Mohon tunggu...
FARHAD BALJUN
FARHAD BALJUN Mohon Tunggu... Akuntan - Penikmat Sastra

Wong Alit soko Suroboyo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gentong Mardiyah

4 Februari 2016   12:28 Diperbarui: 4 Februari 2016   14:53 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sosok perempuan itu mengingatkan lelaki tambun itu pada sosok ibunya dikampung halamannya, Purworejo Jawa Tengah. “Ini Bu surat pernyataan yang harus Ibu tandatangani!” tukas lelaki berkaca mata tebal di samping Pak Bobi dengan nada sedikit memaksa.

“Tahan dulu Pak Atmadja, beri kesempatan Ibu Mardiyah untuk membacanya!”. Dengan tangan bergetar dia menerima lembaran ber kop surat Bank Surya itu dan mulai membacanya. Hanya gelengan kepala dan desahan nafas panjang yang bisa dilakukan perempuan itu setelah membaca 2 lembar surat pernyataan ditangannya, sorot mata tuanya tampak sayu tetapi memberi kesan ketegaran dan berwibawa.

“Kalau memang keadaannya sudah seperti ini, apalagi yang bisa saya lakukan Pak, saya pasrahkan ini semua kepada Allah SWT, Semoga Allah memudahkan urusan saya dan urusan Bapak dan Ibu sekalian” ujar perempuan tua itu sembari memegang bolpoint dan mulai menandatangani surat pernyataan itu. “Untuk selanjutnya urusan administrasi dan proses sita rumah ibu akan ditangani oleh Pak Willy.

Beliau akan kembali kesini lagi besok bersama staffnya. Dan kami juga mohon pamit dan mohon maaf atas ketidaknyamanan ini Bu” pungkas Pak Bobi menutup pertemuan sore itu. Rombongan tamu itu meninggalkan rumah Ibu Hajjah Mardiyah dengan berjalan kaki menyusuri lorong Gang Sutet yang sudah nampak sepi menjelang adzan maghrib, hanya terlihat tiga anak laki-laki yang salah satunya mengalungkan kain sarung ke leher dan pinggangnya berjalan berlawanan arah dengan rombongan kecil berbaju rapi itu.

Setelah kepergian petugas Bank, dia duduk termangu dan sesekali mulutnya komat-kamit berdzikir, tak terasa air mata meleleh di pipi keriputnya, bagian dagu mukenah yang dikenakan tampak basah oleh air mata. “Mudirman, anak kesayanganmu berulah lagi, Robbi beri hamba kekuatan dan kesabaran” desahnya dengan tatapan mata memelas.

Sayup-sayup sholawat tarhim sebelum adzan yang dibawakan merdu Mahmud Al Hossary qari Negara mesir itu terdengar, perempuan tua itu tersadar dari lamunannya dan cepat menghapus air matanya, dia bergegas mengenakan sandal jepit yang teronggok dibawah kakinya dan keluar dari halaman rumah menuju Mushollah Khairil ‘Ibad yang berjarak 50 meter dari rumahnya. Ada rasa berat menggunung di rongga dada perempuan tua itu, yang ingin segera di tumpah ruahkan dalam ruku’ dan sujudnya kali ini, rasa yang semakin memacu semangat langkah kakinya menuju rumah Allah yang tak jauh dari rumahnya.

Mardiyah, nama yang diberikan kedua orang tuanya untuk anak gadisnya yang periang dan bersahaja. Anak tunggal dari pasangan Haji Mukmin dan Hajjah Rodiyah Lubis yang tinggal di wilayah Kemayoran Barat, Jakarta. Haji Mukmin peranakan betawi asli yang tersohor sebagai tokoh agama dan pedagang kain di Pasar Senen, dan istrinya, Hajjah Rodiyah adalah seorang ibu rumah tangga biasa keturunan Batak Mandailing. Meskipun Mardiyah hidup di era kolonial yang serba ketat namun gadis belia tersebut di didik dalam nuansa keluarga agamis yang kuat dan ibunya mengajarkan tata cara hidup menjadi seorang muslimah yang taat dan berdedikasi tinggi.

Menjelang usianya ke 21 yang merupakan usia yang tidak muda lagi untuk perempuan zaman itu, Mardiyah dipersunting oleh sepupu jauh dari ibunya. Mudirman Lubis, Laki-laki ambisius dan baru menyelesaikan pendidikan agamanya di tanah kelahiran Nabi, Mekkah menikahinya dengan adat dan tata cara betawi yang sederhana. Pasangan muda ini memulai hidup bersama dengan menempati rumah sederhana peninggalan orang tua Mudirman di gang Sutet Jakarta Pusat.

Mudirman muda dengan semangat membaja, berbekal ilmu dan keuletannya berhasil memberi warna gang Sutet yang semula hanya gang biasa ditengah hiruk pikuknya ibukota menjadi gang yang selalu ramai dengan kegiatan agama dan sosial masyarakat yang ketika itu sangat sulit diwujudkan akibat kondisi politik negara yang baru merdeka dan berdaulat.

Dalam medan dakwah yang terjal ketika itu, ada sosok yang dikaguminya dalam hal kecerdasan dan kesantunan yang juga pernah mencicipi tinggal di gang sesak itu, yaitu Agus Salim, tokoh nasional multitalenta yang pernah dilahirkan oleh bangsa ini. Meskipun tidak lama berinteraksi, Mudirman muda belajar banyak hal mengenai perjuangan dan dedikasi. Menjelang akhir tahun 1950 an, sosok Agus Salim telah meninggalkan kampung itu untuk melanjutkan perjuangannya di ranah politik negeri ini.

Adapun Mudirman muda, memulai ranah dakwahnya di gang kecil yang ditinggalinya. “Mardiyah, aku melihat keadaan kampung ini sungguh memprihatinkan, baik orang tua maupun pemudanya, ketika adzan berkumandang tidak satupun dari mereka beranjak dari kegiatannya, yang berjualan tetap sibuk dengan jualan dan pembelinya, yang ibu-ibu malah asyik bercengkrama di teras-teras rumahnya membicarakan setiap orang yang lewat dilanjutkan dengan cekikikan tak karuan, dan yang lebih parah, dipos kamling sebelah rumah Pak Jarot itu malah pemuda-pemuda kampung ini serius memperhatikan dan menyoraki teman mereka yang sedang bermain domino, entah itu perjudian atau permainan biasa, tidak ada respon sama sekali terhadap panggilan Allah untuk sholat” Tukas Mudirman membuka pembicaraan kepada istrinya sore itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun