Sejatinya, "Urang Kenekes" dikenal lugu, polos, dan jujur. Â Namun kini, pernyataan ini harus kembali ditelaah lebih jauh. Mereka telah mengenal transaksi dengan uang dan telepon seluler. Tak ada lagi aktifitas barter seperti dahulu. Mereka membuka warung, berjualan hasil alam dan kerajinan kepada wisatawan, serta berkeliling menjual madu. Tuntutan ekonomi menjadi alasan utama.
Saat musim hujan sekitar 3 tahun lalu, saya berkesempatan menengok kehidupan mereka selama 3 hari. Saya menginap di salah satu kedai milik warga Baduy Dalam di depan pintu masuk desa. Ayah Mursid namanya. Ayah mursid juga menjadi tokoh adat di Kenekes. Ia menjadi juru bicara ketua adat dan menjadi utusan untuk berhubungan dengan pihak luar, seperti pemerintahan.Â
Setiap sore anak-anaknya keluar dari desa dengan membawa durian dan dikumpulkan di dalam kedai ini. Mereka menginap disini, lalu kembali ke desa keeseokan paginya untuk memanen durian lagi. Durian-durian ini nantinya akan dijual ke tengkulak yang datang membawa mobil bak terbuka. Di kedai ini pula, Ayah Mursid menjual berbagai cinderamata khas Baduy dan madu hutan.
Sedikit bingkai kehidupan keluarga Ayah Mursid ini menjadi cerita terjadinya perubahan pola hidup mereka yang tadinya berladang, kini menjadi pedagang. Kebutuhan ekonomi menjadi alasan utama. Dia harus menjual hasil hutan untuk membeli beras dan kebutuhan pokok lainnya. Beras dan bahan pokok lain yang dihasilkan dari kegiatan berladang suku Baduy tak bisa lagi memenuhi kebutuhan perut mereka yang jumlahnya terus bertambah.Â
Satu hal lagi yang menjadi perhatian saya, di kedai ini pula Ayah Mursid dan keluarganya menyimpan ponsel mereka. Hal itu Karena adat tidak memperbolehkan segala bentuk teknologi masuk ke wilayah mereka. Namun, ketentuan adat tersebut tak menghalangi teknologi untuk masuk ke dalam kehidupan warga Baduy.Â
Terbukanya Kenekes menjadi destinasi wisata menjadi berkah bagi warganya. Namun, dari sana perubahan sosial lingkungan desa bermula. Dalam kondisi minimnya pendidikan dan pengetahuan, mereka harus membuka diri menerima kedatangan orang-orang dari berbagai latar belakang. Kain yang mereka tenun kini diperjualbelikan, kerajinan tangan dijajakan, dan hasil alam pun dikomoditaskan.Â
Rombongan wisatawan masuk hingga ke sudut-sudut rumah mereka. Bahkan wisatawan bisa menginap di rumah tradisional Baduy untuk merasakan sensasi sebagai warga Baduy. Kenekes pun menjadi magnet masyarakat sekitar mengais rezeki dari wisatawan. Mereka ikut membuka warung, mengelola lahan parkir, dan menjajakan berbagai dagangan.
Banyak dari mereka tinggal disekeliling kawasan adat Baduy. Kehadiran "orang-orang luar" tersebut seperti menjadi cermin realitas masyarakat Baduy tentang dunia luar. "Sebuah media dan teori budaya yang lebih abstrak dan konseptual menunjukan bahwa media memainkan peranan dalam mengonstruksi rasa kita akan realitas sosial, maupun rasa kita sebagai bagian dari realitas ini (Strinati, 2016: 274)."Â
Dari sini, mereka mengenal dan mengonsumsi berbagai teknologi radio, televisi, kulkas, telepon seluler, dan teknologi lainnya yang selama ratusan tahun dilarang oleh adat. Meski teknologi tersebut tak bisa mereka bawah ke wilayah adat, mereka rela menyewa bahkan membeli lahan diluar wilayah adat untuk menyimpan barang-barang tersebut.
Ironisnya, hadirnya beragam teknologi itu tak diimbangi dengan pendidikan dan pengetahuan. Pendidikan formal belum bisa menyentuh warga Desa Kenekes. Kalaupun ada yang sudah bisa baca tulis, itu didapat secara informal dari orang-orang yang datang. Sehingga, mereka sangat rentan menyerap berbagai informasi dan teknologi tanpa filter dan literasi.Â