Mohon tunggu...
Faradisa Mawaldah
Faradisa Mawaldah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mimpi yang Tertinggal

11 November 2024   18:19 Diperbarui: 11 November 2024   18:37 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mimpi Yang Tertinggal

Di sebuah kamar kos yang sempit di pinggiran kota, Aruna duduk di sudut ruangan dengan menatap cermin kecil di atas meja belajarnya. Tatapan matanya kosong, pikirannya melayang ke hari-hari yang penuh harapan yang kini terasa begitu jauh untuk dia gapai. Di sampingnya, setumpuk kertas ujian dan buku-buku berserakan. Tulisan "GAGAL" yang tertera di lembar hasil ujiannya yang terasa sangat pilu yang menghantam dadanya berkali-kali.

Sejak kecil, Aruna memiliki cita-cita igin menjadi seorang dokter. Mimpi itu tumbuh dari kekagumannya pada sang ibu yang bekerja sebagai tenaga medis di desamereka. Setiap kali ibunya pulang kerja dengan mengenakan seragam putih, Aruna selalu merasa bangga dan yakin ia akan menjadi seperti ibunya, membantu orang lain, menyelamatkan nyawa, dan membuat keluarganya bangga. Mimpi it uterus menjadi pusat hidupnya yang membuatnya terus bekerja keras selama sekolahnya, yang mengorbankan banyak hal demi belajar untuk meraih cita-citanya. Namun, hal hari ini, semua harapan itu terasa hancur berkeping-keping.

Aruna gagal dalam ujian masuk fakultas kedokteran untuk ketiga kalinya. Ketika melihat hasil ujiannya, rasanya dunianya runtuh seperti tidak mempunyai harapan lagi. Semua usaha, pengorbanan, dan malam-malamnya yang tak pernah tidur tampak sia-sia.

"Kenapa aku bisa tidak lolos lagi?" gumamnya dengan teriak penuh frustasi.

Dia teringat dengan orang tuanya di desa yang selalu menunggu kabar baik, "Kamu pasti bisa Aruna, ibu yakin bahwa kamu pasti bisa" kata ibunya dengan senyum lembut setiap kali Aruna pulang setelah ujian. Tapi kini, bagaimana dia bisa memberi tahu mereka? Bagaimana dia bisa mengakui dan mengatakan bahwa dia telah gagal lagi?

Dalam malam yang sunyi, Aruna mengambil ponselnya dan membuka pesan dari ibunya yang sudah lama ia tidak balas.

"Bagaimana hasil ujianmu nak? Ibu selalu mendoakanmu" bunyi pesan itu.

Tangannya gemetar, jari-jarinya terasa berat untuk membalas pesan dari ibunya. Akhirnya ia memutuskan untuk menutup ponselnya. Dia merasa malu, bukan hanya pada keluarganya, tetapi pada dirinya sendiri.

Aruna bangkit dari tempat duduk meja belajarnya sambil berjalan menuju jendela kamarnya. Ia melihat sekelilingnya sambal melihat pemandangan di luar jendelanya. Ia menarik napas panjang dan mencoba mengusir perasaan sesak yang menyelimuti dadanya. Namun, semakin ia mencoba melarikan diri dari kenyataan, semakin rasa kecewan menghantuinya.

Waktu yang ia rasakan semakin lambat, dan malam terasa tak pernah akan berakhir. Aruna duduk kembali di kursi meja belajarnya, menutup wajan dengan kedua tangganya sambil memikirkan kegagalan demi kegagalan yang tak ada henti-hentinya. Setiap kali ia mengingat mimpi besarnya, perasaanya semakin dalam mencekram hatinya.

Keesokan harinya, Aruna memberanika diri untuk menelpon dan memberi tahu kepada orang tuanya tentang kegagalan yang ia alami.

Suara ibunya dengan lembut mengatakan, "Bagaimana kabarmu nak? Apakah kamu lulus?"

Aruna terdiam sejenak, lalu berkata dengan lirih, "Kabar Aruna baik, maaf Aruna gagal lagi ibu".

Jeda panjang di telpon lalu ibunya berkata, "Tidak apa-apa nak, kamu sudah berusaha dan bekerja keras dengan sebaik mungkin. Mungkin ini belum waktunya".

Jawaban yang begitu tenang, tetapi Aruna tahu, di balik kalimat yang di ucapkan pasti ada rasa kecewa yang tak terucap.

Mendengar jawaban dari ibunya, Aruna tak tahan untuk meneteskan air matanya dan ia merasa seolah seluruh dunia menaruh harapan besar kepadanya, dan ia merasa mengecewakan mereka semua.

Selama beberapa minggu setelahnya, Aruna memtuskan untuk pulang kerumah untuk menemui kedua orang tuanya. Di rumah, Aruna masih tenggelam dalam kesedihan. Keluarganya mencoba menyemangatinya, tetapi Aruna tetap terdiam dan tenggelam dalam kekecewaan.

Sore harinya, ibunya mengajak Aruna duduk di taman belakang rumahnya. Sambal memegang tangan Aruna, ibunya berkata, "Aruna, mimpi itu memang penting, tapi terkadang, jalan untuk mewujudkannya tidak selalu lurus. Ada banyak cara lain yang bisa kamu coba. Mungkin, Tuhan punya cara lain untukmu."

Kata- kata ibunya terus membekas di hati Aruna.

Waktu terasa berjalan lambat, sementara harapan yang dulunya menyala terang kini perlahan-lahan mulai padam. Kawan-kawannya mulai lulus dan mencapai cita-cita mereka masing-maing, dan Aruna hanya bisa melihat dari kajauhan yang terjebak dalam lingkaran kegagalan yang ia alami.

Suatu sore hari, ketika Aruna sedang termenung di taman kampus yang cukup sepi, seseorang yeman lama Aruna  datang menghampirinya. Dia bernama Sarah. Sarah adalah teman satu bimbingan belajar dengan Aruna. Dia sekarang bekerja sebagai asisten administrasi kesehatan.

"Kamu baik-baik saja?" tanya sarah sambal duduk di samping Aruna.

Sambil tersenyum tipis Aruna menjawab, "Aku gagal lagi Sar, bahkan aku ngak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang?" jawab Aruna dengan nada sedih.

Sarah menatap Aruna dengan penuh pengertian. "Aku tahu rasanya, dan aku juga punya mimpi besar menjadi seorang dokter, sama sepertimu. Tapi terkadang hidup ngak selalu berjalan sesuain dengan apa yang kia rencanakan. Bukan berarti juga kita harus berhenti untuk bermimpi, tapi kemungkinan kita perlu adanya penyesuaian cara kita melihat mimpi itu".

Aruna menggerutkan dahinya, "Maksudmu?".

Sarah tersenyum melihat wajah Aruna, "Mungkin kamu memang tidak menjadi seorang dokter seperti apa yang kamu bayangkan dulu. Tapi itu bukan berarti kamu gagal dalam hidup. Masih banyak jalan lain untuk membantu orang. Aku misalnya, menemukan panggilan di bidang administrasi. Siapa tahu, kamu juga bisa menemukan sesuatu yang bahkan lebih besar daripada yang pernah kamu impikan?".

Malam itu, kata-kata yang di ucapkan Sarah terus terngiang di kepala Aruna. Mungkin, kegagalan ini bukan akhir, tetapi sebuah belokan di jalan hidupnya yang panjang. Dengan mengingat kata-kata Sarah, ia mulai untuk berpikir ulang, bukan tentang mimpinya menjadi dokter, tetapi tentang apa yang sesungguhnya ia inginkan dalam hidupnya dengan membantu orang lain, memberikan kontribusi nyata. Kegagalan tidak merenggut kemampuannya untuk bermimpi tetapi memberikan kesempatan untuk melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda.

Aruna mulai membukakan dirinya pada kemungkinan lain. Dia mendaftar ualng kampus, kali ini bukan untuk jurusan kedokteran, tetapi untuk jurusan farmasi. Dia ingin tetap berada di dunia medis, membantu dengan cara yang memungkinkan berbeda dari yang dulu ia bayangkan. Pada saat itu juga, Aruna langsung memeberi tahukan kepada orang tuanya bahwa ia akan mendaftar ulang kampus dengan jurusan baru yang ia minati.

Dengan perasaan yanh gugup, Aruna berkata "Ayah, Ibu, sepertinya aku akan mencoba lagi untuk mendaftar kampus. Tapi, kali ini bukan jurusan kedokteran melainkan jurusan farmasi. Mungkin dengan aku mendaftar di jurusan farmasi, aku akan lolos".

"Iya nak, apapun yang kamu akan pilih ayah dan ibu akan terus mendukung kamu" jawab ayahnya dengan nada lirih.

"Ayah dan ibu akan selalau mendoakanmu. Semoga kali ini kamua kan mendapatkan hasil yang sesuai dengan yang kamu impikan". Jawab ibunya dengan suara lembut.

Mendengar jawaban dari kedua orang tuanya memebuat Aruan semakin yakin dengan apa yang akan dia lakukan selanjutnya.

Beberapa hari kemudian ia menjalani hari-hari di kampus barunya. Aruna merasa senang bertemu dengan teman-teman barunya. Di fakultas farmasi, Aruna mulai menemukan semangatnya kembali. Meski ia tak lagi bercita-cita mengenakan jas dokter, ia mulai menyedari bahwa ilmu farmasi tak kalah mulianya. Ia belajar dengan giat, mendalami berbagai jenis obat, dan memahami bagaimana obat-obatan dapat membantu proses penyembuhan pasien. Dalam perjalanannya, Aruan merasa bahwa jurusan farmasi memeberikan kebahagiaan yang sama seperti ketika ia dulu bermimpi menjadi seorang dokter.

Hari-hari berlalu, akhirnya, Aruna lulus sebagai seorang apoteker. Orang tuanya merasa bangga kepadanya. Dan ayahnya berkata, "Akhirnya Aruna, kamu bisa lulus. Ayah dan Ibu bangga kepadamu. Meski banyak rintangan yang harus kamu hadapi dulu tapi ayah dan ibu sangat bangga".

"Terima kasih ayah, ibu. Karena ayah dan ibu selalu mendoakan aruna dan terus mendukung apa yang aruna lakukan sampai detik ini. Aruna berterima kasih banyak kepada ayah dan ibu." Jawab aruna dengan lembut.

Kini Aruna bekerja di sebuah rumah sakit, membantu para pasien mendapatkan obat yang tepat. Setiap kali ia memberikan obat kepada pasien dan mendengar ucapan terima kasih dari mereka, Aruna tersenyum. Mimpi menjado dokter mungkin sudah tertinggal, tapi ia menemukan jalan yang tak kalah indah.

Mimpi itu, ternyata tidak sepenuhnya hilang, hanya berubah bentuk. Aruna tetap bisa berkontribusi didunia kesehatan, walau bukan sebagai dokter. Dan disitulah ia menemukan kebahagiaan baru, di jalur yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun