Mohon tunggu...
Fareh Hariyanto
Fareh Hariyanto Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Klasik

Sedang menempa kanuragan di Jurusan Ahwalusasyhiah IAI Ibrahimy Genteng Bumi Blambangan Banyuwangi

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Analisis Sosial Perbuatan Amoral

30 April 2020   18:44 Diperbarui: 30 April 2020   18:39 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto. Ilustrasi. (Antaranews.com)

Beberapa hari terakhir selain pemberitaan seputar Coronavirus Disease (Covid-19) di Banyuwangi, upaya kepolisian mengungkap kasus amoral juga menjadi atensi. Masih lekat diingatan kita tentunya, akhir Mei tahun lalu. Dimana aksi amoral oknum YouTuber di Banyuwangi, berinisial MR (23) disebarkan temannya dan menjadi konsumsi publik.

Seakan tidak belajar dari kesalahan itu, ia justru kembali melakukan hal yang serupa. Bahkan yang jadi ironi, video tersebut disebarkan oleh tersangka. MR (23) menyebarkan video amoral dengan pacarnya yang masih di bawah umur. Hingga pada akhir maret lalu pelaku ditetapkan sebagai tersangka dan terancam dengan pasal berlapis. (Radar Banyuwangi. Edisi Kamis 26 Maret 2020)

Landasan hukum yang digunakan ialah pasal 45 Jo Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan, atas Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, atau Pasal 29 Jo Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang pornografi.

Selain itu tersangka juga bisa dijerat pasal 81 ayat (1) atau ayat (2) Undang-undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak.

Nahasnya, alasan pelaku menyebar video saat diintrogasi polisi agar dirinya lebih tenar sebagai YouTuber. Namun sayang, upaya tersebut justru membuat ia kembali berurusan dengan polisi. Hingga saat ini ia masih menjalani proses pemeriksaan lanjutan pihak kepolisian guna melengkapi berkas persidangan.

Kasus Serupa

Tidak hanya MR, akhir maret lalu Polresta Banyuwangi juga menangkap seorang pemuda berinisial AT (23) asal Desa Jajag, Kecamatan Gambiran karena melakukan aksi serupa. 

Modus yang dilakukan dengan iming-iming memberikan sejumlah uang, namun syaratnya harus melakukan panggilan video yang menampilkan ketelanjangan korbannya.

Kedok tersangka ini terbongkar, setelah korban berinisial NA (21) melaporkan ke pihak kepolisian karena merasa diancam oleh tersangka. Kapolresta Banyuwangi Kombes Arman Asmara Syarifuddin mengatakan, jika berdasarkan pengakuan korban di hubungi oleh tersangka dengan panggilan video melalui ponsel.

Setelah korban terperdaya, pelaku mengancam menyebarkan rekaman video ketelanjangan tersebut ke jejaring media sosial. Kini, tersangka beserta barang buktinya diamankan di Mapolresta Banyuwangi guna dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

Kasus amoral tidak hanya berhenti sampai disitu saja, medio april ini Radar Banyuwangi kembali menurunkan tulisan perbuatan amoral yang memanfaatkan jejaring media sosial. 

Mengitutip Radar Banyuwangi Edisi Kamis, 16 April 2020, WA (43) warga Dusun Simbar Desa Tampo Kecamatan Cluring diamankan pihak kepolisian lantaran memajang foto yang menampilkan ketelanjangan dan menawarkan jasa pijat di media sosial.

Setelah melakukan pemijatan, pelaku juga menawarkan jasa seksual hingga berhubungan badan terhadap pelanggan. Anehnya, jasa seksual yang ditawarkan adalah sesama jenis. Informasi tersebut berhasil diungkap kepolisian setelah menerima aduan masyarakat, lalu melakukan penyelidikan mendalam melalui tim cyber.

Koherensi Kesusilaan

Rentetan kasus diatas tentu menjadi ironi tersendiri, mucul pertanyaan dan bakal banyak memantik ruang diskusi. Mengapa, apa dan bagaimana pola-pola amoral bisa cukup masif terjadi ditengah masyarakat kita saat ini. Sebelum sejauh itu memetakan polanya kita juga harus membedah dahulu latar belakang dari kasus diatas.

Meski ketiganya sama-sama memiliki koherensi dalam hal kesusilaan namun latar belakang yang mendalanginya cukup berbeda. Pertama, kasus MR (23) justru lebih mengarah pada predrator seksual, alasan apapun yang diberikan pelaku tentu menjadi tanda tanya besar. 

Ketenaran macam apa yang hendak diraih jika menafikan harkat dan martabat diri sendiri. Pun kejadian tersebut tidak terjadi hanya pada satu orang saja, sebelumnya tersangka juga melakukam hal serupa dengan orang yang berbeda. Tentu kala itu hukum yang diterima sangat ringan akibat putusan diversi. Hal ini merujuk pada Pasal 1 angka 7 UU 11/2012.

Kedua, kasus AT (23) yang memiliki latar belakang ancaman didalamnya juga perlu menjadi atensi. Sebab ancaman tersebut muncul imbas iming-iming pelaku yang berhasil memperdaya korbannya. Tentu jika ditilik dari aspek hukum pidana, bisa masuk dalam aturan dalam KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Pasal 369 Ayat 1.

Namun bukan sembarang ancaman tentunya yang dilakukannya, sebab pelaku mengelabui korban dengan melakukan perekaman adegan ketelanjangan. Lalu menggunakannya sebagai bentuk tawar agar korban terancam dan menuruti kemauan tersangka.

Ketiga, kasus WA (43) jika dirunut motif pelaku adalah ekonomi, dengan memanfaatkan jasa seksual yang ditawarkan. Jika ditinjau dari media yang digunakan tersangka bisa dijerat UU ITE, dalam hukum pidana umum, persoalan prostitusi juga diatur dalam Pasal 298 KUHP.

Konsekuensi Hukum

Idealnya segala bentuk upaya permufakatan jahat yang berimbas pada aspek hukum tentu dapat berpotensi memantik konsekuensi hukum yang terjadi. Dampak tersebut menjadi ironi lantaran terfasilitasi adanya teknologi yang sedari awal muncul memang seperti layaknya pisau bermata dua.

Satu sisi bisa berimbas positif jika bijak dalam pemanfaatannya, lainnya malah justru bisa menjadi bomerang sebab salah penggunaannya. Tentu edukasi dan upaya persuasif dari lingkung terkecil keluarga menjadi langkah nyata membangun pagar betis bagi generasi muda dari konsumsi konten tak wajar.

Selain itu paradigma keluarga yang menganggap tabu ihwal pendidikan seksual sedari dini juga perlu dirubah. Tentu hal yang dianggap tabu justru akan jadi sembilu jika kelak anak-anak kita justru mengetahuinya dari kawan atau temannya secara mandiri. Sebab dengan anggapan tabu itu, orang tua seperti menutup ruang diskusi bersama anak.

Ruang yang seharusnya bisa dibangun guna tumbuh kembang sang anak ke arah yang lebih baik. Alih-alih meminimalisir tindakan amoral, sikap acuh tak acuh dan anggapan tabu dari orang tua untuk membuka paradima baru tentu berdampak negatif dengan masifnya perkembangan teknologi masa kini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun