Menjelang perhelatan Pilkada 2020 (Pemilihan Kepala Daerah), suhu politik di berbagai daerah mulai memanas. Banyak kandidat calon kepala daerah yang sudah bermunculan dan mendaftarkan diri sebagai peserta Pilkada.Â
Berbagai macam poster dan spanduk kampanye dapat kita temui sepanjang jalan protokol yang menghiasi dan meramaikan momentum politik lima tahunan ini. Tentunya Pilkada kali ini menjadi ajang unjuk gigi setiap Partai Politik dalam penegasan eksistensinya di daerah.
Koalisi yang dibentuk pada setiap momentum merupakan usaha Partai Politik guna memantapkan posisi dan strategi dalam pemenangan calon yang mereka usung. Kondisi ini memang menjadi sebuah keharusan dalam demokrasi kita, sebagaimana tertuang dalam pasal 40 ayat 1 Undang-undang No.10 tahun 2016 tentang Ambang batas pencalonan dalam Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada).
bahwa Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPRD atau 25% dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan.
Pilkada sebagai perwujudan kedaulatan rakyat.Â
Pada hakikatnya pemilihan kepala daerah secara langsung adalah hasil dari proses demokratisasi bangsa pasca reformasi dengan terbitnya UU No. 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang kemudian melahirkan UU. 32 Â tahun 2005 tentang Pemerintahan Daerah. Karena sebelumnya kepala daerah dan wakilnya dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dengan sistem keterwakilan.
Dengan dihelatnya Pilkada secara langsung ini, diharapkan Partai Politik dapat menjalankan fungsinya guna mengedukasi warga agar memiliki keberdayaan dalam menjalankan fungsi kewarganegaraan dalam dimensi partisipasi.
Manusia sebagai zoon politicon
Setiap orang pada takaran tertentu memiliki hasrat akan kekuasaan sebagai manifestasi watak alamiah manusia. Aristoteles (filsuf Yunani klasik) menggambarkan bahwa manusia sebagaimana lazimnya yang hidup berkelompok dan cenderung membangun dominasi dan hegemoni terhadap manusia atupun kelompok lainnya.Â
Partai Politik  kerap disebut sebagai wadah bagi setiap individu yang memiliki hasrat akan kekuasaan. Suatu hal yang wajar apabila hari ini banyak dari Partai Politik yang saling menargetkan dan mengklaim kemenangan dalam setiap kontestasi elektoral.
Optimisme yang dibangun Partai Politik menunjukkan kesiapan yang matang dalam menyusun strategi kampanye dan pemantapan program kerja serta soliditas tim pemenangan calon yang diusung Partai Politik.Â
Pada Pilkada Jatim 2018, terjadi pertarungan klasik antara Saefullah Yusuf atau Gus Ipul dan Khofifah Indar Parawangsa karena keduanya kembali berhadap-hadapan untuk memperebutkan posisi gurbenur. Pada dua kali Pilkada sebelumnya, Gus Ipul dan Khofifah saling berhadapan pada Pilkada 2008 dan 2013
Kontestasi yang terjadi diatas merupakan watak alamiah manusia yang pada hakikatnya memiliki hasrat akan hegemoni dan kekuasaan. Dan di samping itu juga menimbulkan persaingan dan perselisihan di antara kelompok ataupun Partai Politik.Â
Perselisihan yang terjadi kerap kali mengakibatkan polarisasi di tengah masyarakat, dalam hal ini masyarakat di kotak-kotakan berdasarkan dukungan politik.
Hegemoni partai incumbent atau petahana menjadi nilai lebih dalam kontestasi elektoral, dengan program-program yang telah tertunaikan menjadikan incumbent sebagai pihak yang diunggulkan dibandingkan kompetitor lainnya.
Partai Incumbent umumnya memiliki basis pemilih yang menjanjikan. Persaingan yang terjadi akan lebih mudah apabila calon dari Partai Incumbent memiliki kompetensi dan tingkat keterpilihan yang tinggi. Sebagaimana PKS dengan Ahmad Heriawan (aher) yang mampu memenangkan Pilkada Jabar 2013 lalu.
Namun, keadaan ini berbalik 360 derajat dalam Pilkada DKI 2017 lalu. Dalam persoalan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai incumbent memang memiliki kinerja yang memuaskan dan aproval rating mencapai 76% (survey Indikator Politik Indonesia). Meskipun tingkat kepuasan warga DKI atas kinerja incumbent tinggi, tidak menjadi jaminan untuk kedipilihannya dalam Pilkada.
Hal ini menjadi bukti  bahwa "kepala" dan "hati" sebagian warga DKI Jakarta terbelah. Mereka mengakui kinerja Incumbent baik, tetapi hati sulit menerima Ahok karena kasus yang menimpanya. Membuat kerja Partai Incumbent menjadi dua kali lebih sulit dalam hal pemenangan kontestasi elektoral.
Gejala Doublethingking inilah yang terjadi, dimana kemampuan seseorang untuk mempercayai dua hal yang bertolak belakang secara bersamaan atau disonasi kognitif (kata George Orwell).
Pembahasan tentang persaingan elektoral tingkat regional maupun nasional memang selalu menjadi topik yang hangat untuk dibahas.
Dinamika politik regional kerap dijadikan sebuah indikator dalam persaingan eksistensi dan pengukuhan akan hegemoni Partai Politik dalam kancah poltik nasional.
Seberapa kuat pengaruh Partai Politik di daerah?
Semakin kuat pengaruh Partai Politik, semakin kuat pula tingkat kedipilihannya. Sebagaimana kita lihat di berbagai daerah yang menjadi lumbung suara bagi beberapa Partai Politik. Sebagaimana Hegemoni PDI-P atas Jawa Tengah, PKS atas Jawa Barat, dan PKB-PPP (Nahdliyin) atas Jawa Timur.
Hegemoni Partai Politik di daerah memang sangat berpengaruh dalam peningkatan daya jual Partai Politik pada kontestasi tingkat nasional.
Dalam beberapa Pilkada, calon dari partai incumbent memang terlihat superior dengan program-program yang telah tertunaikan saat kampanye maupun debat kandidat. Sehingga tercipta "public trust", dimana publik melihat calon incumbent sebagai sosok pemimpin yang dapat mensejahterakan masyarakat dengan asumsi pernah menahkodai daerah tersebut. Dibandingkan dengan penantang yang masih dalam ranah wacana, di sisi inilah pihak penantang terlihat lemah.Â
Incumbent dan sumber daya yang memadahi.Â
Pasangan incumbent tentunya memiliki akses lebih terhadap sumber daya (resource), baik sumber daya finansial, aparatur, politik bahkan fasilitas negara. Disamping itu juga Incumbent memegang peranan penting dalam mengelolah anggaran keuangan.
sebagai incumbent tentu diuntungkan dengan masa kampaye politik yang lebih panjang dari pasangan lainnya. Incumbent dalam hal ini bisa saja berkampaye politik dengan menggunakan fasilitas negara dengan dalih mensosialisasikan program kerja daerah.Â
Incumbent juga memiliki akses kepada para birokrat mulai dari Kelurahan sampai Pemda (Pemerintahan Daerah). Keberadaan birokrat dalam kancah politik regional tidak bisa disepelekan. Meskipun tidak secara langsung dan terbuka Birokrat/ASN (Aparatur Sipil Negara) ikut serta berpolitik praktis, cara ini masih menjadi mesin pendulang suara yang efektif.
Dengan berbagai keuntungan yang diperoleh incumbent sebagaimana diatas, Partai Politik dapat mengkonsolidasikan kekuatannya dengan optimal dan menggerakkan tim sukses serta relawan dengan masif dan sistematif. Sehingga sentimen-sentimen negatif yang menyerang pihak incumbent tidak menjadi opini publik (public opinion) yang dapat membahayakan posisi incumbent.
Pada dasarnya partai incumbent memiliki hasrat yang lebih tinggi dalam penegasan eksistensi dan hegemoni terhadap wilayah kekuasaannya. Militansi kader dan loyalitas simpatisan menjadi kunci penting bagi Partai Politik dalam menancapkan pengaruhnya.
Incumbent memang menjadi pihak yang selalu diunggulkan dalam setiap kontestasi elektoral baik tingkat regional maupun nasional. Oleh karenanya menjadi sebuah keharusan bagi setiap Partai Politik dalam menjaga lumbung suara di berbagai daerah.
Terlebih pada momentum Pilkada 2020 yang menjadi ajang kompetisi bagi setiap Partai Politik dalam meraih pengaruh dan dukungan masyarakat. Pilkada kali ini merupakan sebuah pemanasan awal bagi setiap Partai Politik sebelum dihelatnya Pemilu 2024.
Idealnya dari proses demokrasi dalam wujud Pilkada, baik incumbent ataupun non-incumbent berkompetisi pada ruang yang positif yang berdasar pada asas kekeluargaan
Semangat kekeluargaan ini merupakan cetakan dasar dan karakter ideal keindonesiaan. Ia bukan hanya dasar statis yang menyatukan, namun juga dasar dinamis yang menuntun ke arah mana bangsa ini harus berjalan (kata Yudi Latif).
Dengan demikian kita dapat lebih mencermati dinamika politik yang terjadi di tanah air, baik di tingkat regional maupun nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H