Perhatian media terhadap perubahan iklim telah meningkat sejak pertengahan tahun 2000an, tetapi setelah itu perhatian media menjadi bersifat fluktuatif dan hanya mencapai puncaknya pada peristiwa tertentu, misalnya adanya bencana alam atau pertemuan antar negara untuk membicarakan perubahan iklim seketika meningkatkan eksposur berita tersebut (Schmidt et al., 2014).
Adapun posisi yang diambil media seharusnya ada pada kualitas liputan bukan hanya sekedar meningkatkan exposure saja.
Mengenai liputan perubahan iklim pun harus dilakukan oleh jurnalis yang berpengetahuan mengenai persoalan perubahan iklim. Jika hal tersebut dilakukan maka setiap bencana dapat dikaitkan dengan perubahan iklim yang secara tidak langsung akan meningkatkan kepekaan masyarakat.
Misalnya kelangkaan air yang terjadi di India mulai tahun 2015 atau kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kalimantan Tengah pada tahun 2019 silam dapat berkorelasi dengan sebuah peristiwa global seperti perubahan iklim.
Akan tetapi hal tersebut masih sangat jarang terjadi, akibat pemberitaan mengenai perubahan iklim selalu tergerus dengan isu-isu yang mengarah kepada politik, ekonomi bahkan sebuah skandal yang mengejutkan. Akibat kelayakan berita (newsworthiness) sangat dipertimbangkan oleh media massa untuk mendapatkan audiens (Schafer, 2015).
Media sebagai gerbang utama kesadaran mengenai Perubahan Iklim
Perubahan iklim bukan sebuah permasalahan tunggal, tetapi sangat kompleks sekali. Kita sebagai masyarakat perkotaan yang saat ini tidak merasakan langsung dampak dari perubahan iklim mungkin akan bersikap skeptis.
Tetapi pada nyatanya bagi mereka yang tidak memiliki hal tersebut, dampak perubahan iklim sudah menjadi bagian dari keseharian mereka. Hal ini dapat dijelaskan dengan menggunakan istilah 'Disparity' dari Callison (2014), yakni perbedaaan yang terjadi secara besar antara satu tempat dengan tempat lain.
Misalnya, akibat perubahan iklim kita yang tinggal di ibu kota merasakan suhu cuaca sedikit panas 1,5 derajat celcius, tetapi bagi mereka yang tinggal di Antartika hal tersebut bisa sampai 10 derajat celcius.
Disinilah peran media untuk memotret kehidupan di tempat lain yang rentan akan dampak perubahan iklim, walaupun pada beberapa dekade ke depan jika kita tidak melakukan perubahan dampak tersebut dapat menimpa kita semua secara berkepanjangan.
Media sebagai agen produksi, dan transformasi sebuah makna, tidak kalah penting dari sebuah seminar dan pelajaran di sekolah. Oleh karena itu pemberitaan mengenai perubahan iklim harus dapat menyentuh setiap kalangan.