabau, tentu menyediakan solusi untuk mengatasi perilaku buruk ini. Namun sebelum menerangkan solusi al-Qur'an untuk mengatasi permasalahan ini, Penulis akan memaparkan terlebih dahulu data dan fenomena cakak banyak tersebut.

Krisis Toleransi

Dua peristiwa cakak banyak yang telah Penulis paparkan di atas adalah bukti bahwa masyarakat telah tejangkit penyakit intoleransi. Suatu keadaan di mana ketika berbeda pendapat lalu diakhiri dengan adu jotos. Perilaku tersebut bukannya memberikan solusi tetapi malah menambah problema, yang menang saja merugi, apalagi yang kalah. Mulai dari luka-luka, menimbulkan kerusakan di tengah-tengah masyarakat, sampai kepada hilangnya nyawa.

Rasulullah Saw. telah melarang perilaku cakak banyak tersebut, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Imam Muslim:

Artinya: "Dari Ahmad bi Sa'id al-Darimi, dari Hubban, dari Wahab, dari Suhail, dari ayahnya, dari Abi Hurairah, dari Nabi Saw. "Janganlah kalian saling bermusuhan dan jangan pula saling membenci, sebab kalian semua adalah bersaudara." (Shahih Muslim, t.th: 2563).

Merujuk kepada hadis di atas, maka permusuhan adalah perihal yang tidak sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Salah satu contoh sikap permusuhan itu adalah cakak banyak tersebut. Hadis ini mensinergikan firman Allah Swt. bahwa setiap orang beriman itu bersaudara (Q.S. Al-Hujurat/49: 10). Jika sudah tertanam rasa persaudaraan pada diri setiap muslim, maka akan jauh dari sikap-sikap intoleransi cakak banyak tersebut. Selain peristiwa di atas, baru-baru ini juga terjadi cakak banyak di Kapur IX, Kab. 50 Kota. Peritiwa itu dipicu perebutan lahan parkir. Karena kedua kubu yang memperebutkan lahan parkir tidak berlapang hati, bertoleransi dan bermusyawarah dalam menyikapi masalah, akhirnya semuanya naik pitam dan terjadilah cakak banyak (Dekadepos, 06/07/2017).

Begitu juga, untuk kesekian kalinya, peritiwa cakak banyak akibat perselisihan di tempat organ terjadi lagi. Meski tidak memakan korban jiwa, setidaknya peristiwa tersebut mengakibatkan rusaknya sejumlah kendaraan, termasuk mobil petugas kepolisian. Perihal tersebut terjadi di dua kampung bertetangga di Kab. 50 Kota. Kejadian bermula saat pemuda Gunung Malintang menonton acara organ, diduga ada gesekan terinjak kaki saat joget menjadi pemicu keributan sehingga terjadi perkelahian masal. Pada saat itu ketua pemuda Lubuak Alai yang akrap disapa Ledi, berusaha menenangkan pemuda yang bentrok. Pada saat bersamaan anggota Polsek Kapur IX bersama empat orang rekannya datang ke lokasi menggunakan mobil patroli dan berusaha menenakan masa, namun masa bertambah anarkis dengan melempari mobil polisi, sehingga kaca depan dan lampu belakang pecah. (Dekadepos.com, 11/02/2017).

Selain masyarakat umum, siswa dan mahasiswa pun sering melakukan aksi cakak banyak tersebut. Terkadang hanya dipicu masalah sepele, seperti yang terjadi di Kabupaten Tanah Datar, siswa Padang Panjang bentrok dengan siswa SMKN 1 Batipuh, bentrok itu dipicu karena saling ejek di media sosial facebook (Metro Andalas, 22/08/2017).

Begitu juga dengan pejabat-pejabat publik yang juga sering memperlihatkan egonya dalam menyampaikan pendapat, jika usulannya tidak diterima lalu main maki dan main adu jotos saja. Ideanya pejabat publik dan wakil rakyat itu menjadi uswah bagi mayarakat yang diwakilinya, memberi contoh sikap toleransi, menghargai pendapat dan berlapang hati menerima mufakat. Seperti yang terjadi di komplek Parlemen Senayan, Jakarta, rapat paripurna DPD belum sempat dibuka sudah mengalami kericuhan. Pemicunya pun sederhana, yaitu silang pendapat dalam menentukan siapa yang akan memimpin rapat, karena ketua DPD Muhammad Saleh tidak hadir karena sakit (Kompas, 04/04/2017).

Ironi, data dan fenomena yang telah penulis paparkan di atas, sekali lagi adalah bukti bahwa masyarakat umum dan elit sudah jauh dari nilai-nilai toleransi. Padahal perbedaan pendapat itu biasa, berbeda cara berpikir tidak mengapa, asalkan jangan menimbulkan malapetaka. Hasan al-Banna mengatakan, "Nata'awana fi mattafaqna, wanatasamah fi makhtalafna." (Al-'Adnani, 2004: 76). Terjemahnya adalah, saling tolong menolonglah terhadap perkara yang disepakati dan saling bertoleransilah terhadap perbedaan. Baik perbedaan pendapat, cara pandang dan metode pengambilan sikap. Intinya adalah bertoleransi disetiap lini perbedaan.

Bukan tidak berbekas, sikap intoleransi cakak banyak itu ibarat luka yang meninggalkan jejak. Akibat perilaku buruk itu telah banyak nyawa melayang, bangunan rusak, persaudaraan rusak, moral pun rusak, dan setumpuk kerusakan lainnya. Mirisnya lagi, pelaku cakak banyak tersebut tidak hanya orang awam saja, tetapi siswa, mahasiswa dan masyarakat elit pun tidak luput dari perilaku tercela ini. Maka tidak bisa tidak, penyakit intoleransi yang telah menyerang umat Islam umumnya dan masyarakat Minang khususnya harus segera diberangus, jika tidak akan melahirkan konflik yang membahayakan. Oleh sebab itu pembangunan sikap toleransi di tengah-tengah masyarakat harus segera dimaksimalkan, tentunya dengan merujuk kepada al-Qur'an, kitab suci yang diyakini menawarkan solusi untuk seluruh persoalan umat manusia.

Toleransi Perspektif Al-Qur'an

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata toleransi diartikan dengan bersikap atau bersifat menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri (Kbbi.web, akses 11/06/2017). Sedangan dalam bahasa Arab toleransi disebut tasamuh (          ). Menurut Luwis Ma'luf dalam kamus al-munjid fi al-lughah wa al-adabu wa al-'lum, tasamuh bermakna berlapang hati kepada saudara, baik dalam berpendapat atau meliputi segala sesuatu (Ma'luf, 1908: 349).

Berdasarkan devenisi toleransi di atas maka dapat dipastikan bahwa cakak banyak adalah perilaku yang sangat sharih bertentangan dengan nilai-nilai toleransi. Karena pelaku tidak pandai mengelola perbedaan pendapat, tidak berlapang hati menerima pandangan orang lain, sehingga untuk memaksakan kehendaknya sendiri, dilakukanlah aksi kekerasan yang berupa adu jotos atau cakak banyak.

Di antara ayat al-Qur'an yang mengajarkan kita untuk saling bertoleransi adalah, firman Allah yang tertuang dalam surat al-Hujurat/49: 13, sebagai berikut:

Artinya: "Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan mejadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (Departeman Agama RI, 2000: 847).

Menurut M. Quraish Shihab, ayat ini turun berkenaan dengan Abu Hind yang bekerja sebagai tukang bekam. Nabi Saw. meminta kepada Bani Bayadhah agar menikahkan salah seorang putri mereka dengan Abu Hind, tetapi mereka enggan dengan alasan tidak wajar, mereka menikahkan putri mereka dengannya yang merupakan bekas budak mereka. Sikap keliru ini dikecam oleh al-Qur'an dengan menegaskan bahwa kemulian di sisi Allah bukan karena keturunan tetapi ketakwaan.

Lebih lanjut Shihab menegaskan, apa pun sabab nuzul-nya, yang jelas ayat di atas menegaskan kesatuan asal-usul manusia, yaitu Adam dan Hawa. Maka tidak wajar seseorang berbangga dan merasa diri lebih tinggi dari orang lain. Kata kucinya adalah ta'arafu (          ) yang berarti saling mengenal. Kata itu menjadi patron dengan makna timbal balik, yaitu saling mengenal. Semakin kuat pengenalan satu pihak kepada pihak lainnya, maka semakin terbuka peluang untuk saling memberi manfaat. Karena ayat di atas menekankan perlunya saling mengenal. Perkenalan itu dibutuhkan untuk saling menarik pelajaran dan pengalaman pihak lain, guna meningkatkan ketakwaan kepada Alla Swt. (Shihab, 2008, vol. 13: 260-262).

Merujuk keterangan Shihab di atas, dapat dipahami bahwa semua manusia di sisi Allah sama, tidak ada perbedaan, yang membedakan hanyalah ketakwaan. Setelah itu perbedaan itu bermanfaat untuk saling mengenal satu sama lain. Berawal dari saling mengenal itulah akan terjadi saling memberi manfaat. Dengan kata lain, sejatinya perbedaan itu memberikan manfaat bagi manusia, bukan menimbulkan kebencian yang berujung pada cakak banyak tersebut, intinya yang salah bukan perbedaan pendapat dan perbedaan cara pandang tersebut, tetapi yang salah adalah keliru dalam menyikapi perbedaan.

Oleh sebab itu, meningkatkan pemahaman masyarakat di semua lini kehidupan tentang pentingnya sikap toleransi tersebut adalah solusi yang harus dimaksimalkan. Sebab al-Qur'an mengajarkan manusia untuk bersikap tasamuh atau toleransi. Jika sikap ini tidak dihidupkan di tengah-tengah masyarakat maka akan terjadi ketidakseimbangan. Hilangnya kerukunan umat seagama, antar agama dan rusaknya kerukunan di lingkungan masyarakat.

Membangun Generasi Toleran Masa Depan

Mencermati betapa berbahaya perilaku intoleransi ini, maka solusi untuk perihal tersebut adalah dengan membangun masayarakat toleran, tegasnya adalah dengan membentuk masyarakat yang paham dan pandai bertoleransi. Di antara upaya yang bisa dilakukan adalah dengan membangun generasi yang memahami dan mengamalkan sikap toleransi tersebut. Ridwa Kamil berkata, "Tugas maha besar generasi kita adalah mewariskan toleransi, bukan kekerasan. Kecerdasan, bukan kebodohan. Kerja keras, bukan kemalasan (Kamil, 02/10/2017).

Langkah efektif yang dapat diupayakan untuk membangun generasi yang pandai bertoleransi adalah melalui edukasi atau pendidikan. Edukasi yang dimaksud bukan hanya belajar monoton berkutat dengan diktat saja. Tetapi edukasi melalui pembiasaan sikap toleransi tersebut, K. H. Syamsul Hadi Abdan, salah satu pimpinan Pondok Pesantren Modern Darussalam Gontor, mengatakan bahwa pendidikan yang sejati adalah melalui pembiasaan. Pembiasaan itulah yang akan menjadi karakter, yang tanpa pikir panjang akan bersikap toleran. Untuk itu Penulis menawarkan pendidikan dengan pembiasaan itu melalui tiga lin;

Pertama, edukasi melalui lingkungan keluarga.

Rumah adalah madrasah pertama bagi seorang anak. Oleh sebab itu membangun sikap toleransi di lingkungan keluarga tentu akan sangat efektif. Contohnya, membiasakan bermusyarah dengan seluruh anggota keluarga, jika ada rencana untuk pergi rekreasi, lalu dimusyawarahkan terlebih dahulu. Contoh lainnya menentukan tempat kelanjutan studi anak, maka dimusyawarahkan terlebih dahulu. Intinya adalah membiasakan musyawarah di lingkungan kelurga setiap akan mengambil keputusan.

Oleh karena itu membiasakan makan malam bersama di lingkungan keluarga mesti dihidupkan kembali. Sebab setelah makan malam adalah waktu yang sangat efektif untuk bermusyawarah, karena seluruh anggota keluarga sudah selesai beraktifitas di siang hari. Apalagi di era moderen ini setiap anggota keluarga sudah mempunyai scadule-nya masing-masing. Anak-anak pergi sekolah sampai sore, ayah pergi ke kantor, ibu pergi mengajar bagi yang berprofesi sebagai guru dan lain sebagainya. Intinya semuanya sudah mempunyai aktifitas masing-masing, maka tradisi makan malam bersama harus dihidupkan kembali. 

Jika anak sudah dibiasakan bermusyawarah di rumah, maka akan terbetuklah anak-anak yang pandai bertoleransi. Sebab mereka sudah biasa bersilang pendapat dan sudah terlatih untuk berlapang dada dalam menerima mufakat. Kehadiran mereka yang bersikap toleransi itu akan terjewantah dalam masyarakat.

Perilaku musyawarah ini sangat besinergi dengan spirit firman Allah Swt. yang tertuang dalam surat Ali-Imran/3: 159, sebagai berikut:

Artinya: "Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi kasar, tentulah menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadanya. ((Departeman Agama RI, 2000: 103).

Kedua, edukasi melalui pendidikan formal.

Sekolah adalah tempat anak-anak menimba ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu sekolah adalah salah satu tempat paling efektif untuk membentuk generasi yang pandai bertoleransi. Karenanya, pendidikan di sekolah seharusnya tidak hanya menfokuskan pada pendidikan umum saja, tetapi juga menggalakkan kembali moral education atau pendidikan berkarakter.

Maksudnya adalah pendidikan yang disertai dengan pembentukan moral peserta didik, yang memahami dan membiasakan nilai-nilai toleransi. Di antara upaya yang bisa dilakukan adalah dengan membiasakan peserta didik untuk gotong royong, berorganisasi, diskusi ketika belajar, sehingga anak-anak tersebut biasa bersilang pendapat dan akan membentuk pribadi yang bertoleransi. Upaya lainnya dengan memajang slogan-slogan yang berisi nilai-nilai toleransi, misalnya "Jauhi Kekerasan dengan Bersikap Toleran," atau dengan kata-kata yang seirama dengan itu. Kemudian slogan-slogan tersebut dipajang di tempat-tempat strategis yang bisa dilihat oleh peserta didik setiap harinya. Sehingga bila kata-kata yang bernada toleransi tersebut sudah dibaca oleh peserta didik setiap harinya maka akan terekam di kepalanya dan akan merasuk ke dalam jiwanya, alhasil akan terbentuk generasi yang pandai bertoleransi.

Tegasnya, sekolah tidak hanya mengajarkan pelajaran umum saja, tetapi juga menitik beratkan pada pendidikan moral, seperti bersikap toleransi tersebut. Oleh sebab itu wacana penghilangan mata pelajaran agama di sekolah adalah ide konyol yang mesti dimusnahkan. Bahkan seharusnya jam pelajaran agama yang mendidik nilai-nilai toleransi itu harus ditambah, tidak cukup dengan hanya dua jam seminggu, lalu peserta didik akan paham dengan perihal seluk beluk toleransi tersebut. 

Ketiga, edukasi melalui kearifan Minangkabau.

Ada pepatah Minang yang sangat populer, yaitu "lamak dek awak katuju dek urang." Maksudnya adalah kita menyukai dan orang pun merasa senang. Pepatah ini adalah buah pikir orang Minang dahulu yang belajar dari alam dan mengamati pengalaman hidup. 

Salah satu kearifan lokal Minang yang tampak sekali nilai-nilai pepatah di atas adalah "tradisi balapau" atau kebiasaan duduk bersama di kedai. Lapau atau kedai biasanya diisi oleh anak bujang dan orang tua-tua. Di lapau biasanya dijual kopi, teh, berbagai gorengan dan makanan ringan lainnya. Orang Minang dahulu ketika duduk minum kopi di lapau biasanya bersama-sama membahas isu-isu terbaru, mulai dari lingkungan sekitar, agama, adat istiadat bahkan sampai kepada calon pemimpin yang layak dipilih. Itulah sebabnya orang-orang Minang itu cerdas dalam memilih siapa pemimpinnya, karena secara tidak langsung dibahas ketika berada di lapau.

Ketika di lapau itu pulalah para pengunjung lapau terdidik untuk mengaplikasikan pepapah lamak dek awak katuju dek urang. Dalam bahasa lainnya pandai bertenggang rasa, tidak memaksakan kehendak diri sendiri, tetapi juga menenggang pendapat dan perasaan orang lain. Mereka tahu pebedaan pendapat itu biasa, "Basilang kayu di tungku di sinan api mangko ka idui," maksudnya perbedaan buka menjadi penyebab perpecahan tetapi mebentuk semangat kebersamaan. Itulah yang disebut nilai-nilai toleransi.

Namun dewasa ini lapau di Ranah Minang sudah mulai berkurang, karena secara tidak langsung zaman telah membuat tradisi itu lapuk dan keropos. Kalau pun ada, itu hanya diperkampungan saja dan pengunjungnya pun tidak seberapa. Ironisnya lagi, dulu lapau tampat duduk-duduk sampai membahas isu terbaru, kini sudah berganti fungsi menjadi tempat untuk main kartu "kuning," (semacam kartu untuk main judi yang berwarna kuning).

Sebetulnya kearifan lokal Minangkabau itu tidak hanya babaliak kasurau saja, tetapi juga tradisi balapau. Hemat Penulis, tradisi Minang itu tidak hanya babaliak ka surau tetapi juga tradisi balapau. Oleh sebab itu, menurut Penulis hidupkan kembali tradisi balapau ini, sebagai wadah untuk membentuk generasi dan masyarakat yang pandai bertolerasi, biasa berbeda pendapat, dan lapang hati dalam menyikapi perbedaan.

Khatimah

Kasih sayang dan toleransi adalah kartu identitas umat Islam, demikian perkataan K.H. Ahmad Dahlan (Kata Mutiara Toleransi, akses 02/11/2017). Oleh karenanya umat Islam umumnya dan masyarakat Minangkabau khususnya harus mengaplikasikan nilai-nilai toleransi di dalam kehidupan, dan menjauhkan diri dari sikap intoleransi dengan segala macam bentuknya, termasuk cakak banyak yang telah Penulis jelaskan di atas. Di antara upaya yang bisa dilakukan untuk membentuk masyarakat yang pandai bertoleransi adalah dengan membangun generasi yang paham dan terbiasa dengan sikap toleransi tersebut.

Oleh sebab itu, untuk membentuk generasi yang pandai bertoleransi, langkah paling efektif adalah melalui eduksi atau pendidikan. Pendidikan yang dimaksud bukan hanya pendidikan yang berkutat dengan diktat semata, tetapi pendidikan melalui pembiasaan, Penulis menawarkan pendidikan tersebut melalaui tiga lini, pertama membentuk generasi toleran di lingkungan keluarga, kedua membentuk generasi toleran di lingkungan pendidikan formal, dan ketiga mendidik generasi dan masyarakat toleran melalui kearifan lokal Minangkabau, seperti mengamalkan petatah-petitih tentang toleransi, dan kebiasaan balapau sebagai wadah pembentukan pribadi yang toleran. Akhirul kalam, jika edukasi pembiasaan bersikap toleransi di tiga lini tersebut dapat dimaksimalkan, maka usaha tidak akan pernah menghianati hasil, insyaAllah generasi toleran akan terbentuk.

***

DAFTAR KEPUSTAKAAN 

Al-'Adnani, Abu Ibrahim ibn Sulthan, Al-Qithbiyyah hiya al-Fitnah fa 'A'rafuha, Beirut: Pdf factory, 2004
Dekadepos.com 11/02/2017
Kabarpolisi.com, 11/09/2017
Kabarsumbar.com, 21/08/2017
Kamil, Ridwan, Kata-kata Mutiara Toleransi.com, 02/10/2017
KBBI, akses 11/06/2017
Kompas, 03/04/2017
Al-Ma'luf, Luwis, Al-Munjid fi al-Lughah, Beirut: Dar al-Ihya' al-Turats al-'Araby, 1956
Metro Andalas, 22/08/2017
Al-Naisaburi, Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qushairi, Shahih Muslim, Beirut: Dar al-Ihya' al-Turats al-'Araby, t.th
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Tanggerang: Lentera Hati, 2008

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun