Mohon tunggu...
FARHAD BALJUN
FARHAD BALJUN Mohon Tunggu... Akuntan - Penikmat Sastra

Wong Alit soko Suroboyo

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gentong Mardiyah

4 Februari 2016   12:28 Diperbarui: 4 Februari 2016   14:53 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setelah menyelesaikan doanya, dia beranjak keluar melalui pintu samping mushollah, pandangannya tertuju kepada tulisan arab diatas pintu utama mushollah yang menghadap ke kampung, Mushollah Wakaf Khairil ‘Ibad, dia tertegun sejenak, tiga puluh tahun lalu tulisan itu ditorehkan diatas pintu utama mushollah oleh mendiang suaminya. Betapa dia masih mengingat senyum puas suaminya ketika itu, mulai saat itu perjuangan demi perjuangan di medan dakwah lokal itu diarungi bersama suaminya. Tak terasa, sudah 15 tahun suami tercintanya meninggal dunia akibat kanker perut yang diderita, meninggalkan 3 anak, 2 perempuan, Atikah dan Aisyah Lubis yang saat ini keduanya hidup mandiri bersama suami dan anak-anaknya di luar Jawa. Dan Bustaman, anak laki-laki kebanggaan mendiang suaminya yang saat ini hidupnya amburadul sejak kematian bapaknya. Tapi, dia anak laki-laki yang sangat menghormati Ibunya.

Dengan mukenah masih dikenakan dan diangkat ujung bawahnya sampai ke betis, perempuan itu mulai melangkahkan kakinya meninggalkan mushollah. Dia menyusuri jalan kampung dengan langkah sedikit gontai. Saat melewati halaman rumahnya, pandangannya tertuju pada dua gentong air yang masih berdiri kokoh ditempatnya meskipun tiga puluh tahun telah berlalu, gentong tanah liat itu sudah melayani kebutuhan air wudhu dan air minum tanpa pernah lelah. Dulu, air didalamnya harus diisi dengan menimba air dari sumur buatan di belakang rumah itu, tapi saat ini sudah menggunakan sistem perpipaan otomatis atas swadaya warga kampung Sutet.

“Maafkan aku Ibuuu….” Tampak laki-laki berumur 30 tahunan menghambur berlari dihalaman, langsung menubruk dan memeluk erat perempuan tua yang baru memasuki halaman rumah asri itu. Isak tangisnya masih terdengar saat dia berkata “Ibu, aku sudah menyaksikan semuanya, bahkan ketika rombongan dari Bank Surya itu menginterogasi Ibu atas masalah yang ku perbuat, maafkan aku Ibu, apakah Ibu masih sudi memaafkan anak Ibu yang durhaka ini?” sambil tangan ibunya diraih dan dicium lembut. “Bustaman, selaksa maaf sudah Ibu berikan kepadamu atas semua ulahmu selama ini, dan Ibu masih memiliki selaksa maaf lagi yang siap kuberikan kepadamu dengan syarat kau mau berubah anakku!” ujar perempuan itu sambil meraih kepala anaknya yang tertunduk malu didepan Ibunya.

Pemuda yang memiliki tinggi badan sedang, dengan rambut ikal yang sepertinya kurang terawat dan sorot matanya teduh mewarisi tampang almarhum bapaknya itu mengangkat kepalanya dan masih memegang tangan ibunya berujar “Benar apa yang selalu dikatakan almarhum Abah, bahwa Ibu adalah bidadari surga yang diciptakan untuk Abah dan anak-anaknya, Bustaman bangga dengan Ibu.

Aku sudah menghubungi bang Johan sepupu Abah yang tinggal di Medan Bu, beliau bersedia meminjami uang untuk menyelesaikan tunggakan-tunggakan bank yang harus dibayar besok dan Bustaman siap untuk memulai usaha air minum itu, aku harus berubah Bu, doa Ibu yang kuharapkan selalu”. Perempuan itu memeluk erat anak laki-lakinya, tersungging senyum diwajahnya sambil mengecup kening anaknya dia berkata “Lakukan naakk, Ibu selalu percaya padamu dan semoga kali ini engkau sungguh-sungguh mau berubah, doa Ibu selalu menyertaimu”

Tiga bulan setelah peristiwa itu, iring-iringan pelayat terlihat menggotong jenazah keluar dari halaman rumah sederhana itu menuju mushollah Khairil Ibad untuk disholatkan, Bustaman tertunduk lesu dengan setelan piyama hitam dan air mata masih mengalir deras di kedua matanya. Sore itu jenazah diantar ke pemakaman umum tidak jauh dari kampung Sutet dengan iring-iringan pelayat yang jumlahnya mencapai ratusan orang.

Sore itu, mpok Juleha yang sedari tadi duduk didekat meja oval didepan salah satu kamar rumah Bustaman memperhatikan secarik kertas putih yang terlipat, tergeletak begitu saja dekat vas bunga dan memungutnya, lalu mulai membacanya “Ketika saat itu tiba, luruh segala harapan, sirna segala penderitaan, seulas senyum tersungging dibibirnya, senyum manis.. yang selamanya aku rindukan. Terbujur tubuhnya yang bersahaja, selamat jalan perempuan perkasa, selamat jalan pelipur laraku, selamat jalan Ibuku, Semoga kelak kita akan bersua di Mahligai KerajaanNYA Yang Maha Bijaksana.”

Mpok Juleha melipat kembali kertas itu, mengembalikannya ke tempat semula. Tak terasa air mata meleleh dipipi keriputnya, sambil bergumam “Selamat jalan Mardiyah, elu orangnye baek banget. Semoga Rahmat dan Ampunan Allah SWT menyertai perjalanan akhir elu.” 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun