Mohon tunggu...
Muhamad Fardhansyah
Muhamad Fardhansyah Mohon Tunggu... Freelancer - Masih Belajar

Masih belajar Antropologi. Pola pikir induksi yang diadaptasi dari socrates, menghasilkan pandangan yang lebih holistik dari berbagai macam perspektif.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Peran Media dalam Membingkai Isu Perubahan Iklim

22 Januari 2022   21:30 Diperbarui: 22 Januari 2022   21:39 642
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bumi telah memanas, kenaikan suhu 1,5 derajat celcius yang terdengar kecil nyatanya berdampak besar pada kehidupan. Mulai dari kekeringan, intensitas serta waktu hujan yang semakin tidak menentu, serta yang paling sering di dengar adalah naiknya permukaan air laut akibat mencairnya es di kutub utara.

Sebagian besar dari kita, apalagi masyarakat perkotaan mungkin menganggap perubahan iklim sebagai masalah yang bersifat periodik. Layaknya trend yang hanya meledak jika seluruh dunia membahasnya, dan menggembor-gemborkannya seperti liputan media yang menayangkan berita mengenai COP26 di Glasgow yang seketika membuat publik paham apa itu zero emission.

Tetapi bagi mereka yang bersinggungan langsung dengan alam, merekalah yang terdampak langsung oleh perubahan iklim. Meskipun mereka tidak memahami arti dari perubahan iklim itu sendiri, Contohnya saja nelayan yang semakin terpuruk karena tidak dapat melaut akibat cuaca buruk atau petani yang terancam gagal panen akibat kekeringan yang melanda.

Beberapa contoh peristiwa diatas mungkin pernah kita lihat di media dan digambarkan sangat mengerikan yang pada akhirnya menuju kepada sebuah bukti bahwa perubahan iklim telah terjadi. Lalu mengapa gambaran-gambaran nyata dampak perubahan iklim sangat jarang ditemukan di pemberitaan media?

Jawaban dari pertanyaan tersebut tidak jauh dari peran media dalam membingkai sebuah liputan mengenai perubahan iklim.

Perubahan Iklim merupakan peristiwa yang abstrak

Sangat sulit dan bias jika kita mendefinisikan perubahan iklim secara pasti. Tetapi bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari alam seperti petani dan nelayan mungkin mereka memiliki definisinya tersendiri.

Definisi Iklim (climate) merujuk pada sebuah indikator cuaca, seperti temperatur, arah angin dan masih banyak lagi, sedangkan World Meteorological Organization mengartikannya sebagai rata-rata cuaca dalam 30 tahun belakangan. Oleh karena itu perubahan iklim tidak terasa secara langsung, tetapi secara lambat entah 10 tahun atau 30 tahun kedepan.

Tetapi indikator-indikator perubahan iklim seperti curah hujan yang tak menentu, permukaan laut yang semakin tinggi, kebakaran hutan yang terjadi telah menambah bukti nyata perubahan iklim saat ini.

Kemudian, definisi perubahan iklim tidak dapat disamaratakan. Ia memiliki bahasa lokal yang sesuai dengan pengalaman dan kontur etik masyarakat tertentu.

Contohnya, pemanasan global menyebabkan peningkatan suhu laut yang berakibat pada rusaknya terumbu karang dan arah migrasi ikan, sehingga saat ini nelayan semakin sulit menentukan lokasi ikan (Kovas et al., 2004 dalam Lobell et al., 2010). Namun nelayan tidak menyadari bahwa sulitnya mencari ikan tersebut merupakan dampak dari perubahan iklim.

Semakin besar suatu sektor bergantung pada alam, maka sensitif pula sektor tersebut terhadap dampak iklim.

Inilah yang kerap kita lihat di pemberitaan media, misalnya sebuah pemberitaan mengenai banjir rob, badai katrina, dan kebakaran hutan dan masih banyak lagi. Meskipun berita tidak secara jelas memaparkan bahwa adanya keterkaitan antara perubahan iklim dan bencana yang terjadi saat ini.

Alhasil, penonton berita tidak menyadari bahaya dan dampak dari perubahan iklim secara jelas.

Mengkomunikasikan Perubahan Iklim melalui Media

Pemberitaan mengenai perubahan iklim kerap bersifat ilmiah yang jarang dimengerti oleh publik. Istilah-istilah seperti "global warming", "zero emission", bahkan "efek rumah kaca" mungkin terdengar asing bagi sebagian orang.

Atau mungkin liputan mengenai badai katrina, dan kebakaran hutan yang dramatis sebagai pertanda hal-hal buruk akan datang di masa depan, belum cukup untuk memberikan pesan kepada publik bahwa jika dijabarkan itu merupakan dampak dari perubahan iklim.

Meskipun liputan mengenai peristiwa katastropik atau bencana alam seperti itu dapat merangsang kepekaan terhadap perubahan iklim, namun menghubungkan peristiwa atau bencana dengan perubahan iklim secara langsung tidaklah mudah.

Akhirnya, berita yang menyinggung soal perubahan iklim menggunakan headline seperti "Earth is Dying" terkadang dilebih-lebihkan tanpa menjelaskan sebab akibat dari sebuah bencana secara berkepanjangan.

Callison (2014) dalam bukunya "How Climate Change Comes to Matter" mengutip Lowe (2006), menggunakan Istilah 'Climate Porn' untuk menjelaskan bagaimana media merepresentasikan perubahan iklim dengan menunjukkan bukti-bukti mengerikan.

Seperti, mencairnya es di kutub utara dan badai katrina yang tidak terjadi setiap saat membuat setiap media berlomba-lomba meliput hal tersebut yang hanya fokus kejadian saat itu, tanpa membedah sebab akibatnya secara runtut.

Perhatian media terhadap perubahan iklim telah meningkat sejak pertengahan tahun 2000an, tetapi setelah itu perhatian media menjadi bersifat fluktuatif dan hanya mencapai puncaknya pada peristiwa tertentu, misalnya adanya bencana alam atau pertemuan antar negara untuk membicarakan perubahan iklim seketika meningkatkan eksposur berita tersebut (Schmidt et al., 2014).

Adapun posisi yang diambil media seharusnya ada pada kualitas liputan bukan hanya sekedar meningkatkan exposure saja.

Mengenai liputan perubahan iklim pun harus dilakukan oleh jurnalis yang berpengetahuan mengenai persoalan perubahan iklim. Jika hal tersebut dilakukan maka setiap bencana dapat dikaitkan dengan perubahan iklim yang secara tidak langsung akan meningkatkan kepekaan masyarakat.

Misalnya kelangkaan air yang terjadi di India mulai tahun 2015 atau kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Kalimantan Tengah pada tahun 2019 silam dapat berkorelasi dengan sebuah peristiwa global seperti perubahan iklim.

Akan tetapi hal tersebut masih sangat jarang terjadi, akibat pemberitaan mengenai perubahan iklim selalu tergerus dengan isu-isu yang mengarah kepada politik, ekonomi bahkan sebuah skandal yang mengejutkan. Akibat kelayakan berita (newsworthiness) sangat dipertimbangkan oleh media massa untuk mendapatkan audiens (Schafer, 2015).

Media sebagai gerbang utama kesadaran mengenai Perubahan Iklim

Perubahan iklim bukan sebuah permasalahan tunggal, tetapi sangat kompleks sekali. Kita sebagai masyarakat perkotaan yang saat ini tidak merasakan langsung dampak dari perubahan iklim mungkin akan bersikap skeptis.

Tetapi pada nyatanya bagi mereka yang tidak memiliki hal tersebut, dampak perubahan iklim sudah menjadi bagian dari keseharian mereka. Hal ini dapat dijelaskan dengan menggunakan istilah 'Disparity' dari Callison (2014), yakni perbedaaan yang terjadi secara besar antara satu tempat dengan tempat lain.

Misalnya, akibat perubahan iklim kita yang tinggal di ibu kota merasakan suhu cuaca sedikit panas 1,5 derajat celcius, tetapi bagi mereka yang tinggal di Antartika hal tersebut bisa sampai 10 derajat celcius.

Disinilah peran media untuk memotret kehidupan di tempat lain yang rentan akan dampak perubahan iklim, walaupun pada beberapa dekade ke depan jika kita tidak melakukan perubahan dampak tersebut dapat menimpa kita semua secara berkepanjangan.

Media sebagai agen produksi, dan transformasi sebuah makna, tidak kalah penting dari sebuah seminar dan pelajaran di sekolah. Oleh karena itu pemberitaan mengenai perubahan iklim harus dapat menyentuh setiap kalangan.

Beruntungnya, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) saat ini telah membingkai aspek penting mengenai perubahan iklim untuk kebutuhan media. Seperti pembahasan yang teratur mengenai perubahan iklim yang berbentuk laporan dan memberikan gambaran bencana dari dampak perubahan iklim yang semakin jelas untuk beberapa tahun kedepan (Risbey, 2008).

Seorang individu yang mendapatkan informasi dari media, akan belajar sesuatu dari informasi tersebut. Layaknya pemberitaan mengenai kriminalitas atau kesehatan yang membuat seseorang akan waspada dan merubah kebiasaannya agar dapat terhindar dari hal buruk.

Sama halnya dengan perubahan iklim, jika media menyoroti mengenai bahaya perubahan iklim dalam jangka pendek serta mengurangi istilah-istilah asing, seseorang mungkin akan berpikir untuk merubah gaya hidupnya agar lebih ramah terhadap lingkungan.

Mereka akan memiliki solusi untuk mengurangi dampak dari perubahan iklim yang sesuai dengan dirinya masing-masing.

Climate change challenges people to see themselves as part of global

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun