Menatap bangunan yang nyaris roboh ini membuat hati sedih, mengingat nilai sejarahnya dan seni serta teknik arsitektur nya yang sebenarnya dapat dijadikan standard untuk mendirikan bangunan yang lebih aman (ada batang besi yang menyerupai huruf "Y" dipasang di beberapa tempat, yang konon bila terjadi gempa sehingga runtuh, maka reruntuhan nya akan jatuh ke dalam bangunan).
Ada beberapa papan informasi di sekitar daerah ini yang bertuliskan beberapa organisasi terutama para mahasiswa praktek lapangan yang pernah berusaha merevitalisasi tempat ini menjadi lebih baik, namun tanpa campur tangan pemerintah, usaha ini sia-sia belaka.
Keluar dari daerah "pergudangan jaman VOC", kami melintasi sebuah bangunan tua yang di sebelahnya masih difungsikan sebagai restoran "Fortune Star". Gedung yang dibangun tahun 1926-1927 itu adalah bekas Gedung Geo Wehry & Co yang adalah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan di Hindia Belanda dan mengekspor semua rempah dari Indonesia dan sesudah Perang Dunia ke-2, bergabung dengan Borneo Sumatra Maatschappij atau Borsumij. Tidak ada kejelasan siapa pemilik gedung itu sekarang.
Kami terus berjalan ke arah jalan raya untuk kembali berjalan kaki menuju pemukiman penduduk yang berada di tepi kali (sungai kecil) dan kami cukup terkejut ternyata reruntuhan yang di depan mata adalah tempat didirikannya stasiun kereta  api  pertama di Batavia yaitu Stasiun Batavia NISM ("Nederlandsche Indische Spoorweg Maatschappij" perusahaan kereta api swasta) yang pernah menjadi stasiun kereta api pusat di Batavia maka dinamakan Stasiun Batavia "Hoofdstasion" dan melayani jalur Batavia -- "Buitenzorg" yang artinya Kota Bogor  melalui Stasiun "Weltervreden" (cikal bakal Stasiun Gambir) di Jakarta Pusat dan  wilayah "Meester Cornelis" (di sekitar Stasiun Jatinegara). Stasiun pusat ini mulai beroperasi 15 September 1871.