Aku tidak mengerti banyak hal salah satunya soal bagaimana rasanya kematian itu. Apa terasa sakit? Atau terasa nyaman? Apa itu menyelesaikan penderitaan atau justru malah menambah lebih banyak? Lalu... akan seperti apa jadinya jika aku mati sekarang?
Brak... aku menendang kursi yang menjadi pijakan tempatku berdiri. Tali di leherku mulai menegang dan mencekikku sampai aku tidak dapat merasakan udara di sekitarku lagi.
Dadaku rasanya terbakar. Rasanya sangat sakit luar biasa. Aku tidak mengerti dengan diriku sendiri. Aku selalu berkata bahwa aku ingin mati, tapi ketika aku berada di ambang kematian, aku
malah berusaha mengais-ngais udara untuk bernapas.Â
Sial. Apa aku benar-benar mengingin-kan hal ini? Tapi sudah terlambat untuk kembali. Tinggal sedikit lagi. Aku akan tahu apakah semuanya selesai atau justru bertambah rumit.
Lalu segalanya berhenti. Rasa sakit itu hilang. Semuanya gelap dan hening. Aku mati.
Tiba-tiba... aku terbangun lagi. Apa itu mimpi? Ah... tidak, itu memang bukan mimpi karena sekarang aku melihat tubuhku sendiri sedang bergelantung lemas. Aku benar-benar mati.
Apa tubuhku yang sekarang ini adalah sesuatu yang disebut sebagai arwah atau semacamnya? Entahlah.
Di tengah kebingunganku setelah aku mati, seseorang mem- buka pintu kamarku dan menjerit histeris. Ah, itu ibu dan dia menangis. Dia menangis? Untuk apa? Apa mungkin ia sedih karena kehilangan objek yang akan ia pukul untuk meluapkan amarahnya? Ya, pasti begitu. Ketika aku hidup, ia tidak pernah memberi tubuhku kesempatan untuk bersih sedikit pun.
Ia selalu memberi warna merah atau ungu. Sesekali kadang ia memberi beberapa goresan yang mengeluarkan darah. Pukulannya benar-benar musuh abadi yang tidak akan selesai jika aku tidak mati.
Setelah ibu, selanjutnya gi- liran ayah yang menangis. Apalagi sekarang? Ia sedih karena apa? Apa ia sedih karena ia tidak bisa berteriak-teriak tolol dan bego pada anaknya karena ia sudah mati?
Di mana pun dan kapan pun, aku tidak pernah menjadi seseorang yang cukup baik untuknya. Aku selalu saja jadi si tolol dan si bego yang katanya tidak becus melakukan apa-apa. Katanya aku hobi mencari gara- gara. Padahal, orang yang sering keluyuran dan mabuk sambil mencari perempuan lain sampai membuat ibu marah itu dia
Apa dia tidak sadar kalau yang dilakukannya adalah sesuatu yang salah? Ah... sebenarnya siapa yang tolol dan bego di sini?
Waktu berlalu. Kini, rumahku ramai. Banyak sekali tetangga di sekitar rumahku yang datang. Bajingan. Ke mana saja mereka ketika aku berteriak-teriak minta tolong saat tubuhku hancur dipenuhi warna merah dan ungu? Ke mana saja mereka ketika aku menangis ingin pergi dari neraka yang diciptakan ibu dan ayah?
Apa mereka pura-pura tuli? Atau mereka merasa hidup mereka terlalu bahagia untuk mengurus penderitaan orang lain? Aku tak pernah sekali pun merasakan ke- pedulian mereka. Teriakanku mungkin hanya dianggap sebagai musik pengiring. Tangisanku hanya dianggap sebagai suara pengganggu bagi ketenangan istirahat mereka. Luka-luka di tubuhku mungkin hanya dianggap sebagai aksesori yang sedang tren di kalangan anak muda.
Mungkin, alasan mereka datang untuk melihat kematianku juga hanya agar mereka terlihat sebagai tetangga yang baik atau lebih buruknya lagi mereka hanya ikut-ikutan karena mereka bahkan tidak mengenalku sama sekali.
Orang-orang semakin banyak berdatangan. Kini, teman-temanku yang datang. Tunggu. Apa aku bisa menyebut mereka teman? Ah tidak usah. Lagi pula, mereka tidak akan merasa sedih karena kematianku.
Kalau pun mereka sedih, mungkin itu karena mereka kehi- langan badut untuk ditertawakan sambil dijuluki anjing dan babi. Atau mungkin mereka kehilangan orang untuk direndahkan karena mereka tidak punya cara lain untuk menuju tempat yang tinggi. Mungkin juga mereka kehilangan suara tangisanku yang akan meng- hibur hidup mereka sudah terlalu menyedihkan
Ternyata tak hanya "teman- temanku" saja, guru-guru di sekolahku juga datang untuk melihat mayat siswa yang bahkan mungkin tidak pernah mereka pedulikan kehadirannya. Dari cara mereka berbicara pada ibuku, aku dapat melihat bagaimana mereka berpura-pura prihatin sehingga mereka terlihat sebagai orang yang sangat dihormati dan dekat dengan anak-anak didiknya.
Rasanya aku ingin muntah dengan apa yang mereka lakukan karena itu benar-benar menjijikkan. Mereka terlihat sangat baik di depan orang tuaku tapi ketika aku memiliki masalah di sekolah, ketika aku dijadikan mainan oleh "teman-temanku" dan aku me- rengek meminta tolong pada mereka, yang mereka lakukan hanya memberi nasihat bodoh dengan kalimat klise "jangan lakukan itu kepada sesama teman".
Apa kalian tidak melihat aku sangat menderita di sekolah tempat kalian membual selama berjam- jam itu?Â
Ah, sepertinya, di mata kalian, penderitaanku hanyalah penderitaan anak-anak yang kalah dari permainan anak-anak ingusan yang tidak perlu dipedulikan. Kalian hanya pandai dalam membual di dalam kelas saja tapi tidak dapat memahami apa pun selain itu.
Aku sudah muak melihat semua orang di sekeliling mayatku yang bersikap seolah mereka merasa sedih padahal mereka tidak mempedulikan aku sama sekali. Aku keluar dari pintu dan mening- galkan tempat menjijikkan itu. Ketika aku keluar dari pintu, di luar rumah itu tidak ada apa-apa. Semuanya gelap gulita dan hanya ada kekosongan seolah segalanya benar-benar lenyap.
Aku berlari menerjang kegela- pan itu tapi aku malah kembali ke rumahku. Sekarang, di dalam rumahku sudah tidak ada siapa- siapa. Yang tersisa hanya arwahku dengan segala kekosongan di sekelilingku.
Aku hanya berlalu lalang ke sana ke mari dengan penuh kebingungan. Waktu berlalu tapi lebih terasa seperti berhenti. Aku tidak tahu hari, tanggal, bulan, dan tahun berapa sekarang.
Aku bertanya-tanya dalam hati. Bagaimana kelanjutan komik favoritku? Komik itu belum selesai. Aku ingin mengetahui kelanjutan- nya. Apa tokoh favoritku mati? Sepertinya tidak mungkin. Dia sangat kuat-tidak sepertiku.
Aku suka sekali dengan Emma Stone. Apa dia sudah bermain film baru? Nyanyiannya sangat indah ketika ia bermain di La La Land. Seperti apa film Emma Stone yang baru? Aku yakin itu sangat bagus.
Sekarang aku ingin mie instan. Rasa soto sepertinya enak. Ditambah rawit dan telur. Akan lebih enak lagi jika dinikmati di saat hujan. Aku juga ingin pergi ke pantai. Melihat ombak dan matahari tenggelam sepertinya akan terasa nyaman. Ah... kenapa aku memikirkan semua itu sekarang?
Aku sudah mati. Aku sudah mati. Aku sudah mati. Ingatlah hal itu. Tapi... bagaimana caranya hidup kembali? Apa aku bisa hidup kembali? Apa aku bisa melakukan hal-hal yang kusukai sekali lagi? Kenapa sekarang aku merasa bahwa aku tidak ingin mati? Apa ini sesuatu yang disebut penyesalan? Kenapa rasanya tidak menyenangkan? Apa kematian selelau dipenuhi rasa sesal? Apa kematian adalah sesuatu yang salah?
Apa semuanya akan lebih baik jika aku tetap bertahan hidup? Ah... kenapa aku harus mati sekarang? Kenapa aku mengikat- kan tali di leherku? Kenapa aku menendang kursi pijakanku itu? Kenapa aku tidak membawa gunting dan memutuskan tali itu ketika aku hampir kehabisan napas? Kenapa saat itu aku memilih untuk mati?
SELESAI
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI