Mohon tunggu...
Farah Najwa
Farah Najwa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa komunikasi

Pelukis, penyanyi, humoris, penyayang, healing alam, berkreasi Konten kreator dan podcast menarik

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Lawan Gerakan Intoleransi dan Faham Radikalisme

7 Januari 2023   06:58 Diperbarui: 7 Januari 2023   22:18 1101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (sumber/gambar: Suaradewata.com)

TUGAS UAS PANCASILA
Dosen Pengampu : Dr. WAHIDULLAH, S.H.I., M.H.

Penyusun : Farah Najwa Safitri

NIM : 221510000501

Program Studi : Komunikasi dan Penyiaran Islam

Fakultas : Dakwah dan Komunikasi

UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA

"Lawan....! Gerakan Intoleransi dan Faham Radikalisme"

Kebencian dan kekerasan dengan mengaitkan Tuhan didalamnya merupakan suatu tindakan yang sama sekali tidak dapat dibenarkan. Akibat yang ditimbulkan dari hal tersebut akan memunculkan sebuah konflik yang panjang, dan salah satu konflik yang marak terjadi di Indonesia yaitu konflik antar umat beragama. Konflik antar umat beragama di antaranya seperti  konflik antar agama lain  ataupun konflik antar aliran tertentu dalam satu agama yang sama. 

Hal tersebut Tentunya tidak mudah bagi bangsa Indonesia untuk menjaga kebhinekaan yang mana salah satu yang menjadi masalah genting yakni tentang isu-isu toleransi umat beragama yang berada di Indonesia dengan enam agama resminya atau telah diakui oleh pemerintah yakni Islam, Kristen, Khatolik, Hindhu, Budha, dan Konghucu menjadikan Indonesia salah satu negara yang mempunyai beragam agama.

Untuk membangun toleransi umat beragama di negara Indonesia ini tentu terdapat berbagai tantangan untuk bisa mewujudkannya. Apalagi dengan berbagai kasus yang marak terjadi, seolah pemerintah lamban dalam mengambil keputusan untuk menyikapi sikap intoleransi agama yang semakin marak di Indonesia saat ini.  

Hal ini bertentangan dengan semboyan bangsa kita yakni “Bhineka Tunggal Ika”, yang mengartikan bahwa meskipun kita berbeda, tetapi tetap satu. Bangsa Indonesia harus saling rukun,menghormati dan menghargai.

Pasca reformasi diketahui terdapat banyak peristiwa yang secara tiba-tiba muncul di tengah kehidupan masyarakat. Dalam beberapa tahun terakhir ini, terdapat fakta mengenai peristiwa kekejaman kekerasan yang terjadi dan berhubungan dengan agama. 

Fenomena kekejaman atau kekerasan berbasis agama berawal dari pemahaman yang eksklusif, berwujud menjadi sikap sosial yang intoleran, lalu mengeras menjadi tindakan radikal yang memusuhi hingga menyerang kelompok yang berbeda, dan kemudian menjadi teroris yang merusak tatanan kemanusiaan serta kehidupan umat manusia.

Aksi kekejaman kekerasan tersebut berlandaskan pada keyakinan beragama yang telah salah kaprah. Perilaku tersebut merupakan hasil dari doktrinasi besar oleh kaum radikalis yang berusaha menghancurkan sistem bernegara di Indonesia dengan menggunakan agama sebagai permulaan belaka. 

Tujuan mereka hanya satu yaitu merubah tatanan Bhinneka Tunggal Ika menjadi negara berlandaskan agama (Islam). Radikalisme adalah ideologi atau pandangan yang mendorong seseorang bertindak melawan sistem sosial politik yang diterapkan secara ekstrim atau melalui kekerasan. 

Terkait masalah radikalisme sebenarnya tidak tertuju pada suatu ajaran agama apapun, terkhusus kepada   Islam. Justru   terkait   dengan   dunia   politik.meskipun  demikian mungkin saja gerakan radikal muncul diakibatkan dari kekeliruan atau salah kiprah dalam pemahaman ajaran agama

Intoleransi yaitu sikap menolak untuk menerima pandangan, keyakinan atau tindakan yang berbeda dengan apa yang diyakininya. Sementara itu, radikalisme adalah ideologi atau ideologi yang mendorong dan membuat seseorang bertindak melawan sistem sosial politik yang diterapkan secara ekstrim atau melalui kekerasan.

Kasus Intoleransi harus segera di atasi dan diselesaikan secara tegas, terlaksana dan baik. Lawan gerakan intoleransi, serang dan musnahkan segala benih-benih adanya intoleransi. Tetapi untuk itu harus dengan cara yang baik. 

Pihak-pihak yang melakukan perilaku tersebut mungkin di karenakan mereka tidak mengerti hukum dan standar yang ada di Indonesia. Oleh karena itu, sebaiknya diberlakukan sosialisasi atau pemahaman mengenai hal tersebut dan diberikan kepada hukum serta standar yang berlaku bagi masyarakat Indonesia.

Diperlukannya kesadaran dalam diri masyarakat bahwa sikap toleransi perlu dipupuk dan dijaga demi membangun persatuan dan kesatuan bangsa agar tidak terjadi pecah belah atau disintegrasi dan kericuhan massa. Untuk menghindarkan suatu kericuhan maupun bentrokan antar kelompok ataupun sekte agama, juga pandangan lain yang berkaitan dengan agama, tentu memerlukan adanya kesadaran antar umat beragama yang dapat meminimalisir atau menekan terjadinya bentrokan. 

Dan dapat menghindarkan suatu kericuhan konflik atau sikap saling curiga antara satu dengan yang lainnya sangat perlu interaksi sosial yang lebih intens. Kesadaran sikap bertoleransi tidak langsung begitu saja bisa dipahami oleh sebagian masyarakat Indonesia yang sangat multikultural. Bentuk interaksi sosial yang telah diakomodasi akan dapat membentuk suatu toleransi yang baik.

Kita tentu tidak menginginkan negara ini bergelimang darah demgan adanya pertumpahan darah oleh sesama warga bangsa bahkan saudara setanah air. Cukup oleh  kekerasan yang mengatasnamakan ketuhanan bagi mereka. Kita telah dibuat ngilu untuk membayangkan dan melihatnya. Kita tak sanggup untuk melihat kekejaman yang dipraktekkan atas nama Tuhan.

Namun dari gerakan intoleransi tersebut yang perlu dipertanyakan yakni mengapa orang-orang bersedia untuk melakukan aksi teror hingga kekerasan dengan mengatasnamakan agama atau yang disebut sebagai teroris? Adakah  alasan yang menjustifikaskani aksi terorisme di Indonesia? Siapakah mereka para pelaku teror di bumi ini?

Berdasarkan pertanyaan tersebut dapat disederhanakan jawaban bahwa mereka itu dapat berupa perorangan, kelompok maupun organisasi bahkan lembaga. Dan dimana mereka melakukan aksi teror sebagai target sasaran teroris. hingga pertanyaan sampai kapan aksi-aksi terorisme akan berlangsung terjadi di sebuah wilayah, menjadi pertanyaan penting yang hendak diuraikan dalam pembahasan ini.

Ada beberapa asumsi yang memungkinkan terjadinya kekerasan dengan mengatasnamakan agama yang dilakukan oleh pelaku utamanya yakni para kaum muda. Dari perspektif lain politik, ekonomi, sosial dan psikologi adanya kekerasan mengatasnamakan agama atau aksi terorisme di Indonesia ternyata diketahui dari segi aktor atau pelaku kelompok yakni beberapa kelompok agama (Islam, Kristen, Hindu, budha dan Yahudi) yang bersedia melakukan aksi-aksi kekejaman kekerasan terhadap pihak lain dan sebagian membenarkan atas perilaku kekerasan tersebut. Para aktor pelaku kekerasan datang dari berbagai kelompok yang mempunyai alasan masing-masing didalamnya. Terdapat alasan teologis hingga alasan sosial maupun pragmatis karena tidak berdasar argumen yang jelas untuk perbuatan kekerasan mereka.

Adapun alasan yang menjustifikasi para pelaku terorisme yakni diantaranya persoalan pemahaman keagamaan yang merupakan bagian penting dari kekerasan agama (radikalisme-terorisme) yang dilakukan. Lalu ketidakadilan politik, ekonomi dan hukum yang berjalan dalam sebuah negara yang tidak berjalan dengan maksimum.

 Serta melalui persoalan pendidikan yang lebih menekankan pada aspek ajaran kekerasan dari agama, terutama pada penekanan aspek indoktrinasi yang kemudian tidak memberikan ruang diskusi tentang suatu masalah. Pendidikan seperti itu merupakan masalah yang sangat mungkin mendorong terjadinya radikalisme karena keacuhan perspektif pendidikan agama.

Intoleransi, radikalisme hingga terorisme merupakan musuh besar bagi bangsa dan negara karena bertentangan dengan aturan dan melanggar ideologi bangsa, dimana kejahatan terorisme sendiri tergolong sebagai bentuk kejahatan luar biasa dan kejahatan internasional yang harus diketahui oleh setiap negara.

Terkait dengan aksi kekerasan radikalisme-terorisme yang dilakukan di Indonesia, para kaum muda muslim yang tergabung dalam Unit Kerohanian Islam juga menyetujui. Makna dari pernyataan The Wahid Foundation adalah kaum muda muslim telah memiliki pikiran bahwa jika ada aksi kekerasan atas nama agama Islam itu dibolehkan.

 Dari Fakta di atas, menunjukan bahwa sikap toleransi dan kesadaran akan keberagaman di Indonesia masih menjadi tantangan besar. Keberagaman yang harusnya menjadi modal sosial yang luar biasa bagi bangsa Indonesia, ternyata memicu kerentanan konflik, pemberontakan dan pengasingan. Jika persoalan tersebut tak segera mungkin diantisipasi, maka eksistensi NKRI akan menjadi taruhannya.

Berdasarkan gambaran tentang kekerasan-radikalisme agama telah dikemukakan di Indonesia, berita-berita di media massa (elektronik dan cetak) dimana angkatan muda banyak terlibat di dalamnya.

Kaum muda (mahasiswa) tertarik untuk terlibat dalam gerakan radikalis-terorisme yang terjadi di Indonesia. Hal tersebut  tidak dapat dibiarkan karena menganggu jumlah banyak kaum muda yang sering dijadikan sebagai sasaran untuk terlibat dalam gerakan radikalisme-terorisme di Indonesia. 

Adapun ujaran kebencian yang ada di media sosial menjadi faktor yang sangat mempengaruhi  timbulnya perilaku intoleran di masyarakat. Ujaran kebencian, menggolakkan masyarakat yang menerima informasi tersebut terhadap kubu-kubu tertentu. Hujatan maupun ujaran kebencian merujuk pada istilah tertentu dalam media sosial. hal tersebut diberikan dengan tujuan mengasingkan ataupun menyepelekan kelompok-kelompok tertentu. 

Persebaran informasi dari internet yang sangat pesat, tingginya konsumsi terhadap media sosial, rendahnya literasi pengguna  atau kurang kritis terhadap informasi, serta Post-truth oleh pengguna media sosial. hal itu Menyebabkan informasi sulit untuk dapat dibendung. Kondisi ini menyebabkan UU ITE khusunya terkait penyebaran informasi belum dapat berjalan secara maksimal. Hingga memunculkan berbagai gerakan baru di media sosial yang bertujuan untuk membendung arus informasi yang berisikan  propaganda mengenai ekstrimisme, radikalisme, dan SARA.

Keterlibatan para kaum muda di dunia maya bukanlah secara mendadak. Terlihat Kaum muda aktif dalam media sosial yang menjadikan masalah ketika media sosial didominasi oleh pemberitaan kebencian terhadap pihak lain. Aktivitas kaum muda di media sosial tidak dapat dihentikan. Tetapi peran media sering membuat distorsi yang sedemikian rupa sehingga diartikan sebagai cara ataupun tindakan dan gerakan yang bersifat keras, kasar dan kejam.


Dari hal demikian tugas bagi pemuka agama dihadapkan dengan dakwah-dakwah di media sosial untuk memberikan pemahaman atau sosialisasi keagamaan yang inklusif sehingga kaum muda dapat memiliki pandangan dan sikap toleran, menghargai perbedaan, menghormati perbedaan keyakinan keagamaan yang dimilikinya.

Kaitannya dengan dakwah agama, maka pemuka agama maupun pendakwah tidak bertugas untuk menyiram bibit radikal serta intoleransi terhadap kaum muda dengan berbagai doktrin keagamaan yang disampaikan secara serampangan dan kurangnya konteks sosial historisnya. 

Para pemuka agama harus memberikan contoh yang subyektif dalam berdakwah secara bijaksana, ramah, santun, dan bertindak dengan damai dan menentramkan. Tidak dengan sembarangan dalam berkata dan bertindak.

Penanggulangan lebih mendasar yang dapat dilakukan dari sisi lainnya yakni dengan  penerapan media sosial dan literasi informasi yang menerapkan sikap cerdas bermedia sosial, dengan selektif dalam memilih juga memilah dan mencari informasi yang muncul, sehingga tidak mudah terprovokasi. 

Oleh karena itu yang perlu dipikirkan yakni cara agar antar umat dapat saling hidup berdampingan tanpa kecemburuan, perselisihan dan kekerasan. Mendirikan gereja maupun tempat peribadatan lain sebenarnya tidak masalah asalkan telah disetujui dan tidak menimbulkan persoalan baru diantara mereka. Harus ada pemahaman atau sosialisasi yang dalam tentang tempat peribadatan agama lain, apa maknanya dan mengapa harus banyak dijelaskan kepada umat Islam.

Penyelesaian selanjutnya untuk mengatasi permasalahan intoleransi maupun radikalisme yaitu dengan lebih memahami bagaimana konsep moderasi beragama sebagai salah satu bentuk kebijakan nasional, karena moderasi beragama dapat memadukan dan mempersatukan semangat beragama dan komitmen terhadap bangsa.

Sikap intoleransi dan radikalisme saling berkait erat. Sikap intoleran akan berkembang menjadi radikal dan bahkan akan memicu terror jika tidak dapat ditangani secara tepat. Untuk penanggulangan intolerasi dan radikalisme, dilakukannya upaya yakni dapat berupa program deradikalisasi bukan hanya semata persoalan individu, namun persoalan mengenai lingkungan sosial. Oleh karena itu khususnya peran keluarga dan masyarakat sekitar dalam mendorong sikap deradikalisme sangat penting dibutuhkan. Program deradikalisasi ini dilakukan oleh seluruh unsur masyarakat maupun pemerintah.

 Pada era desentralisasi demokrasi dibutuhkannya peran dari semua kalangan dan untuk membendung radikalisme diadnkannya program deradikalisasi yang melibatkan berbagai elemen, baik itu pemerintah maupun masyarakat sipil dengan menggunakan metode pendekatan soft power dan hard power. Kemudian dalam tulisannya, keterlibatan masyarakat sipil juga sangat dibutuhkan dalam penanggulangan radikalisme dan memungkinkan strategis untuk terus dikembangkan di negara Indonesia dalam era demokratisasi. 

Berbagai upaya-upaya yang telah diuraikan di atas dirancang guna menjadikan Indonesia sebagai bangsa dan negara yang lebih sejahtera, maju dan damai. Pendampingan keagamaan dalam kehidupan masyarakat Indonesia dapat dikatakan berhasil apabila status dari empat indikator utama terpenuhi, yakni di antaranya toleransi, anti radikalisme, komitmen kebangsaan, dan penerimaan terhadap tradisi yang telah berlaku.

Mari kita lawan benih-benih pergerakan intoleransi dan faham radikalisme di negara Indonesia ini. Serta marilah kita saling rukun, menghargai dan menghormati sebagai warga negara dengan perilaku bertoleransi yang tinggi. Burung Garuda melambangkan bahwa kebhinekaan merupakan ciri khas bangsa Indonesia yang tidak melemahkan Indonesia, dengan mendukung ungkapan “kesepian dalam kebhinekaan”. Ini adalah hak prerogatif bagi negara Indonesia. Kebhinekaan tidak melemahkan negara Indonesia, namun justru sebaliknya, keberagaman tersebut dapat membuat negara kita dikagumi oleh seluruh dunia. 

Namun, keragaman ini yang sering menimbulkan intoleransi, konflik dan perpecahan atau disintegrasi. Cara berpikir yang sedemikian  ini banyak merugikan masyarakat Indonesia dan harus patut dihentikan sekarang karena sangat membahayakan bagi keutuhan bangsa.

Sumber Referensi:

-Rokhmad, A. (2012). Radikalisme Islam dan
Upaya Deradikalisasi Paham Radikal.
Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial  Keagamaan, 20(1), 79-114.

-Tim Liputan MI. 2020. “Survei Wahid Institute:
Intoleransi-Radikalisme Cenderung Naik.”
Media Indonesia, Januari 18.

-Zuhri, Saefudin. 2017. “Kebijakan Deradikalisasi
Terorisme oleh BNPT: Perspektif Spektrum Politik.” Jurnal Ilmu Kepolisian.

-Asrori, A. (2015). Radikalisme Di Indonesia:
Antara Historisitas dan Antropisitas.
Kalam, 9(2), 253-268.

-Halili, Halili. 2016. Supremasi Intoleransi. diedit
oleh Tim Editor Setara Institute. Jakarta:  Pustaka Masyarakat Setara.

-Casram, Casram. 2016. Membangun Sikap Toleransi Beragama Dalam Masyarakat
Plural, Wawasan. Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya 1 (2).

-Hanafi, Imam. 2018. Agama Dalam Bayang-Bayang Fanatisme; Sebuah Upaya Mengelola Konflik Agama Toleransi. Jurnal: Media Komunikasi Umat Beragama. 10(1) Januari-Juni, 7 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun