"Tidak ada yang lebih nyata daripada perubahan...Sebagai makhluk yang pada dasarnya hedonistik, manusia biasanya lebih menghargai perubahan yang menguntungkan secara material, bahkan jika itu salah menurut hukum positif, aturan kelembagaan atau agama (Mulyana, dkk, 2015: 8)".Â
Mereka mulai masuk ke dunia posmodern dimana agama, budaya, dan seni sedikit demi sedikit akan tumbang. "Dalam dunia posmodern, metanarasi-metanarasi itu tercerai-berai, validitas dan legitimasinya tumbang. Semakin sukar bagi kita untuk menyusun dan menginterpretasi kehidupan kita dalam metanarasi macam apapun (Strinati, 2016: 277)."
Satu sisi, masyarakat Baduy sangat terbuka dengan budaya yang datang dari luar. Namun disisi lain, aturan adat sangat kuat mengatur segala bentuk teknologi dari luar. Sehingga, masyarakat Baduy memiliki dua sisi kehidupan, di luar wilayah adat dan di dalam wilayah adat. Di luar wilayah adat mereka menjadi masyarakat yang terbuka, namun ketika pulang ke wilayah adat mereka kembali sebagai masyarakat desa.Â
"Pada 2010, misalnya, diresmikan Pusat Pelatihan Internet di SD Negeri II Bojong Menteng, kawasan Baduy, di Desa Ciboleger, Leuwidamar, Kabupaten Lebak dilanjutkan dengan peresmian pelatihan internet bagi masyarakat Baduy, guru-guru, siswa dan masyarakat di Kabupaten Lebak. Pelatihan internet yang sepenuhnya difasilitasi oleh BUMN PT Telkom tersebut dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan dan keterampilan memanfaatkan internet. Kepek (53), seorang warga Baduy Luar mengatakan, dalam bahasa Indonesia: Asalkan ada kuota internet kami tidak merasa kesulitan berhubungan dengan dunia luar (Moenawar, dkk, 2019: 78)."
Hasrat untuk melihat realitas diluar desa mendorong mereka untuk berjualan keliling hingga ke Jakarta. Mereka rela menempuh perjalanan berhari-hari dengan berjalan kaki.Â
"Dengan kondisi buta huruf, fenomena penjualan madu juga akan menghadapkan mereka pada nilai-nilai sosio-budaya dan ekonomi baru masyarakat perkotaan. Dalam jangka panjang, dalam hal sumber daya yang dijual tidak tersedia lagi karena degradasi lingkungan dan alih fungsi lahan misalnya, mereka akan berupaya mencari pola-pola pekerjaan di wilayah urban meskipun dengan rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan, akses tersebut akan sangat kecil (Alambudaya.com.,2010, dlm Hariyadi, 2019: 58)."
Masyarakat Desa Kenekes (Baduy) memegang penuh prinsip adat sehingga mengisolasi diri dari perkembangan teknologi dan pengaruh luar. Namun prinsip ini pula yang kini meyebabkan masyarakat adat mau tak mau menerima hadirnya media baru. Hal itu disebabkan antara lain:Â
Ketersediaan Lahan
Adat menjadi perekat hubungan sosial masyarakat adat Desa Kenekes. Masalah mulai terjadi dengan bertambahnya jumlah komunitas mereka lewat kelahiran dari perkawinan usia dini. Mereka terhimpit, namun tak bisa sesuka hati membuka wilayah pemukiman. Karena sudah ada aturan adat yang mengatur tentang pemukiman dan pembukaan lahan untuk hunian mereka. Banyak warga Baduy yang akhirnya keluar dari desa adat mereka dan mendiami lahan-lahan diluar wilayah adat.Â
Sumber Penghasilan
Hasil hutan dan ladang tak lagi bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Jumlahnya tak sebanding dengan pertumbuhan penduduk. Sehingga mereka pun banyak yang berubah menjadi pedagang souvenir dan hasil alam. Sebagian perempuan masyarakat Baduy juga menjadi pembantu rumah tangga di berbagai keluarga sekitar wilayah adat. Banyak pula warga Baduy yang kita jumpai seperti menggelandang di Jakarta untuk berjualan hasil alam dan keterampilan mereka.Â