Saya pikir Pilkada DKI adalah yang terburuk. Ternyata saya salah. 2 tahun berselang petaka itu muncul. Pilpres 2019. Pilpres ini lebih buruk daripada Pilkada DKI.Â
Pilkada DKI kita masih bisa berdebat soal gagasan sepeti DP 0%, OK Oce, ataupun Kartu Jakarta Pintar, dan lain-lain di samping masalah penistaan agama. Pilpres 2019 hampir tidak ada gagasan yang muncul. Satu-satunya gagasan yang saya ingat hanya kartu sakti miliki Jokowi. Sisanya? 'Kerusuhan'.
Saya tidak habis pikir bahwa agama masih bisa digoreng di Pilpres ini. Ternyata calon yang memiliki demografi hampir sama pun tidak terlalu berpengaruh besar. Sekalipun ulama mendampinginya. Hampir tidak ada artinya.Â
Diskursus politik tidak maju ke mana-mana. Hanya berkutat pada kafir, PKI, diskursus paling mending hanyalah terkait hutang negara. Hanya itu.Â
Kondisi ini diperburuk dengan tayangan televisi yang sering diisi sekali diisi akrobat politik dengan pembicara favoritnya yang sering sekali menyebut dungu. Lebih parahnya lagi, kondisi ini berjalan selama 2 tahun penuh pasca Pilkada DKI.
Ternyata harapan saya tidak seindah yang dibayangkan. Kejadian ini memberi tahu saya bahwa semakin kecil market suatu produk, semakin eksklusif. Sebaliknya semakin besar suatu market semakin besar kemungkinan bahwa kesucian produk ini akan rusak.Â
Hal ini diperkuat dengan jagoan saya, Liverpool, yang berhasil menjuarai Liga Champions 2019. Beberapa 'Dedengo' sebutan untuk pendukung baru Liverpool membuat citra pendukung Liverpool memburuk. Setidaknya itu yang saya percayai. Mereka tidak memahami bahwa fans Liverpool bukanlah Glory Hunter. Tidak seperti klub-klub lain.Â
Saya mendapati bahwa semakin lama seseorang mengonsumsi suatu produk semakin dewasa dia dalam menanganinya. Sama pula pada politik, nampaknya orang-orang yang baru memahami politik adalah orang-orang yang sering merecoki internet dengan minimnya diskursus yang dimilikinya. Mereka sama seperti Patrik saat baru memiliki hidung. Merasa paling mengerti daripada siapapun bahkan yang terlebih dulu memiliki hidung. Andai saja tidak pernah berharap itu sebelumnya.
Namun hanya butuh Orang Tua yang sudah melek internet untuk mengubah persepsi saya. Satu tahun berselang. Persepsi saya terkait semakin lama semakin lama seseorang mengonsumsi suatu produk semakin dewasa dia dalam menanganinya, menjadi salah. Orang tua saya sudah mengonsumsi politik jauh sebelum saya lahir. Namun baru-baru ini Orang tua saya beberapa kali menyebutkan kata-kata yang paling saya hindari, di depan saya.Â
Sejujurnya saya hanya ingat saat Orang tua saya menyebutkan salah satu tokoh tertentu yang masih dalam masa produktif seorang PKI. Ada beberapa sebenarnya, namun entah mengapa saya lupa. Mungkin karena tidak siap untuk itu.Â
Saat Orang tua saya menyebutkan hal-hal tersebut saya akan bertanya sumber dari tulisan itu. Orang tua saya tidak pernah menyebutkan secara spesifik namun saya tau bahwa sudah pasti itu adalah tulisan-tulisan di Facebook. Setelah saya cek sendiri, ternyata benar.