Mohon tunggu...
Muhammad FaridRohman
Muhammad FaridRohman Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

saya sangat rajin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ketika Aku Mati

20 September 2024   09:38 Diperbarui: 20 September 2024   09:41 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apa dia tidak sadar kalau yang dilakukannya adalah sesuatu yang salah? Ah... sebenarnya siapa yang tolol dan bego di sini?

Waktu berlalu. Kini, rumahku ramai. Banyak sekali tetangga di sekitar rumahku yang datang. Bajingan. Ke mana saja mereka ketika aku berteriak-teriak minta tolong saat tubuhku hancur dipenuhi warna merah dan ungu? Ke mana saja mereka ketika aku menangis ingin pergi dari neraka yang diciptakan ibu dan ayah?

Apa mereka pura-pura tuli? Atau mereka merasa hidup mereka terlalu bahagia untuk mengurus penderitaan orang lain? Aku tak pernah sekali pun merasakan ke- pedulian mereka. Teriakanku mungkin hanya dianggap sebagai musik pengiring. Tangisanku hanya dianggap sebagai suara pengganggu bagi ketenangan istirahat mereka. Luka-luka di tubuhku mungkin hanya dianggap sebagai aksesori yang sedang tren di kalangan anak muda.

Mungkin, alasan mereka datang untuk melihat kematianku juga hanya agar mereka terlihat sebagai tetangga yang baik atau lebih buruknya lagi mereka hanya ikut-ikutan karena mereka bahkan tidak mengenalku sama sekali.

Orang-orang semakin banyak berdatangan. Kini, teman-temanku yang datang. Tunggu. Apa aku bisa menyebut mereka teman? Ah tidak usah. Lagi pula, mereka tidak akan merasa sedih karena kematianku.

Kalau pun mereka sedih, mungkin itu karena mereka kehi- langan badut untuk ditertawakan sambil dijuluki anjing dan babi. Atau mungkin mereka kehilangan orang untuk direndahkan karena mereka tidak punya cara lain untuk menuju tempat yang tinggi. Mungkin juga mereka kehilangan suara tangisanku yang akan meng- hibur hidup mereka sudah terlalu menyedihkan

Ternyata tak hanya "teman- temanku" saja, guru-guru di sekolahku juga datang untuk melihat mayat siswa yang bahkan mungkin tidak pernah mereka pedulikan kehadirannya. Dari cara mereka berbicara pada ibuku, aku dapat melihat bagaimana mereka berpura-pura prihatin sehingga mereka terlihat sebagai orang yang sangat dihormati dan dekat dengan anak-anak didiknya.

Rasanya aku ingin muntah dengan apa yang mereka lakukan karena itu benar-benar menjijikkan. Mereka terlihat sangat baik di depan orang tuaku tapi ketika aku memiliki masalah di sekolah, ketika aku dijadikan mainan oleh "teman-temanku" dan aku me- rengek meminta tolong pada mereka, yang mereka lakukan hanya memberi nasihat bodoh dengan kalimat klise "jangan lakukan itu kepada sesama teman".

Apa kalian tidak melihat aku sangat menderita di sekolah tempat kalian membual selama berjam- jam itu? 

Ah, sepertinya, di mata kalian, penderitaanku hanyalah penderitaan anak-anak yang kalah dari permainan anak-anak ingusan yang tidak perlu dipedulikan. Kalian hanya pandai dalam membual di dalam kelas saja tapi tidak dapat memahami apa pun selain itu.

Aku sudah muak melihat semua orang di sekeliling mayatku yang bersikap seolah mereka merasa sedih padahal mereka tidak mempedulikan aku sama sekali. Aku keluar dari pintu dan mening- galkan tempat menjijikkan itu. Ketika aku keluar dari pintu, di luar rumah itu tidak ada apa-apa. Semuanya gelap gulita dan hanya ada kekosongan seolah segalanya benar-benar lenyap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun