Keesokan harinya, Aruna memberanika diri untuk menelpon dan memberi tahu kepada orang tuanya tentang kegagalan yang ia alami.
Suara ibunya dengan lembut mengatakan, "Bagaimana kabarmu nak? Apakah kamu lulus?"
Aruna terdiam sejenak, lalu berkata dengan lirih, "Kabar Aruna baik, maaf Aruna gagal lagi ibu".
Jeda panjang di telpon lalu ibunya berkata, "Tidak apa-apa nak, kamu sudah berusaha dan bekerja keras dengan sebaik mungkin. Mungkin ini belum waktunya".
Jawaban yang begitu tenang, tetapi Aruna tahu, di balik kalimat yang di ucapkan pasti ada rasa kecewa yang tak terucap.
Mendengar jawaban dari ibunya, Aruna tak tahan untuk meneteskan air matanya dan ia merasa seolah seluruh dunia menaruh harapan besar kepadanya, dan ia merasa mengecewakan mereka semua.
Selama beberapa minggu setelahnya, Aruna memtuskan untuk pulang kerumah untuk menemui kedua orang tuanya. Di rumah, Aruna masih tenggelam dalam kesedihan. Keluarganya mencoba menyemangatinya, tetapi Aruna tetap terdiam dan tenggelam dalam kekecewaan.
Sore harinya, ibunya mengajak Aruna duduk di taman belakang rumahnya. Sambal memegang tangan Aruna, ibunya berkata, "Aruna, mimpi itu memang penting, tapi terkadang, jalan untuk mewujudkannya tidak selalu lurus. Ada banyak cara lain yang bisa kamu coba. Mungkin, Tuhan punya cara lain untukmu."
Kata- kata ibunya terus membekas di hati Aruna.
Waktu terasa berjalan lambat, sementara harapan yang dulunya menyala terang kini perlahan-lahan mulai padam. Kawan-kawannya mulai lulus dan mencapai cita-cita mereka masing-maing, dan Aruna hanya bisa melihat dari kajauhan yang terjebak dalam lingkaran kegagalan yang ia alami.
Suatu sore hari, ketika Aruna sedang termenung di taman kampus yang cukup sepi, seseorang yeman lama Aruna  datang menghampirinya. Dia bernama Sarah. Sarah adalah teman satu bimbingan belajar dengan Aruna. Dia sekarang bekerja sebagai asisten administrasi kesehatan.