Mohon tunggu...
Farhan S. Afifi
Farhan S. Afifi Mohon Tunggu... Editor - Mahasiswa

Jadilah seseorang yang berbeda, karena yang berbeda itu istimewa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Memorandum Emir Faisal: Jalan Panjang Perjuangan Bangsa Arab

12 Juli 2020   19:23 Diperbarui: 12 Juli 2020   21:49 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konferensi Perdamaian yang dihelat di paris pada tahun 1919-1920 menjadi upaya dalam stablisasi kawasan yang terdampak akibat Perang Dunia l (1914-1918).

Pra Konferensi

Sekutu sebagai pihak yang memenangkan Perang harus menetukan keputusan dan pembagian hasil dari Perang Dunia I yang menyeret banyak kawasan dalam peperangan, tak terkecuali kawasan timur tengah yang menjadi medan peperangan dan ikut andil dalam kemenangan pasukan Sekutu melawan blok sentral (Turki Utsmani) 

Hasyimiyah merupakan dinasti yang menguasai kawasan Hijaz (sekarang menjadi bagian dari Arab Saudi) dan pada saat itu Syarif Hussein selaku pembesar Hasyimiyah dipercaya sebagai pemimpin Hijaz oleh Sublime Porte (Istanbul). 

Pada 1914 perang besar meletus dan menyeret banyak negara dalam konflik internasional, tak terkecuali Turki Utsmani yang kala itu sepakat beraliansi dengan Jerman dalam konflik besar ini.  

Konfrontasi militer yang dilancarkan Inggris dan Sekutunya mengarah tajam pada wilayah-wilayah Turki Utsmani, terutama Palestina dan Irak yang berdekatan langsung dengan wilayah protektorat Inggris. Seperti pertempuran yang terjadi di lembah Sinai (mesir) dan di wilayah Kut (Irak) sangat berdampak pada kondisi sosial bangsa Arab.

Kecerdikan Inggris dalam menangani kendala pertempuran di Jazirah Arab terlihat ketika mereka berhasil bernegosiasi dengan wangsa Hasyimiyah untuk ikut serta dalam perang melawan Turki Utsmani.

Dengan dibangunnya Aliansi antara Inggris dan wangsa Hasyimiyah sebagai penguasa Arab yang independen, membuat posisi Utsmani Terdesak dan harus menahan dua konfrontasi militer secara bersamaan.

Kontribusi yang diberikan wangsa Hasyimiyah sangat besar dalam mengunci kemenangan Sekutu di Jazirah Arab. Dengan konfrontasi yang dilancarkan Hasyimiyah terhadap wilayah-wilayah  vital dan memotong jalur distribusi pasukan dan senjata Utsmani. 

Setelah menyerahnya Utsmani dalam Perang Besar ini, tentu saja ada hak yang harus diperoleh bangsa Arab sebagai Bangsa yang merdeka dan berdiri diatas kaki sendiri, sebagimana perjanjian yang telah disepakati. 

Konferensi Perdamaian Paris 1920

Pada momentum konferensi paris inilah, Emir Faisal selaku Trah dari wangsa Hasyimiyah menjadi delegasi dan mengutarakan memorandum aspirasi bangsa Arab pasca perang besar ini di hadapan Dewan Perdamaian Paris. 

Memorandum yang di utarakan Emir Faisal ini merupakan upaya bangsa Arab dalam menghindari Imperialisme Barat pasca kemenangan pihak Sekutu. 

 Dalam memoarnya, Faisal menulis bahwa tujuan Gerakan Nasionalis Arab adalah menyatukan bangsa Arab menjadi sebuah negara.

Tuntutan akan kemerdekaan mutlak tanpa pemerintahan mandat negara Eropa terus digaungkan di seluruh penjuru negri, namun ambisi Inggris dan Perancis akan wilayah Suriah dan Irak menjadi penghalang kemerdekaan penuh bangsa Arab. 

Melihat kondisi tersebut, ia pun mengakui bahwa suatu daerah Arab dengan daerah Arab lainnya memiliki perbedaan ekonomi dan sosial dan tidak munking untuk menyatukan semuanya kedalam sebuah negara sekaligus. 

Oleh karenanya, Ia langsung menuntut kemerdekaan penuh saat itu juga untuk Suriah Raya (Lebanon, Suriah dan Transyordania). Dan sebelah barat yaitu Hijaz (Mekah, Madinah dan Thaif). Dan bersedia menerima intervensi asing di Palestina untuk tuntutan orang Yahudi, Arab dan Mesopotamia. Karena Inggris telah berminat terhadap ladang minyak yang ada di wilayah tersebut.

Inggris tidak dapat mengamini terbentuknya negara Suriah Raya (Suriah, Lebanon dan Transyordania) karena sekutu Perancisnya berambisi atas Suriah. 

Terbentuknya Komisi King-Crane

Sebagai jalan tengah, lahirlah Komisi penyeidikan guna menentukan nasib sebagai bangsa merdeka yang di inisiasi oleh Amerika Serikat. 

Inti dari komitmen Emir Faisal adalah untuk menyatukan semua daerah dibawah sebuah pemerintahan yang berdaulat. Visi sebuah negara Arab Bersatu inilah yang diinginkan oleh pihak Sekutu. Tujuan ini adalah untuk menjaga komitmen Inggris kepada wangsa Hasyimiyah dan menghalangi ambisi Perancis atas Suriah.

Komisi ini mengemban tugas dalam menghimpun aspirasi dan keinginan masyarakat. Yang nantinya akan dijadikan landasan berdirinya negara Suriah Raya dalam naungan wangsa Hasyimiyah (monarki konstitusional). 

Kehadiran komisi King-Crane di Suriah ini menggerakkan aktivitas nasionalis yang penuh semangat dan melibatkan masyarakat Suriah secara luas. 

Berbagai tuntutan terus digaungkan oleh masyarakat Suriah di seluruh penjuru negri, tuntutan kemerdekaan politik secara menyeluruh tanpa pembatasan,  perlindungan maupun perwalian. 

Menolak setiap pemisahan tanah milik banga Arab, menuntut batas-batas negara (pegunungan Taurus di utara, gunung Sinai di barat dan laut Tengah di timur) dan memeperjuangkan tanah Arab yang lain dalam ikatan persatuan dengan Suriah. 

Di samping itu juga menuntut adanya bantuan keuangan atau teknis kepada pemerintah Amerika Serikat dengan syarat tidak mengorbankan kemerdekaan politik bangsa Arab. 

Dan yang terpenting adalah penghapusan pasal 22 Liga Bangsa-Bangsa yang menetapkan perlunya perwalian atas bangsa yang menginginkan kemerdekaan serta menolak dengan keras klaim dan intervensi asing atas hak bangsa Arab. 

Dengan tuntasnya tuntutan-tuntutan diatas maka di diadakanlah Kongres Suriah, dengan hasil menuntut kemerdekaan politik sepenuhnya dalam batas-batas yang telah ditentukan. Monarki Konstitusional sebagai sistem pemerintahan dan Emir Faisal sebagai Raja.

Menolak prinsip mandat sebagaimana tertuang dalam ketentuan pasal 22 LBB, dengan alasan bahwa bahwa bangsa Arab sama cerdasnya dengan bangsa Yunani, Bulgaria dan Rumania yang mendapatkan kemerdekaan penuh dari Turki Utsmani. 

Pada akhir Juli 1919, Komisi King-Crane menyerahkan berkas laporan kepada delegasi Amerika Serikat di Paris. Meskipun Emir Faisal tidak mengetahui isi dari laporan tersebut. 

Namun bagi negara-negara Eropa laporan King-Crane adalah dokumen yang tidak menyenangkan. Laporan itu di serahkan kepada Dewan Konferensi Paris dan dibiarkan berdebu tanpa pembahasan. 

Pada akhirnya upaya ini harus pupus pada Juli 1920 yang menjadi awal dari kolonialisasi Perancis atas Suriah dan wilayah Arab lainnya yang menjadi incaran Sekutu serta rusaknya esensi dari penyelidikan Komisi King-Crane untuk menentukan nasib sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun