Pemandangan sekitar yang menunjukan semua pohon ikut bergerak sangat membuatku terpesona. Hasil pendapatan Ayahku yang tidak mencukupi kebutuhan keluarga menjadi sumber permasalahan saat ini. Bukannya berusaha menghemat pengeluaran, Ayah malah menggunakan uangnya untuk membelanjakan hal-hal yang tidak dibutuhkan sehingga pengeluaran semakin banyak. Lebih menjengkelkan lagi ketika Ibuku berakhir menjadi tempat pelampiasan rasa kesal Ayahku hanya karena mencoba untuk menghentikan pemborosan itu.
Ibu adalah orang lemah lembut yang selalu setia dan mengutamakan keperluan suaminya, sedangkan Ayah adalah orang yang tidak bisa berkomunikasi dengan baik dan tidak bisa mengendalikan emosinya saat ia sendiri mudah marah terhadap hal-hal kecil yang mungkin tidak berjalan sesuai dengan keinginannya. Hasilnya adalah ibu selalu diam membisu tanpa perlawanan ketika Ayah mulai melampiaskan emosinya ketika sedang mengalami suasana hati yang buruk.
"Orang bilang cinta pertama seorang anak perempuan itu Ayahnya, tapi aku tidak ingin mengakui orang itu sebagai Ayahku." Batin ku.
Selain Ibu, aku adalah korban kedua yang juga menjadi sasaran amukan Ayahku. Aku berkali-kali lebih sering mendengarkan umpatan kasar dan cacian yang dilontarkan oleh Ayahku, jika ada perbedaan maka itu adalah keberanian Ayahku yang menggunakan kekerasan fisik kepadaku saat sedang marah. Seringkali ia mencoba memukulku dan melemparkan barang-barang di sekitarnya ke wajahku.
Sedari kecil, aku bukanlah seorang anak yang akrab dengan Ayahnya dan mendapatkan kasih sayang berlimpah. Jadi aku sama sekali tidak menuntut atas hilangnya peran seorang ayah dalam kehidupanku. Aku masih ingat dengan jelas wajah Ibuku saat menceritakan rasa lelahnya selama ini.
"Lana, Ibu Lelah sekali. Ibu pusing memikirkan bagaimana hidup kita kedepannya, belum tentu kita bisa memenuhi kebutuhan hidup nanti. Kita bahkan sudah tidak memiliki uang untuk membeli makanan, haruskah ibu bekerja sebagai pembantu di rumah orang kaya untuk menambah penghasilan? kamu kan juga ingin lanjut kuliah setelah lulus sekolah nanti."Â Itu adalah kali pertama aku mendengar Ibu berkeluh kesah di hadapanku.
Betapa kaget dan sakit hatinya aku saat mendengarnya. Mungkin seharusnya aku tidak perlu kuliah supaya tidak membebani Ayah dan Ibu. Begitu memikirkan hal tersebut tanpa sadar air mataku mengalir.
"Ah, aku benci sekali memikirkan hal ini." Ketusku menjawab.
Angin-angin mulai berhembus dengan lebih kencang dari sebelumnya seolah memahami kesedihanku, anehnya aku merasa bahwa angin ini sedang bergerak menuju ke arahku, dan benar saja angin besar itu mulai melewati wajahku hingga membuat mataku ikut kelilipan. Aku mencoba menutup mataku untuk menghindari debu-debu yang masuk ke mata, namun begitu membuka mata betapa kagetnya aku saat melihat sebuah lubang besar transparan seperti membentuk sebuah ruang baru yang tidak terhubung dengan dunia ini berada di hadapan ku. Seolah terhipnotis dengan keberadaannya, aku secara sukarela berjalan untuk memasuki lubang transparan yang tampak berbahaya itu.
Duk.
Begitu melewatinya, suara langkah kakiku yang berpindah terdengar seperti sehabis jatuh di hamparan taman. Aku mulai memeriksa sekelilingku untuk memastikan dimana aku berada, namun aku segera menyadari bahwa tempat ini adalah tempat yang sama dengan tempat tadi hingga terlihat seolah aku tidak pernah berpindah tempat kemana pun. Ternyata hal yang berbeda dari perpindahan tadi adalah kondisi tubuhku yang menjadi tidak terlihat seolah berubah menjadi sebuah bayangan.