Mohon tunggu...
Farent B. Sagala
Farent B. Sagala Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Asisten Rumah Tangga

Manusia yang belajar di jurusan PKn. Saya orangnya sok edgy, sok lucu, hanya soklin pemutih.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Sebuah Perjalanan dalam Mengikuti Politik

14 Juni 2020   07:00 Diperbarui: 14 Juni 2020   07:13 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Politik sudah ramah di telinga saya sejak saya SD. Pada 2008, saya ingat Pilkada Jabar dilaksanakan dengan diikuti 3 pasangan. Da'i, Aman, dan Hade. Jujur saya hanya mengingat nama Agum Gumelar, Ahmad Heriawan, dan Dede Yusuf. Pasangan yang saya dukung --karena mengikuti keluarga-- Agum Gumelar kalah oleh pasangan Hade pada saat itu.

Setelah itu ada Pemilihan Presiden 2009. Terdapat 3 kandidat pada saat itu, SBY-Budiono dengan slogan Lanjutkan! Saya bahkan memiliki kalendernya pada saat itu walaupun tau keluarga saya tidak akan memilih pasangan ini. 

Lalu ada pasangan Mega-Prabowo dengan akronim --yang kelak menjadi nama motor,--Megrapro. Saya --dan juga keluarga-- mendukung pasangan ini. Saya tertarik dengan pasangan ini karena karisma yang dibawa oleh Prabowo dan partai yang didirikannya, Gerindra.  

Terakhir, pasangan JK-Wiranto. Saya ingat kampanye yang paling terkenal dari pasangan ini adalah sepatu Cibaduyut yang selalu dibanggakan JK, sampai-sampai ada toko bernama JK Collection. Saya sangat dekat dengan kampanye itu karena menyaksikan sendiri keramaian yang terjadi karena kedatangan JK sewaktu saya pulang sekolah. Namun lagi-lagi pasangan yang saya dukung kalah.

Namun 2 pemilu berikut hanya diikuti secara sekilas. 2012 adalah awal saya untuk secara intens mengikuti perkembangan politik. Saya sudah memasuki SMP di tahun ini. Tidak hanya menerima suapan dari TV, kali ini saya sudah mulai aktif untuk mencari informasi dengan bantuan internet.

Saya dibawa oleh Pilkada DKI Jakarta yang pada saat itu sangat menarik. Para kontestan memiliki cara mereka masing-masing. Fauzi Bowo pada saat itu mengerahkan artis untuk membagikan selembaran di lampu merah. Saya ingat Saipul Jamil menjadi bagian dari kampanye itu. 

Lalu ada Alex Noerdin yang pada saat itu seingat saya masih menjadi Gubernur Sumatera Selatan, membagikan selembaran lewat sebuah helikopter. Cara ini adalah yang paling saya tidak suka. Selain membuang dana untuk helikopter, mereka juga justru buah sampah sembarangan. Setidaknya itu yang saya pikirkan pada saat itu. 

Masih banyak lagi namun kampanye Joko Widodo yang hari ini menjadi Presiden adalah yang paling menarik pada saat itu. Baju kotak-kotaknya dibantu oleh video Cameo Project dan juga wawancara Najwa Shihab di studio kecilnya pada saat itu membuat saya mantap mendukung pasangan ini. Kali ini, jagoan saya menang.

Lalu saya mendapatkan beberapa kemajuan setelahnya. 2013, pada saat Pilkada Jabar saya mempromosikan pasangan Rieke-Teten di depan kelas saya walaupun kita tau itu tidak ada artinya. 2014 saya sudah bisa untuk menentukan pilihan saya sendiri tanpa mengikuti keluarga. Saya mendukung Prabowo saat seisi rumah saya memilih Jokowi. Pada saat itu saya sangat benci tontonan Ayah saya karena isinya bertentangan dengan pilihan saya. Lucu sekali mengingat masa-masa itu.

Sayangnya masa-masa itu dilewati dengan sedikit atau mungkin tidak adanya kawan yang bisa diajak untuk berbicara politik. Hal itu berlanjut saat saya masuk SMA. Saya merasa aneh sendiri. Saat itu saya berharap orang-orang untuk melek politik.

Harapan saya sedikit demi sedikit mulai tercipta pada tahun 2017. Sayangnya itu karena Pilkada DKI. Pilkada yang sama sekali berbeda dengan 5 tahun sebelumnya. Pilkada yang terjadi setelah populisme populer. Banyak orang yang menjadi melek politik. Politik sudah masuk dalam obrolan-obrolan kami. Walaupun dengan dibawa oleh emosi.

Saya pikir Pilkada DKI adalah yang terburuk. Ternyata saya salah. 2 tahun berselang petaka itu muncul. Pilpres 2019. Pilpres ini lebih buruk daripada Pilkada DKI. 

Pilkada DKI kita masih bisa berdebat soal gagasan sepeti DP 0%, OK Oce, ataupun Kartu Jakarta Pintar, dan lain-lain di samping masalah penistaan agama. Pilpres 2019 hampir tidak ada gagasan yang muncul. Satu-satunya gagasan yang saya ingat hanya kartu sakti miliki Jokowi. Sisanya? 'Kerusuhan'.

Saya tidak habis pikir bahwa agama masih bisa digoreng di Pilpres ini. Ternyata calon yang memiliki demografi hampir sama pun tidak terlalu berpengaruh besar. Sekalipun ulama mendampinginya. Hampir tidak ada artinya. 

Diskursus politik tidak maju ke mana-mana. Hanya berkutat pada kafir, PKI, diskursus paling mending hanyalah terkait hutang negara. Hanya itu. 

Kondisi ini diperburuk dengan tayangan televisi yang sering diisi sekali diisi akrobat politik dengan pembicara favoritnya yang sering sekali menyebut dungu. Lebih parahnya lagi, kondisi ini berjalan selama 2 tahun penuh pasca Pilkada DKI.

Ternyata harapan saya tidak seindah yang dibayangkan. Kejadian ini memberi tahu saya bahwa semakin kecil market suatu produk, semakin eksklusif. Sebaliknya semakin besar suatu market semakin besar kemungkinan bahwa kesucian produk ini akan rusak. 

Hal ini diperkuat dengan jagoan saya, Liverpool, yang berhasil menjuarai Liga Champions 2019. Beberapa 'Dedengo' sebutan untuk pendukung baru Liverpool membuat citra pendukung Liverpool memburuk. Setidaknya itu yang saya percayai. Mereka tidak memahami bahwa fans Liverpool bukanlah Glory Hunter. Tidak seperti klub-klub lain. 

Saya mendapati bahwa semakin lama seseorang mengonsumsi suatu produk semakin dewasa dia dalam menanganinya. Sama pula pada politik, nampaknya orang-orang yang baru memahami politik adalah orang-orang yang sering merecoki internet dengan minimnya diskursus yang dimilikinya. Mereka sama seperti Patrik saat baru memiliki hidung. Merasa paling mengerti daripada siapapun bahkan yang terlebih dulu memiliki hidung. Andai saja tidak pernah berharap itu sebelumnya.

Namun hanya butuh Orang Tua yang sudah melek internet untuk mengubah persepsi saya. Satu tahun berselang. Persepsi saya terkait semakin lama semakin lama seseorang mengonsumsi suatu produk semakin dewasa dia dalam menanganinya, menjadi salah. Orang tua saya sudah mengonsumsi politik jauh sebelum saya lahir. Namun baru-baru ini Orang tua saya beberapa kali menyebutkan kata-kata yang paling saya hindari, di depan saya. 

Sejujurnya saya hanya ingat saat Orang tua saya menyebutkan salah satu tokoh tertentu yang masih dalam masa produktif seorang PKI. Ada beberapa sebenarnya, namun entah mengapa saya lupa. Mungkin karena tidak siap untuk itu. 

Saat Orang tua saya menyebutkan hal-hal tersebut saya akan bertanya sumber dari tulisan itu. Orang tua saya tidak pernah menyebutkan secara spesifik namun saya tau bahwa sudah pasti itu adalah tulisan-tulisan di Facebook. Setelah saya cek sendiri, ternyata benar.

Selain itu harapan saya supaya politik kembali untuk dikonsumsi oleh segelintir orang juga menjadi suatu hal yang salah. Sangat bertentangan dengan yang dulu pernah saya percayai bahwa semua orang harus melek politik karena itu berkaitan dengan kehidupan mereka.

Setelah berselancar cukup lama di internet saya menemui tempat saya dalam politik. Pangeran Siahaan memberikan saya pengalaman yang tidak pernah saya temui sebelumnya. Saat Fahri Hamzah dan Budiman Sudjatmiko memberikan diskusi yang sangat bergizi. Tanpa teriakan, tanpa tunjuk-tunjuk, tanpa saling menyela. Hanya ada diskursus. Sebuah pengalaman aneh menyadari bahwa Fahri Hamzah begitu pintar.

Setelah itu saya sadar bahwa kunci untuk mengikuti politik adalah mengontrol emosi dan perasaan. Sebuah analogi menyebutkan bahwa pikiran dan perasaan seperti Manusia yang sedang menunggangi gajah. Saat kita tidak bisa mengendalikan gajah ini maka kita akan terbawa kemana pun gajah ini pergi namun sebaliknya saat kita bisa mengonrol gajahnya maka gajah ini yang membantu kita untuk pergi kemanapun kita mau.

Saat mengikuti politik pikiran kita harus benar-benar jernih supaya dapat melihat suatu kondisi apa adanya. Jangan fanatis, pada siapapun dan apapun. Seperti kata Gandhi, orang-orang tidak mengikutinya, namun prinsipnya. Maka itu lah yang harus kita lakukan. Mengikuti sebuah prinsip, bukan objek. Bukan orang, bukan identitas, namun prinsip.

Akhirnya saya mengerti bahwa ini adalah proses yang sedang terjadi di masyarakat Indonesia dan juga saya. Mungkin butuh waktu yang lama. Namun nantinya akan sampai juga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun