Sekilas sejarah Kota Tua Jakarta, dengan bangunan tua dan reruntuhannya.
Saat saya diajak teman untuk berwisata kota tua Jakarta, dalam hati saya berkata, "Kota tua kan hanya seputaran Glodok Pancoran, Beos, Museum Fatahilah dan Pelabuhan Sunda Kelapa." Tapi karena suka jalan, jadilah menggabungkan diri dalam kelompok kecil di tanggal 5 Oktober 2021 dengan kekhususan melihat bangunan tempo doeloe dan 7 Oktober 2021 dengan kekhususan kuliner jadoel.
Berkumpul di salah satu resto cepat saji di dalam Stasiun Kota yang juga dikenal dengan nama Stasiun Batavia Beos dan di jaman nya juga sering disebut sebagai Stasiun "Batavia Zuid" (selatan), kami disambut oleh pemandu wisata kawakan bernama Indra yang tergabung dalam Jakarta Good Guide dengan senyum manisnya. Sejenak kami mendengarkan briefing rute perjalanan yang akan dilakukan sepanjang hari itu.Â
Rute "Old City Tour" kali ini adalah penggabungan 2 rute sekaligus dalam 1 hari, karena keterbatasan waktu. Seperti kebanyakan wisata kota tua di berbagai belahan dunia, wisata kota tua Jakarta juga dilakukan dengan berjalan kaki dari satu titik ke titik lain. Apakah Anda rutin berolah raga?
Tepat jam 10.29 kami berdiri di depan jam dinding yang di bawahnya terdapat tulisan dalam Bahasa Inggris tentang sejarah singkat Stasiun Beos yang diresmikan tahun 1929.
Banyak informasi yang mungkin tidak banyak diketahui orang, cerita tentang sejarah berdirinya stasiun kereta api Beos, model arsitekturnya serta jalur rel kereta nya hingga seperti sekarang. Bangunan ini masih kokoh berdiri dan melayani masyarakat luas.
Keluar dari Beos, kami menuju pintu masuk ke Terowongan Penyeberangan Orang (TPO) di bawah tanah yang berada tepat di depan pintu masuk Stasiun Beos, dan dibuka untuk umum tanggal 20 Februari 2008 untuk mengakomodir kebutuhan masyarakat pemakai jasa angkutan umum yang baru diresmikan yaitu Trans Jakarta.Â
Sejenak Indra bercerita tentang sejarah Trans Jakarta dengan rute-rute nya yang terus berkembang berusaha menjangkau berbagai penjuru Kota Jakarta. Kemudian kami mulai menuruni anak tangga, dan terlihat masih banyak kios-kios di dalam terowongan yang sudah dibuka dalam masa "krisis" wisatawan ini.Â
Terowongan itu kini kurang terawat, cat kusam, tercium juga aroma tidak sedap, dan banyak cerita tentang sejak lama banyak lampu penerangan yang sudah padam di malam hari, padahal TPO Beos yang menghubungkan Stasiun Jakarta Kota, halte bus Trans Jakarta dan Museum Mandiri dibangun dengan biaya sekitar Rp. 47,7 miliar.
Keluar dari TPO kami menyusuri trotoar menuju ke arah belakang Gedung Museum Fatahilah, terus ke arah Jl. Kali Besar Barat dan tepat di ujung jembatan kami berhenti untuk mendengarkan cerita sejarah sungai yang dinamakan "Kali Besar" yang mengalir sejajar dengan Sungai Ciliwung dan bermuara di Teluk Jakarta dan pernah dire-vitalisasi atas inisiasi seorang gubernur yang mengajak pihak swasta untuk berkolaborasi mengaktifkan kembali kota tua dan itu terlihat dari logo yang tercetak di lempengan besi penutup lubang di trotoar. Di sekitar tempat ini terdapat banyak bangunan tua dengan kondisi yang masih kokoh dan dapat difungsikan dengan baik serta bangunan tua yang dibiarkan rusak ditelan jaman.
Perjalanan diteruskan ke depan Toko Merah, bangunan tua berwarna merah yang masih kokoh berdiri namun tidak ada barang peninggalan apapun di dalamnya. Menurut Wikipedia, Toko Merah adalah sebuah bangunan peninggalan kolonial Belanda yang terletak di tepi barat Kali Besar, Kota Tua Jakarta.Â
Dibangun pada tahun 1730 dan merupakan salah satu bangunan tertua di Jakarta. Ciri khas warna merah pada bangunan ini yang menjadikan bekas kediaman Gubernur-Jenderal Gustaaf Willem baron van Imhoff dikenal dengan sebutan Toko Merah di kalangan masyarakat luas.
Jika pernah berjalan di kota tua Pulau Penang, melihat keadaan banyak bangunan tua di kota tua Jakarta, ada rasa pedih karena kebijakan serta penanganan yang berbeda dari pemangku kepentingan, menjadikan kota tua Jakarta tidak banyak memberikan manfaat baik bagi masyarakat sekitar maupun bangsa Indonesia dan wisatawan yang berkunjung.
Kami terus berjalan melewati 3 patung yang sengaja dipasang di tepian sungai yaitu patung anak kecil yang mengalungkan tali sepatu nya di leher, patung "ngkoh" sedang duduk di sebuah bangku panjang, lalu di ujung jembatan saat berbelok ke tepian seberang sungai ada patung tukang yang sedang men-cat tiang dengan warna merah. Pastinya banyak orang berfoto dengan patung-patung unik itu yang cukup mewakili keberagaman penduduk Kota Jakarta.
Kembali menyusuri tepi sungai, kami melihat bagian belakang dari bangunan-bangunan tua yang di bagian depan nya menghadap ke samping gedung Museum Fatahilah dan banyak digunakan sebagai resto atau kafe. Bagian belakang bangunan banyak yang sudah tidak terawat.
Ada bangunan yang tertulis di bagian atasnya "toilet" dan kami masuk ke dalamnya, ternyata udara segar mengalir dengan baik dan terasa sejuk. Melewati toilet umum, kami mampir ke kafe "Acaraki" yang menyediakan "Jamu New Wave" dengan rasa unik tak terlupakan, termasuk resep jamunya Bapak Presiden Jokowi. Enak juga berlama-lama di tempat ini, sayang waktu terus mengejar.
Dengan tibanya waktu santap siang dan masih banyaknya kafe di kota tua yang tutup, maka kami memutuskan untuk makan di Kedai Seni Djakarte dengan hiasan interior yang instagramable berada di dalam sebuah bangunan tua di dalam Fatahilah Square. Sop buntut, nasi goreng, pisang goreng dan teh es menjadi santapan kami di siang hari yang panas itu.
Selanjutnya dengan menumpang mikrolet (angkutan umum berupa mobil berkapasitas 10 orang), kami bergegas ke Pelabuhan Sunda Kelapa yang dipercaya sebagai tempat cikal bakal Kota Jakarta. Hingga saat artikel ini ditulis, tempat ini masih digunakan untuk pelabuhan barang.Â
Masih banyak perahu sederhana berbahan kayu dengan tenaga mesin yang membongkar muat komoditas kebutuhan masyarakat seperti sembako, kelontong bahkan tekstil dan bahan bangunan khususnya untuk daerah kepulauan. Sebaiknya berhati-hati bila menyusuri jalanan tempat sandar kapal karena banyak orang yang bekerja memuat dan membongkar barang. Berkunjunglah di kala senja ke Pelabuhan Sunda Kelapa, tanpa terasa ingatan akan hanyut melintasi masa lalu.
Dari Pelabuhan Sunda Kelapa, berjalan kaki sekitar 10 menit, kami sudah tiba di depan jalan masuk menuju museum. Sayangnya Museum Bahari masih ditutup karena peraturan pemerintah semasa pandemi 2021. Tetap mendengarkan sejarah museum sebelum beranjak ke bangunan Menara Syah Bandar di dekatnya untuk berfoto di depannya saja.
Dari situ kami menyeberangi jalan menuju jembatan yang di ujungnya dinamakan Jl. Kakap dan terdapat bangunan tua bekas galangan kapal "VOC (Verenigde Oost Indische Compagnie)" dan beberapa waktu terakhir dijadikan kafe yang oleh pemiliknya dinamakan VOC juga tapi dengan singkatan berbeda yaitu "Very OId Caf". Â
Usai berfoto, kami meneruskan perjalanan melewati berbagai bangunan tua yang pernah difungsikan sebagai restoran, seperti resto "Raja Kuring" dengan tulisan di tembok "Gedoeng Belanda Tempo Doeloe since 1602" dan masih melayani tamu hingga saat ini.
Perjalanan dilanjutkan ke Jembatan Kota Intan yang menurut Wikipedia, Jembatan Kota Intan adalah jembatan tertua di Indonesia yang dibangun pada tahun 1628 oleh pemerintah "Vereenigde Oostindische Compangnie" atau "VOC", atau masyarakat kita lebih familiar dengan sebutan Kumpeni. Jembatan itu terletak di Kali Besar kawasan kota tua wilayah Jakarta Barat.
Jembatan Kota Intan telah berganti-ganti nama sesuai pergantian zaman. Secara singkat, setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, jembatan ini berganti nama menjadi Jembatan Kota Intan, sesuai dengan nama lokasi setempat, di mana pada masa awal pembangunannya terletak persis di ujung "Bastion Diamant" (bastion adalah bangunan sudut yang menjorok ke luar melebihi dinding benteng dan biasanya ditempati oleh penjaga, diamant artinya intan) dari Kastil Batavia.
Jembatan Kota Intan sudah tidak dapat digunakan, material kayu diganti dengan baja dan jembatan gantung ini tidak dapat dibuka tutup lagi di bagian tengahnya agar kapal dapat berlayar jauh ke hulu sungai seperti awal masa dibangunnya di abad 17.
Dari Jembatan Kota Intan, kami berjalan kaki memulai rute ke-2 yaitu kunjungan ke daerah Kampung Tongkol, Jalan Krapu di mana terdapat reruntuhan dari "Kasteel Batavia", yang dibangun awal abad 17 dan pernah diupayakan untuk merevitalisasi tepian sungai (kalau ini diusahakan secara konsisten maka akan menjadi objek wisata seperti di Korea maupun di China dan akan meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar yang dapat berjualan kebutuhan wisatawan terutama minuman), namun tidak dilanjutkan dan reruntuhan Kastil Batavia ditumbuhi tanaman semak.
![Foto: Dokumentasi Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/12/08/24-min-61b0ddd975ead65cc421d852.jpg?t=o&v=770)
![Foto: Dokumentasi Pribadi](https://assets.kompasiana.com/items/album/2021/12/08/27-min-61b0ddec06310e783f433be2.jpg?t=o&v=770)
Kami terus berjalan menuju tembok Kota Batavia yang sangat rawan runtuh, dan di area yang sama dibangun juga gudang-gudang makanan untuk menyediakan bekal bagi kapal-kapal yang hendak berlayar ke Negeri Belanda. Gudang-gudang itu sudah runtuh karena satu dan lain hal, dan saat tulisan ini dibuat, masih tersisa sebagian kecil dari Gudang Timur yang dulu dinamakan "Graanpakhuizen" yang berarti gudang gandum atau biji-bijian. Lokasi bangunan ini sekarang sangat memprihatinkan karena digunakan oleh banyak usaha ekspedisi untuk bongkar muat barang ke truk, mencuci kendaraan, bahkan tempat penimbunan kendaraan rusak dan banyak dari mereka mendirikan bedeng-bedeng sementara sehingga menutupi banyak bagian sisi tembok bangunan yang nyaris runtuh itu.
Menatap bangunan yang nyaris roboh ini membuat hati sedih, mengingat nilai sejarahnya dan seni serta teknik arsitektur nya yang sebenarnya dapat dijadikan standard untuk mendirikan bangunan yang lebih aman (ada batang besi yang menyerupai huruf "Y" dipasang di beberapa tempat, yang konon bila terjadi gempa sehingga runtuh, maka reruntuhan nya akan jatuh ke dalam bangunan).
Ada beberapa papan informasi di sekitar daerah ini yang bertuliskan beberapa organisasi terutama para mahasiswa praktek lapangan yang pernah berusaha merevitalisasi tempat ini menjadi lebih baik, namun tanpa campur tangan pemerintah, usaha ini sia-sia belaka.
Keluar dari daerah "pergudangan jaman VOC", kami melintasi sebuah bangunan tua yang di sebelahnya masih difungsikan sebagai restoran "Fortune Star". Gedung yang dibangun tahun 1926-1927 itu adalah bekas Gedung Geo Wehry & Co yang adalah perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan di Hindia Belanda dan mengekspor semua rempah dari Indonesia dan sesudah Perang Dunia ke-2, bergabung dengan Borneo Sumatra Maatschappij atau Borsumij. Tidak ada kejelasan siapa pemilik gedung itu sekarang.
Kami terus berjalan ke arah jalan raya untuk kembali berjalan kaki menuju pemukiman penduduk yang berada di tepi kali (sungai kecil) dan kami cukup terkejut ternyata reruntuhan yang di depan mata adalah tempat didirikannya stasiun kereta  api  pertama di Batavia yaitu Stasiun Batavia NISM ("Nederlandsche Indische Spoorweg Maatschappij" perusahaan kereta api swasta) yang pernah menjadi stasiun kereta api pusat di Batavia maka dinamakan Stasiun Batavia "Hoofdstasion" dan melayani jalur Batavia -- "Buitenzorg" yang artinya Kota Bogor  melalui Stasiun "Weltervreden" (cikal bakal Stasiun Gambir) di Jakarta Pusat dan  wilayah "Meester Cornelis" (di sekitar Stasiun Jatinegara). Stasiun pusat ini mulai beroperasi 15 September 1871.
Mengapa stasiun ini hanya tinggal reruntuhan saja? Ternyata begini ceritanya...
Pada tahun 1887, perusahaan kereta api swasta lainnya, yakni "Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschappij (BOS)", membuka jalur menuju Bekasi melalui tepi timur Batavia. Stasiun yang menjadi titik awal keberangkatan jalur ini terletak 200 meter di selatan Stasiun Batavia "Hoofdstasion". Stasiun yang dioperasikan oleh BOS ini dinamai "Batavia Beos". Selanjutnya untuk mempermudah penamaannya disesuaikan dengan lokasinya. Â Stasiun Batavia milik NISM disebut sebagai Stasiun Batavia "Noord" (utara), sedangkan Stasiun Batavia Beos sering disebut sebagai Stasiun Batavia "Zuid" (selatan).
Akhir abad 18 dan awal abad 19, terjadi nasionalisasi jalur kereta api yaitu perusahaan kereta api negara "Staatsspoorwegen (SS)" mengambilalih perusahaan swasta. Pada tahun 1898, BOS telah menjual jalur kereta Batavia Zuid menuju Bekasi kepada SS. Akuisisi dilakukan karena pemerintah ingin meningkatkan kualitas layanan perkeretaapian di Batavia dan sekitarnya. Sedangkan jalur kereta api Batavia-Buitenzorg milik NISM baru diambil alih pemerintah pada 1913.
Bangunan Stasiun Batavia Zuid dirobohkan untuk dibangun ulang sebagai stasiun utama. Di saat bersamaan, sesuai namanya "Hoofdstasion", Â Stasiun Batavia Noord digunakan sebagai stasiun utama di Batavia. Kapasitas Stasiun Batavia Zuid ditingkatkan dengan perluasan emplasemen serta penambahan jumlah jalur kereta. Pembangunan Stasiun Batavia Zuid akhirnya rampung pada 1929 dan stasiun ini dijadikan stasiun utama dengan nama baru Stasiun Batavia Benedenstad.Â
Seiring dengan kehadiran stasiun utama yang baru, di tahun yang sama, Station Batavia Noord secara resmi berhenti beroperasi sebelum kemudian bangunannya dibongkar. Kini, stasiun yang sempat menjalankan fungsi sebagai stasiun utama di Batavia selama puluhan tahun ini tinggal sejarah, sedangkan Stasiun Batavia Zuid hingga saat ini masih berdiri kokoh dan tetap beroperasi dengan nama Stasiun Jakarta Kota.
Dari tempat bersejarah itu, kami berjalan kaki untuk kembali ke Stasiun Beos, tempat di mana kami bertemu tadi pagi, untuk kami berpisah kembali pulang ke tempat masing-masing. Dalam kendaraan yang membawa saya pulang, pikiran masih di seputar sejarah kota tua Jakarta. Mampukah kota ini bebenah diri untuk dapat menghidupi masa kini sambil menikmati sejarah masa lalu? Banyak kota di berbagai belahan dunia bisa melakukannya dengan baik karena adanya sinergi yang baik antara semua pihak yang berkepentingan. Bagaimana dengan Jakarta?
Ketika saya mengajak teman untuk berwisata kota tua Jakarta, banyak dari mereka menjawab, "Kalau diajak untuk berwisata kota tua di luar negri pasti banyak yang mau ikut bergabung, tapi kalau di Jakarta ngga deh (sambil tersenyum penuh arti)."
Bagi yang visual lovers, silahkan cekidot di link :
Terima kasih dan semoga bermanfaat.
Salam pariwisata.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI