Mohon tunggu...
FARHAD BALJUN
FARHAD BALJUN Mohon Tunggu... Akuntan - Penikmat Sastra

Wong Alit soko Suroboyo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gentong Mardiyah

4 Februari 2016   12:28 Diperbarui: 4 Februari 2016   14:53 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hampir senja, ketika terlihat tiga orang laki-laki dan seorang perempuan memakai seragam salah satu lembaga keuangan tersohor di ibukota memasuki halaman rumah sederhana bercat hijau, tidak ada yang mencolok di halaman rumah yang lumayan luas itu, selain dua buah gentong air bertuliskan ‘air wudhu’ dan ‘air minum’ yang berdiri kokoh sejajar dengan pagar dekat pintu masuk halaman.

Pada teras dekat pintu masuk terdapat beberapa pot bunga berjajar rapi dengan ukuran berbeda dengan tanaman rumahan yang terlihat terawat yang menimbulkan kesan asri dan sejuk. Salah satu dari tamu yang berpenampilan parlente dengan rambut cepak dan terlihat paling muda diantara yang lainnya mengetuk pintu rumah itu dengan pandangan menyelidik ke samping kanan kiri rumah sambil sesekali mengintip dibalik kaca nako yang berjajar vertikal disamping pintu, “Assalamualaikum, bu hajjah Mardiyah.. ini kami dari bank Surya ada keperluan dengan ibu.”

Setelah beberapa ketukan tidak ada jawaban, sayup-sayup terdengar jawaban dari dalam rumah “Waalaikumsalam. Iya sebentar.” gagang pintu diputar dan pintu terbuka lebar, terlihat perempuan tua umur 65 tahunan dengan mukenah masih dikenakan tersenyum ramah kepada tamu-tamu tersebut, dia mempersilahkan masuk tamu-tamu itu dengan sikap khidmat dan penuh kehangatan.

“Silahkah bapak dan ibu, mohon maaf, saya tadi masih wudhu di kamar mandi, tidak dengar ada ketukan dipintu, maklum pendengaran dan gerakan saya berkurang menjelang 70 tahunan ini.. bapak dan ibu mau minum apa?” Terlihat raut muka tamu-tamu itu yang semula tegang dan penasaran berubah menjadi iba setelah tuan rumah itu menyambut mereka dengan hangat.

“Tidak perlu repot-repot bu, kami hanya ada keperluan sebentar dengan ibu, lagian ini sudah menjelang adzan maghrib, mohon maaf kami bertamu ke rumah Ibu menjelang maghrib, semoga kami tidak mengganggu aktifitas ibadah ibu” ujar tamu perempuan yang tampak anggun dengan syal ungu melingkar dilehernya. Perempuan tua itu hanya tersenyum ramah dan mengangguk lemah “baiklah kalau begitu, silahkan bapak dan ibu, apa yang hendak kalian utarakan??” dia duduk dipojok ruang tamu dekat dengan pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah rumah sederhana itu.

Laki-laki berbadan tambun dengan kulit sawo matang yang sedari tadi hanya diam dan terlihat sedikit kaku mulai membuka pembicaraan “Perkenalkan kami pegawai Bank Surya, Saya Bobi, disamping saya ini wakil saya Pak Atmadja, dan yang duduk disampingnya Pak Willy sedang itu sekretaris saya Bu Yuni. Begini Bu, sekitar 2 tahun lalu anak laki-laki ibu yang bernama Bustaman Lubis mengajukan pinjaman ke Bank Surya tempat kami bekerja, nilai pinjaman 100 juta dengan jaminan sertifikat rumah ini.

Alasan meminjam uang adalah untuk membuka usaha pengisian air minum isi ulang yang tempat dan perencanaan bisnisnya sudah kami pelajari dan kami setujui dengan baik, selain itu angsuran juga biaya-biayanya juga sudah kami sepakati bersama, tapi Bu, awalnya Pak Bustaman melakukan pembayaran angsuran sesuai kesepakatan dan tepat waktu pada 6 bulan pertama, selanjutnya angsuran tidak dibayar, kami sudah mencoba hubungi anak ibu melalui telepon tapi jawabannya selalu sama dan hanya janji-janji akan dibayar angsurannya. Sekali lagi mohon maaf bu hajjah Mardiyah, saya selaku kepala cabang Bank Surya cabang Kramat harus melakukan tindakan atas kredit macet ini, karena kami yang dicabang sudah beberapa kali terkena teguran dari pusat akibat masalah ini”

Perempuan tua yang semula mendengarkan kalimat demi kalimat itu dengan senyuman mendadak tertunduk lesu, dengan helaan nafas panjang mulai berujar “ Astaghfirullah.. Bustaman.. Bustaman.. Mana janjimu naakk akan membuat ibu tersenyum??” perempuan tua itu seakan bergumam dengan dirinya sendiri.

Lalu dengan pandangan nanar dan mengiba perempuan tua itu mulai mengangkat pandangannya kepada tamu yang hadir diruangan itu dan berucap “Lalu.. apa akibatnya Pak kalau sampai anak saya tidak menyelesaikan tunggakan-tunggakan itu?? Sebenarnya saya sebagai ibunya mengetahui hal ini, 2 tahun lalu Bustaman mengiba-iba kepada saya agar saya bersedia meminjamkan sertifikat rumah ini untuk melakukan pinjaman uang ke bank, dia ceritakan semuanya termasuk keinginannya untuk membuka usaha air minum isi ulang dan rencana-rencana selanjutnya yang memang terkesan muluk-muluk untuk ukuran perempuan tua seperti saya”.

Semua tamu mendengarkan penjelasan Bu Mardiyah dengan sungguh-sungguh, ada perasaan aneh menghinggapi, mereka prihatin dengan kehidupan perempuan udzur ini, perempuan yang sudah seharusnya menikmati masa tuanya dengan ketenangan tapi justru harus melewatinya dengan tingkah laku anak laki-laki harapannya.

“Mohon maaf ibu, apabila tunggakan-tunggakan itu belum bisa diselesaikan, maka dengan sangat terpaksa kami harus menyita rumah ibu sebagai ganti tunggakan-tunggakan itu, ini sudah keputusan final dari Bank Surya bu, kami telah berusaha menjelaskan ke Bank Surya pusat mengenai status ibu yang maaf.. status janda dan tidak bekerja. Tapi karena yang menjadi pertimbangan analisanya adalah data tunggakan-tunggakan itu, maka diputuskan rumah ibu ini kami sita!” ujar Pak Bobi dengan titik air mata terlihat menggenang di sudut mata sipitnya.

Sosok perempuan itu mengingatkan lelaki tambun itu pada sosok ibunya dikampung halamannya, Purworejo Jawa Tengah. “Ini Bu surat pernyataan yang harus Ibu tandatangani!” tukas lelaki berkaca mata tebal di samping Pak Bobi dengan nada sedikit memaksa.

“Tahan dulu Pak Atmadja, beri kesempatan Ibu Mardiyah untuk membacanya!”. Dengan tangan bergetar dia menerima lembaran ber kop surat Bank Surya itu dan mulai membacanya. Hanya gelengan kepala dan desahan nafas panjang yang bisa dilakukan perempuan itu setelah membaca 2 lembar surat pernyataan ditangannya, sorot mata tuanya tampak sayu tetapi memberi kesan ketegaran dan berwibawa.

“Kalau memang keadaannya sudah seperti ini, apalagi yang bisa saya lakukan Pak, saya pasrahkan ini semua kepada Allah SWT, Semoga Allah memudahkan urusan saya dan urusan Bapak dan Ibu sekalian” ujar perempuan tua itu sembari memegang bolpoint dan mulai menandatangani surat pernyataan itu. “Untuk selanjutnya urusan administrasi dan proses sita rumah ibu akan ditangani oleh Pak Willy.

Beliau akan kembali kesini lagi besok bersama staffnya. Dan kami juga mohon pamit dan mohon maaf atas ketidaknyamanan ini Bu” pungkas Pak Bobi menutup pertemuan sore itu. Rombongan tamu itu meninggalkan rumah Ibu Hajjah Mardiyah dengan berjalan kaki menyusuri lorong Gang Sutet yang sudah nampak sepi menjelang adzan maghrib, hanya terlihat tiga anak laki-laki yang salah satunya mengalungkan kain sarung ke leher dan pinggangnya berjalan berlawanan arah dengan rombongan kecil berbaju rapi itu.

Setelah kepergian petugas Bank, dia duduk termangu dan sesekali mulutnya komat-kamit berdzikir, tak terasa air mata meleleh di pipi keriputnya, bagian dagu mukenah yang dikenakan tampak basah oleh air mata. “Mudirman, anak kesayanganmu berulah lagi, Robbi beri hamba kekuatan dan kesabaran” desahnya dengan tatapan mata memelas.

Sayup-sayup sholawat tarhim sebelum adzan yang dibawakan merdu Mahmud Al Hossary qari Negara mesir itu terdengar, perempuan tua itu tersadar dari lamunannya dan cepat menghapus air matanya, dia bergegas mengenakan sandal jepit yang teronggok dibawah kakinya dan keluar dari halaman rumah menuju Mushollah Khairil ‘Ibad yang berjarak 50 meter dari rumahnya. Ada rasa berat menggunung di rongga dada perempuan tua itu, yang ingin segera di tumpah ruahkan dalam ruku’ dan sujudnya kali ini, rasa yang semakin memacu semangat langkah kakinya menuju rumah Allah yang tak jauh dari rumahnya.

Mardiyah, nama yang diberikan kedua orang tuanya untuk anak gadisnya yang periang dan bersahaja. Anak tunggal dari pasangan Haji Mukmin dan Hajjah Rodiyah Lubis yang tinggal di wilayah Kemayoran Barat, Jakarta. Haji Mukmin peranakan betawi asli yang tersohor sebagai tokoh agama dan pedagang kain di Pasar Senen, dan istrinya, Hajjah Rodiyah adalah seorang ibu rumah tangga biasa keturunan Batak Mandailing. Meskipun Mardiyah hidup di era kolonial yang serba ketat namun gadis belia tersebut di didik dalam nuansa keluarga agamis yang kuat dan ibunya mengajarkan tata cara hidup menjadi seorang muslimah yang taat dan berdedikasi tinggi.

Menjelang usianya ke 21 yang merupakan usia yang tidak muda lagi untuk perempuan zaman itu, Mardiyah dipersunting oleh sepupu jauh dari ibunya. Mudirman Lubis, Laki-laki ambisius dan baru menyelesaikan pendidikan agamanya di tanah kelahiran Nabi, Mekkah menikahinya dengan adat dan tata cara betawi yang sederhana. Pasangan muda ini memulai hidup bersama dengan menempati rumah sederhana peninggalan orang tua Mudirman di gang Sutet Jakarta Pusat.

Mudirman muda dengan semangat membaja, berbekal ilmu dan keuletannya berhasil memberi warna gang Sutet yang semula hanya gang biasa ditengah hiruk pikuknya ibukota menjadi gang yang selalu ramai dengan kegiatan agama dan sosial masyarakat yang ketika itu sangat sulit diwujudkan akibat kondisi politik negara yang baru merdeka dan berdaulat.

Dalam medan dakwah yang terjal ketika itu, ada sosok yang dikaguminya dalam hal kecerdasan dan kesantunan yang juga pernah mencicipi tinggal di gang sesak itu, yaitu Agus Salim, tokoh nasional multitalenta yang pernah dilahirkan oleh bangsa ini. Meskipun tidak lama berinteraksi, Mudirman muda belajar banyak hal mengenai perjuangan dan dedikasi. Menjelang akhir tahun 1950 an, sosok Agus Salim telah meninggalkan kampung itu untuk melanjutkan perjuangannya di ranah politik negeri ini.

Adapun Mudirman muda, memulai ranah dakwahnya di gang kecil yang ditinggalinya. “Mardiyah, aku melihat keadaan kampung ini sungguh memprihatinkan, baik orang tua maupun pemudanya, ketika adzan berkumandang tidak satupun dari mereka beranjak dari kegiatannya, yang berjualan tetap sibuk dengan jualan dan pembelinya, yang ibu-ibu malah asyik bercengkrama di teras-teras rumahnya membicarakan setiap orang yang lewat dilanjutkan dengan cekikikan tak karuan, dan yang lebih parah, dipos kamling sebelah rumah Pak Jarot itu malah pemuda-pemuda kampung ini serius memperhatikan dan menyoraki teman mereka yang sedang bermain domino, entah itu perjudian atau permainan biasa, tidak ada respon sama sekali terhadap panggilan Allah untuk sholat” Tukas Mudirman membuka pembicaraan kepada istrinya sore itu.

Perempuan muda itu dengan membawa nampan ditangannya berisi minuman dan penganan segera menjawab suaminya “Setahuku dari mpok Juleha yang tinggal di sebelah rumah kita ini, penduduk kampung kurang peduli lagi dengan kegiatan agama terutama sholat sejak kematian Haji Komaruddin yang tinggal bersebelahan dengan Mushollah itu, mereka telah kehilangan sosok panutan dan pembimbing yang mengarahkan mereka untuk menjalani ajaran agama islam yang dianut hampir seluruh penduduk kampung ini, mendiang Haji Komaruddin telaten mengajak mereka untuk sholat berjammaah di mushollah dan sering mengadakan pengajian umum dengan beliau sendiri yang jadi pembicaranya atau mengundang Kyai-kyai tersohor” ujarnya sambil meletakkan nampan di meja kecil samping suaminya. Sore itu mereka berbincang diteras rumah sederhana ditemani teh hangat dan ubi kukus yang masih berkepul asap ketika dihidangkan.

“Bukan hanya panutan, Haji Komar juga dermawan yang sering menolong warga kampung ini. Dan lagi, Mushollah tanpa nama itu sudah tidak terurus lagi sejak kematian Haji Komar, air untuk wudhu di mushollah itu tidak keluar lagi sejak rumah Haji Komar yang hampir roboh itu ditinggal penghuninya karena saluran air untuk wudhu itu berasal dari rumah Haji Komar. Sedangkan, anak perempuan semata wayangnya sudah hijrah keluar kota ikut suaminya” Pungkas perempuan itu menambahkan.

Mudiman menghela nafas dalam-dalam dan melanjutkan pembicaraan “Kalau memang hanya karena air wudhu, kenapa saluran air wudhu tidak dibuatkan saja dengan membuat sumur bor di sekitar mushollah?” ujarnya sambil mulai menyeruput teh hangat yang terhidang. “Mushollah itu dibangun sangat dekat dengan induk sutet listrik negara, berbahaya kalau ada galian dekat dengan sutet induk dan aturan itu sudah dimafhumi warga sini” timpal Mardiyah bernada menggurui seakan dia sudah mengetahui seluk beluk kampung itu. Sang suami tersenyum memandang istrinya yang terlihat bersemangat menjelaskan keadaan kampung sutet, padahal mereka belum 1 bulan menjadi penduduk kampung tersebut.

“Alhamdulillah Mardiyah, aku senang melihatmu bisa berbaur akrab dengan warga disini, apalagi kalau kita bisa memanfaatkan potensi yang ada di kampung ini dengan yang kita punya, aku dengan ilmu agama yang selama ini kupelajari, dan engkau dengan sikapmu yang luwes dan cepat bergaul, mudah-mudahan kita bisa berbuat banyak terhadap kampung ini” ujar Mudirman memuji istrinya. Ubi kukus yang sedari tadi berjajar di nampan mulai mereka nikmati, sepoi angin sore menerpa beberapa tanaman dihalaman rumah sederhana itu, beberapa helai daun terlihat rontok mengotori lantai abu-abu teras rumah bercorak betawi yang nampak segar karena rutinitas siram tanaman setiap sore oleh Mardiyah.

“Khoirukum Anfa’uhum Linnaas, Sebaik-baik kalian adalah yang bemanfaat bagi orang lain, begitu bunyi Hadits dari Nabi Muhammad SAW yang harus kita pegangi sebagai pedoman dalam hidup bermasyarakat” Mudirman berkata dengan nada tegas sambil pandangannya menerawang ke arah Mushollah tak bernama itu, entah kapan dan siapa yang membangun mushollah tersebut, begitu sederhana bangunannya tapi menyiratkan kesan berarti bagi warga kampung itu, tapi sayang, seperti tidak ada yang peduli lagi untuk memakmurkannya sejak Haji Komar tiada.

“Mudirman, engkau telah diberi karunia oleh Allah SWT bisa menuntut ilmu sampai ke negeri yang merupakan jantung umat Islam seluruh dunia, bekal ilmu yang kau bawa InsyaAllah sudah lebih dari cukup untuk berbuat baik terhadap kampung ini, jadikanlah mushollah tersebut sebagai oase baru bagi warga kampung ini dan sebagai ladang pahala bagi kita” ujar perempuan itu meyakinkan sambil menatap mata suaminya.

“Kamu bisa memulai dengan memperbaiki saluran air untuk wudhu. Kita bisa memanfaatkan Gentong Air pemberian dari Abah seminggu lalu, kualitas dan kuantitas air dirumah kita sangat bagus, bahkan yang kita konsumsi sehari-hari untuk air minum adalah air kran tanpa direbus terlebih dahulu. Gentong air tersebut kita manfaatkan untuk Air Wudhu dan Air Minum sekalian, bukankah sedekah air itu banyak keutamaannya suamiku??” tukas perempuan muda itu bersemangat. Laki-laki dihadapannya menatap dengan binar kekaguman, sambil berkata

“Engkau benar Mardiyah, kau telah membuka mataku yang selama ini hanya berkonsentrasi pada lingkup dakwah yang sudah mapan, bahkan untuk sholat berjammaah lima waktu, aku harus keluar kampung ini menuju masjid besar di seberang kampung kita ini, padahal medan dakwah yang utama ada didepan mata. Kalau begitu, besok aku akan menghubungi Pak Yasin untuk mulai mengerjakan saluran air dan gentong air untuk wudhu dan selanjutnya Mushollah itu akan aku makmurkan, InsyaAllah”.

Mardiyah terlihat tersipu-sipu malu atas pujian suaminya, dan dia menaruh harapan yang besar terhadap suaminya untuk menjadikan kampung itu kembali seperti dulu, seperti ketika mushollah itu dibangun, seperti ketika Haji Komaruddin memakmurkannya untuk kegiatan ibadah warga.

Hampir tiga hari pekerjaan mulia itu dikerjakan Pak Yasin dan dua anak buahnya. Untuk izin memperbaiki dan memakmurkannya sudah mendapat restu dari kepala kampung dan sebagian besar warga, karena memang Mudirman Lubis cukup disegani dan diharapkan bisa membawa perubahan di kampung jantung ibukota ini, dalam benak warga kampung, dahaga akan suasana religius sebentar lagi akan terwujud kembali. “Alhamdulillah Mardiyah, pekerjaan ini telah selesai, dan hal pertama yang akan aku lakukan adalah memberi nama mushollah ini” ucap Mudirman memulai pembicaraan dengan istrinya. Sungging senyum kepuasan terpoles dibibirnya “Akan aku umumkan nanti didepan warga, bahwa mushollah ini aku beri nama “Khairil ‘Ibad”, nama itu aku dapatkan setelah aku Sholat Istikharah dan meminta petunjuk kepada Allah SWT. Aku harapkan bahwa siapa saja yang sholat dan meramaikan kegiatan ibadah di mushollah ini akan mendapatkan predikat Hamba yang Baik disisi Allah SWT”

Perempuan itu masih bersimpuh di dalam mushollah, wajahnya terbenam didepan kedua tangannya yang menenggadah ke atas, bulir-bulir air matanya terlihat membasahi pipi, deras tapi sepertinya tanpa disadari berguguran membasahi mukenah yang dikenakannya. Beberapa jammaah masjid masih terlihat khusyuk dalam dzikir, mengadu kepada Tuhannya bertumpuk masalah dunia dalam masing-masing pikirannya. “Duhai Tuhanku, Rengkuhlah dalam RahmatMU anakku Bustaman, berilah PetunjukMU dalam setiap langkah kehidupannya, karena tidak ada petunjuk yang lebih lurus daripada PetunjukMU Ya Allah” ujar perempuan itu dengan suara bergetar dan lirih.

Setelah menyelesaikan doanya, dia beranjak keluar melalui pintu samping mushollah, pandangannya tertuju kepada tulisan arab diatas pintu utama mushollah yang menghadap ke kampung, Mushollah Wakaf Khairil ‘Ibad, dia tertegun sejenak, tiga puluh tahun lalu tulisan itu ditorehkan diatas pintu utama mushollah oleh mendiang suaminya. Betapa dia masih mengingat senyum puas suaminya ketika itu, mulai saat itu perjuangan demi perjuangan di medan dakwah lokal itu diarungi bersama suaminya. Tak terasa, sudah 15 tahun suami tercintanya meninggal dunia akibat kanker perut yang diderita, meninggalkan 3 anak, 2 perempuan, Atikah dan Aisyah Lubis yang saat ini keduanya hidup mandiri bersama suami dan anak-anaknya di luar Jawa. Dan Bustaman, anak laki-laki kebanggaan mendiang suaminya yang saat ini hidupnya amburadul sejak kematian bapaknya. Tapi, dia anak laki-laki yang sangat menghormati Ibunya.

Dengan mukenah masih dikenakan dan diangkat ujung bawahnya sampai ke betis, perempuan itu mulai melangkahkan kakinya meninggalkan mushollah. Dia menyusuri jalan kampung dengan langkah sedikit gontai. Saat melewati halaman rumahnya, pandangannya tertuju pada dua gentong air yang masih berdiri kokoh ditempatnya meskipun tiga puluh tahun telah berlalu, gentong tanah liat itu sudah melayani kebutuhan air wudhu dan air minum tanpa pernah lelah. Dulu, air didalamnya harus diisi dengan menimba air dari sumur buatan di belakang rumah itu, tapi saat ini sudah menggunakan sistem perpipaan otomatis atas swadaya warga kampung Sutet.

“Maafkan aku Ibuuu….” Tampak laki-laki berumur 30 tahunan menghambur berlari dihalaman, langsung menubruk dan memeluk erat perempuan tua yang baru memasuki halaman rumah asri itu. Isak tangisnya masih terdengar saat dia berkata “Ibu, aku sudah menyaksikan semuanya, bahkan ketika rombongan dari Bank Surya itu menginterogasi Ibu atas masalah yang ku perbuat, maafkan aku Ibu, apakah Ibu masih sudi memaafkan anak Ibu yang durhaka ini?” sambil tangan ibunya diraih dan dicium lembut. “Bustaman, selaksa maaf sudah Ibu berikan kepadamu atas semua ulahmu selama ini, dan Ibu masih memiliki selaksa maaf lagi yang siap kuberikan kepadamu dengan syarat kau mau berubah anakku!” ujar perempuan itu sambil meraih kepala anaknya yang tertunduk malu didepan Ibunya.

Pemuda yang memiliki tinggi badan sedang, dengan rambut ikal yang sepertinya kurang terawat dan sorot matanya teduh mewarisi tampang almarhum bapaknya itu mengangkat kepalanya dan masih memegang tangan ibunya berujar “Benar apa yang selalu dikatakan almarhum Abah, bahwa Ibu adalah bidadari surga yang diciptakan untuk Abah dan anak-anaknya, Bustaman bangga dengan Ibu.

Aku sudah menghubungi bang Johan sepupu Abah yang tinggal di Medan Bu, beliau bersedia meminjami uang untuk menyelesaikan tunggakan-tunggakan bank yang harus dibayar besok dan Bustaman siap untuk memulai usaha air minum itu, aku harus berubah Bu, doa Ibu yang kuharapkan selalu”. Perempuan itu memeluk erat anak laki-lakinya, tersungging senyum diwajahnya sambil mengecup kening anaknya dia berkata “Lakukan naakk, Ibu selalu percaya padamu dan semoga kali ini engkau sungguh-sungguh mau berubah, doa Ibu selalu menyertaimu”

Tiga bulan setelah peristiwa itu, iring-iringan pelayat terlihat menggotong jenazah keluar dari halaman rumah sederhana itu menuju mushollah Khairil Ibad untuk disholatkan, Bustaman tertunduk lesu dengan setelan piyama hitam dan air mata masih mengalir deras di kedua matanya. Sore itu jenazah diantar ke pemakaman umum tidak jauh dari kampung Sutet dengan iring-iringan pelayat yang jumlahnya mencapai ratusan orang.

Sore itu, mpok Juleha yang sedari tadi duduk didekat meja oval didepan salah satu kamar rumah Bustaman memperhatikan secarik kertas putih yang terlipat, tergeletak begitu saja dekat vas bunga dan memungutnya, lalu mulai membacanya “Ketika saat itu tiba, luruh segala harapan, sirna segala penderitaan, seulas senyum tersungging dibibirnya, senyum manis.. yang selamanya aku rindukan. Terbujur tubuhnya yang bersahaja, selamat jalan perempuan perkasa, selamat jalan pelipur laraku, selamat jalan Ibuku, Semoga kelak kita akan bersua di Mahligai KerajaanNYA Yang Maha Bijaksana.”

Mpok Juleha melipat kembali kertas itu, mengembalikannya ke tempat semula. Tak terasa air mata meleleh dipipi keriputnya, sambil bergumam “Selamat jalan Mardiyah, elu orangnye baek banget. Semoga Rahmat dan Ampunan Allah SWT menyertai perjalanan akhir elu.” 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun