Mohon tunggu...
muhamad faqih adzkia
muhamad faqih adzkia Mohon Tunggu... Foto/Videografer - mahasiswa

nama saya muhamad faqih adzkia bisa di panggil faqih, saya anak ke 3 dari 4 bersaudara, terimkasih

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

PERAN PSIKOLOGI AGAMA DALAM PENGUATAN NILAI

30 Januari 2024   12:30 Diperbarui: 30 Januari 2024   19:01 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

PERAN PSIKOLOGI AGAMA DALAM PENGUATAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

 

Untuk memenuhi tugas uas psikologi agama

Dosen pengampu:

Ika Rahayu Satyaninrum, M.Si

 

Oleh:

Muhamad Faqih Adzkia 

(2022220015)

 

 

 

PROGRAM SARJANA

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-HAMIDIYAH JAKARTA 2024

 

Abstrak: Pendidikan Agama Islam tidak lepas dari sentuhan aspek-aspek psikologis, khususnya Psikologi Agama, sebagai pengasuhan dalam menciptakan insan yang mengenal, menghayati, mengimani, mengamalkan ajaran agama secara kaffah. Materi pendidikan Islam diharapkan memiliki perspektif psikologis kritis untuk membantu siswa lebih memahami fenomena keberagamaan terkait dengan mata pelajaran inti pendidikan Islam. Dengan menggunakan studi komparatif, penelitian ini menyimpulkan bahwa psikologi Islam berperan dalam penafsiran ajaran Islam. Memahami tahapan jiwa agama seorang peserta didik, mengantisipasi terjadinya pemurtadan melalui kajian psikologi konversi agama, memahami makna kesehatan jiwa dan gangguan kejiwaan perspektif agama Islam dan penguatan toleransi beragama, dan sebagai peran.

Kata Kunci: Psikologi Agama, Pendidikan Agama Islam, Toleransi Beragama

Pendahuluam 

Pendalaman Materi Pendidikan Agama Islam, sering disebut PAI, meniscayakan kuberinggungan dengan bentukan lain. Tujuan pendidikan Islam adalah untuk menanamkan pada masyarakat pemahaman yang lebih baik tentang Islam dan untuk mendorong perilaku dan pemahaman iman yang lebih baik. Dengan cara ini, kegagalan untuk mematuhi prinsip-prinsip psikologis akan mengakibatkan hasil di bawah standar. Apabila materi keagamaan disampaikan namun aspek kehidupan muridnya tidak diperhatikan, maka dapat mengakibatkan materi tersebut tidak terintegrasi dengan baik dalam kehidupan murid. Faktanya, mengajarkan agama Islam tanpa memahami dan beradaptasi dengan pola pertumbuhan spiritual anak dan remaja akan menghasilkan model pendidikan yang tidak memadai.

Selama ini materi pendidikan Islam belum sepenuhnya terintegrasi dengan perspektif sejarah, sosiologis, dan psikologis, kecuali jika secara khusus didasarkan pada wacana normatif yang matang. Akibatnya materi yang digunakan dalam pendidikan Islam kabur dan tidak memahami konteksnya. Oleh karena itu, mempelajari sejarah, sosiologi, dan psikologi diperlukan untuk membantu masyarakat memahami agama dan melakukan aktivitas yang lebih bermakna dan produktif. Apalagi di masa sekarang, disiplin ilmu seperti psikologi dan antropologi harus diperkuat dalam pendidikan agama untuk mencapai tujuan pendidikan Islam yang holistik, universal, dan menyenangkan.

Dalam bidang psikologi misalnya, perlu adanya kerjasama yang erat antara pengembang materi PAI dengan mahasiswa, khususnya dalam kajian psikologi Agama di kalangan mahasiswa. Tujuan dari artikel ini adalah untuk mengkaji hubungan ini sambil mencari model yang cocok untuk kolaborasi antara psikologi Islam dan pendidikan Islam. Hasil Yang diharapkan adalah suatu rumusan khusus dimana psikologi agama dapat menjadi alat berharga dan subjek penting dalam kajian materi pendidikan Islam.

  • Metode 
  •           Peneulisan ini menggunakan desain studi komparatif untuk menguji hubungan kedua variabel. Menurut Winarno Surakhmad, model deskriptif analisis komparatif digunakan dalam penelitian ini untuk mengidentifikasi area masalah melalui analisis hubungan faktor-faktor yang mungkin ada dalam kaitannya dengan situasi atau fenomena yang dibandingkan atau dievaluasi (Winarno Surakhmad, 1986:84). Sedangkan menurut Nazir, analisis komparatif merupakan model penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengidentifikasi sebab-sebab suatu fenomena dan menganalisis faktor-faktor yang menyebabkannya sehingga sampai pada suatu kesimpulan (Moh. Nazir, 2005:58).
  •           Dalam penelitian ini, dua variabel dibandingkan secara lebih rinci pada pencarian titik temu untuk mengidentifikasi satu temuan utama. Konsep yang perlu dipahami dalam kajian penelitian ini adalah bagaimana variabel pertama mempengaruhi tingkat pembuktian variabel kedua. Dengan kata lain, setelah membandingkan dan mengkaji perbedaan antara pendidikan Islam dan psikologi, maka teridentifikasi sebuah titik temu yang menghubungkan keduanya. Dari titik temu ini kemudian dibahas gagasan dan konsep tertentu tentang bagaimana psikologi agama menjaga dukungan terhadap pendidikan Islam. Temuan-temuan penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi yang berharga bagi para pendidik dan peserta didik, khususnya di bidang studi Islam, baik di ruang kelas dan madrasah maupun dalam bimbingan belajar privat, agar lebih utuh menyikapi psikologi Islam dalam konteks bahan ajar.

  • Pembahasan 

    • 1. Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam, Objek Kajian dan Ruang Lingkupnya.
  •             Secara umum, pendidikan adalah proses pemberian pengetahuan, keterampilan, nilai-nilai, dan bimbingan kepada peserta didik dalam suasana formal atau informal dengan tujuan menjadi warga negara yang bertanggung jawab, sadar diri, jeli, dan beretika dalam masyarakat. Asal usul pendidikan bermula dari usaha manusia untuk meningkatkan kesadaran dan mencapai aktualisasi diri. Melalui pendidikan, manusia dapat belajar satu sama lain, menularkan ilmu pengetahuan, memperkuat pemahamannya, dan lambat laun bisa berdamai satu sama lain. Pendidikan adalah pengajaran komprehensif yang mencakup aspek kognitif, psikologis, dan fisik. Selain itu, pendidikan juga menekankan tanggung jawab umat manusia untuk membangun hubungan horizontal dan vertikal yang kuat. Hubungan horizontal adalah hubungan dengan manusia lain dan laut, dan hubungan vertikal adalah hubungan dengan Tuhan dan entitas terkait lainnya.
  •             Dalam hal ini, pendidikan Islam diutamakan agar peserta didik dapat memahami, menghargai, mengamalkan, dan menerapkan pembelajaran yang diperoleh Islam adalah menjadi pribadi yang beriman, bertakwa dan berakhlak mulia, bersumber dari Al-Qur'an dan Hadis dengan memahami kegiatan pembimbingan, pengajaran, pelatihan, serta praktik dan pengamalan (Dahwadin dan Farhan Sifa Nugraha, 2019:7-8). Menurut Peraturan Pemerintah Indonesia Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Keagamaan dan Pengetahuan Keagamaan disebutkan bahwa Pendidikan Keagamaan dan Pengetahuan Keagamaan.
  •  
  • 2. Psikologi Agama, Objek Kajian dan Cakupannya
  •             Psikologia adalah studi tentang perilaku manusia dan sifat-sifat psikologis. Pengetahuan ini telah berkembang sejak awal tahun 1900-an melalui berbagai pendekatan, teknik, kursus, dan pemahaman konseptual. Penelitian psikologi dapat dipandang sebagai suatu sistem yang menggunakan banyak metode penelitian untuk membantu manusia memahami apa yang diciptakan, diyakini, dan diterima oleh manusia (Robert, H. Thouless, 2000:13).
  •             Dalam terminologi psikologis, agama mengacu pada sikap dan perilaku yang dipengaruhi oleh norma-norma yang bersifat sementara dan abadi. Dalam Ensiklopedia Filsafat disebutkan beberapa komponen keagamaan yang secara konsisten mempunyai makna psikologis. Diantaranya adalah: Pertama, keyakinan akan adanya kekuatan gaib; Kedua, kesediaan untuk mendamaikan kekuatan supranatural dan profan; Ketiga, persembahan ritual terhadap segala sesuatu yang tampak supranatural; Keempat, berasal dari mengamalkan tuntutan diakini moral Dari kitab suci: Kelima, perasaan khas agama meliputi ketakjuban, misteri, rasa bersalah, dan pemujaan Individu yang menunjukkan kebajikan terus-menerus ketika melakukan ritual di dekat benda suci dan merasa terhubung dengan Tuhan; Keenam, sembahyang, peribadatan, dan beragam komunikasi keagamaan; Pertama, pandangan dunia, atau representasi umum dunia secara keseluruhan dan tempat masing-masing individu di dalamnya. Bagian ini berisi penjelasan yang tepat tentang tujuan dunia ini dan wawasan tentang bagaimana setiap individu berinteraksi dengan dunia; Kedelapan, pertimbangan padangan dunia dan norma tersebut mengatur pengelolaan kehidupan secara menyeluruh. Akibatnya, terdapat kelompok-kelompok sosial yang dipengaruhi oleh pandangan dunia yang serupa, sehingga memperkuat institusi, komunitas, dan solidaritas (Jalaluddin Rakhmat, 2003:28).

Kontribusi Psikologi Agama dalam penguatan Nilai-nilai Pendidikan Agama Islam.

            Pendidikan Islam memodernisasi prinsip-prinsip agama tidak hanya dalam ranah kognitif dan praktis tetapi juga dalam kondisi emosional dan mental siswa. Dari sinilah Psikologi Agama kemudian berkembang dan mempunyai peran yang berkontribusi. Pendidikan Agama Islam untuk semakin memperteguh dan menguatkan nilai-nilainya, bahkan Kajian Psikologi Agama yang berusaha memahami jiwa keagamaan pada manusia. Melalui kontribusi yang diperoleh dari Psikologi Agama, pendidikan Islam dapat menjadi lebih dinamis dan komprehensif di benak peserta didik. Lebih tepatnya, berikut beberapa kontribusi psikologi agama dalam rumusan ayat-ayat tersebut.

Memahami tahapan jiwa agama seorang peserta didik.

            Dalam pendidikan Islam perlu dipahami syarat-syarat umum yang berlaku bagi para pemeluk agama. Kurikulum juga perlu disesuaikan dengan kebutuhan individu setiap siswa. Sebagaimana diungkapkan Dzakiyah Darajat Meskipun dampak pendidikan agama terhadap anak hanya terbatas pada usia 0 hingga 12 tahun, namun potensinya sudah mulai berkembang sejak anak ditempatkan dalam wadah. Dengan cara ini, setiap orang dewasa seharusnya sudah menyadari pentingnya iman pada anak mereka dan menyesuaikan pertumbuhan pribadi mereka dengan hal tersebut. Oleh karena itu, melalui anggota keluarga dan masyarakat, anak mulai berbicara tentang Tuhannya. Sikap dan tindakan orang tua serta besarnya keluarga besar sangat mempengaruhi tumbuh kembang keyakinan agama pada anak (Bambang Syamsul Arifin, 2008:47).

            Rasa ketergantungan (sense of defence) dan jiwa keagamaan pada anak-anak seperti yang ditulis oleh Jalaluddin adalah dua hal dan instik keagamaan. Thomas menjelaskan pengertian ketergesaan melalui teori empat keinginan. Berdasarkan hal tersebut, ada empat keinginan yang timbul dari perasaan dikhianati: keinginan untuk dilindungi, keinginan untuk mendapatkan pengalaman baru, keinginan untuk mendapatkan dukungan, dan keinginan untuk diakui. Berdasarkan pengalaman dan kerjasama beberapa keinginan tersebut, sejak anak dilahirkan, sudah terjadi keadaan ketergantungan. Belakangan, Ia menjelaskan perolehan yang diperoleh dari lingkungan dan membantu menguatkan keyakinan keagamaan dalam diri (Bambang Syamsul Arifin, 2008:49).

            Menurut Woodworth, keyakinan apa pun adalah sesuatu yang dimiliki seseorang sejak lahir. Alasan yang melatarbelakangi tindakan keagamaan yang tidak memuaskan pada bayi adalah karena adanya faktor psikis dan fisik yang menghalangi tindakan keagamaan tersebut berfungsi secara utuh. Misalnya, kecerdasan sosial bayi adalah potensinya untuk berkembang menjadi homo sosialis baru yang akan aktif setelah ia mampu berkomunikasi dan mengatasi defisit komunikasinya. Dengan demikian, perkembangan sosial dan keagamaan bayi akan mengikuti perkembangan fisiologis dan psikologisnya sehingga akan mendorong tumbuh kembangnya secara optimal (Bambang Syamsul Arifin, 2008:49). Dengan demikian, meskipun anak belum mampu mengungkapkan tanggapannya, namun stimulus-respon keagamaan tetap harus diberikan.

            Menurut Bambang Syamsul Arifin (2008), ada tiga tahap perkembangan keagamaan anak, yaitu tahap imajinatif (fase dongeng), tahap realistis (fase realistis), dan tahap individu (fase individual).

            Hal serupa juga terjadi pada fase kejiwaan pada generasi remaja dan dewasa. Setiap zaman mempunyai fase, kecenderungan, dan tantangan yang berbeda-beda. Dengan demikian, materi pendidikan Islam hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan psikologis siswa berdasarkan fase pertumbuhannya.

b. Mengantisipasi terjadinya pemurtadan, melalui kajian psikologi konversi agama.

Konversi agama adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu proses yang menimbulkan rasa sakit pada saat menjalankan suatu ritual tertentu, baik yang dilakukan secara tiba-tiba maupun secara bertahap-angsur (Robert H Thouless, 2000:189). Sebagai konversi agama, makasi luas mencakup suatu perubahan pada sikap, moral, dan intelektual seseorang terhadap agama yang dianutnya. Dalam pengertian yang lebih radikal, konversi agama dipahami sebagai proses perpindahan identitas individu dari satu agama atau keyakinan ke agama atau keyakinan lain yang berbeda. Dalam Islam, seseorang yang berpindah agama di luar Islam boleh memilih menjadi pemeluk agama Islam (apa pun temanya), yang disebut mualaf atau orang yang menolak Islam. Sebaliknya, orang yang masuk Islam disebut murtad.

            Kajian psikologi agama menitikberatkan pada fenomena perpindahan agama secara lebih obyektif dengan menganalisis tema, objek, dan sikap proses perpindahan agama tersebut orang bermoral yang terlibat dalam konversi. Dengan demikian, Kajian dapat berkontribusi dalam pendeteksian benda asing yang mengancam masyarakat. Untuk membantu sikap tegas didik dalam banyak hal, penambahan materi penguatan akidah dan syari'ah harus diberikan. Oleh karena itu, pendidikan tasawuf diperlukan untuk menanamkan aspek moral dan spiritual agama. Pemahaman konsep-konsep psikologi yang berkaitan dengan Islam dapat dijadikan landasan dalam pendidikan Islam.

            Psikologi Agama dapat memberikan konsepsi dan potensi konversi agama untuk pendidikan. Selain itu, psikologi agama dapat merekomendasikan praktik-praktik tertentu dari bahan ajar Islam untuk mengurangi dampak perpindahan agama. Materi antisipasi pendangkalan akidah juga perlu mempertimbangkan aspek psikologis agar dampak yang ditimbulkan terhadap orang yang melakukan konversi tidak terjadi secara tidak proporsional atau kebetulan. Pencegahan terjadinya konversi agama dapat dilakukan melalui penguatan kajian spiritual dan mistisisme.

c. Memahami makna kesehatan jiwa dan gangguan kejiwaan perspektif agama Islam.

            Kesehatan jiwa sering juga disebut dengan kesehatan mental. Dzakiyah Darajat menggunakan sebagai pandangan psikolog jiwa penyakit (neurosis/psikosis) untuk ciri orang yang memiliki kesehatan mental, yaitu Pertama. Kedua, mereka mempunyai kemampuan menyesuaikan diri dengan masyarakat dan lingkungan; Ketiga, mampu menyelaraskan fungsi berbagai jiwa, mempunyai kemampuan mengakomodir preferensi pribadi, serta tahan terhadap konflik dan kesadaran batin; dan terakhir, mereka memiliki kemampuan untuk mengembangkan kesabaran guna mencapai keseimbangan eksistensial yang diperlukan bagi diri mereka sendiri (Sururin, 2004:142–143).

  •             Ciri-ciri tersebut di atas merupakan pengertian yang berkenaan dengan manusia secara khas. Manusia yang tidak mempunyai sifat abnormal tidak mempunyai gangguan jiwa; sebaliknya, mereka bersifat adaptif, mempunyai fungsi kejiwaan, dan mempunyai kemampuan memecahkan masalah secara stabil. Dalam Islam, hal ini dimiliki oleh mereka yang memiliki ikatan spiritual dengan agama dan Allah. William James menyatakan bahwa orang yang memiliki Komitmen terhadap keyakinan agama secara konsisten membuat anggotanya lebih sehat. Keadaan ini ditandai dengan optimisme, spontanitas, bahagia, penuh gairah, dan vitalitas. Sebaliknya, mereka kurang memiliki komitmen yang kuat terhadap keyakinan agama dan akan memandang agama sebagai sarana untuk mencapai kehidupan yang baik, dengan sedikit pengecualian yang melibatkan penyakit jiwa. Orang-orang yang tidak mengetahui doktrin-doktrin agama akan terkena dampak negatif dari meluasnya keraguan diri, kepahitan, dan kebencian. Menurut Dahwadin dan Farhan Sifa Nugraha (2019:7-8), agama memiliki peran pendidikan dimana remaja yang sedang tumbuh dan psikologi yang belum mapan dan matang perlu diperkuat bagi mereka kemampuan pengendalian diri dari nilai-nilai moral dan agama.
  •             Dalam Islam, pengertian, fungsi, dan jalannya kesehatan jiwa dijelaskan lebih detail. Manusia di muka bumi adalah untuk beribadah dalam pengertian yang luas, serta perintah dan tujuan Allah. Amalan yang dihadirkan di sini meliputi seluruh aspek kehidupan manusia, meliputi i'tikad, pikiran, amal sosial, jasmani, rohani, akhlak, dan keindahan. Ibadah juga dipahami sebagai sarana yang digunakan manusia untuk mengaktualisasikan potensinya, antara lain potensi intelektual, fisik, sosial, kayaan, pendengaran, penglihatan, berpikir (Sururin, 2004: 143). Jika tujuan salat adalah mencapai keselarasan sumbu vertikal dan horizontal, serta kondisi lain yang juga menunjukkan kesehatan mental akidah Islam, maka jelas Islam kesulitan mendefinisikan mental dan jiwa yang sehat atau tidak. Dapat disimpulkan bahwa kesehatan mental dalam Islam merupakan salah satu komponen ritual pertobatan Manusia mempunyai potensi yang tidak terbatas yang dapat dimanfaatkannya untuk berkomunikasi dengan Tuhan dan agama, yang disebut dengan nafs dan nafs muthmainnah.

  • d. Penguatan toleransi beragama.
  •             Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, Psikologia Agama merupakan bidang studi objektif yang bertujuan untuk tidak memberikan atau mengurangi ajaran agama. Meskipun demikian, dalam kajian psikologi agama, empati diperlukan untuk mencapai tujuan dalam upaya memahami pengalaman agama. Robert, H. Thouless menyatakan bahwa meskipun pendidikan agama tidak selalu memberikan wawasan tentang keyakinan orang lain, namun memberikan dukungan terhadap toleransi terhadap berbagai macam agama. Dengan demikian, selain berfungsi sebagai indikator pasif keyakinan beragama, penelitian psikologi agama juga harus mampu mengevaluasi keyakinan beragama guna meningkatkan toleransi dan kepekaan (Robert, H. Thouless, 2000:03). Robert sedikit lebih tua dari H Thouless, yang berkata;

“Toleransi agama telah berkembang pesat sejak awal abad ini; perbedaan- perbedaan agama tidak lagi dianggap sebagai alasan untuk saling mencela melainkan ajakan untuk berusaha untuk saling memahami. Masing panjang jalan yang harus kita lalui. Memang saling pengertian terhadap perbedaan agama tidak hanya memerlukan iktikad yang baik tapi juga pengetahuan yang benar….. akan tiba suatu saat ketika penerapan metode-metode psikologik dalam pengkajian terhadap agama akan membantu tercapainya toleransi dan saling pengertian diantara manusia (Robert, H Thouless, 2000:03).

  •             Oleh karena itu, kajian psikologi Agama dapat menjadi alat yang berguna untuk mengembangkan empati dan toleransi terhadap orang lain. Pendidik & pengkaji Pendidikan Agama Islam harus mengikuti wacana pemerintah untuk memperkuat sikap moderat dalam umat beragama yang akhir-akhir ini semakin digencaran. Kurikulum, media, dan metode pengajaran Islam harus mempertimbangkan perkembangan psikologi terkini yang berkaitan dengan ajaran agama.

  • Kesimpulan 
  •             Pendidikan Agama Islam adalah upaya pembelajaran yang diberikan kepada peserta didil untuk melatih pemahaman, penghayatan dan keyakinan mereka terhadap agama Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis melalui proses bimbingan, pengajaran, latihan, praktik dan pengamalan. Pendidikan Agama Islam menjadi satu materi yang secara resmi diajarkan untuk membentuk jiwa religious, beretika dan berwawasan bagi peserta didik yang komponen dan tujuannya diatur dalam sistem perundang-undangan dan peraturan pemerintah. Dengan demikian kajian mengenai Pendidikan Agama Islam, terkait strategi, problem, wacana dan kontribusinya menjadi sangat perlu. Sedangkan Psikologi Agama adalah sebuah kajian yang mempelajari gejala jiwa keagamaan secara ilmiah dan objektif. Dalam hal ini, melalui studi komparasi peneliti ingin menemukan titik temu diantara Pendidikan Agama Islam dan Psikologi Agama mengingat aspek-aspek pemahaman kejiwaan peserta didik menjadi sesuatu yang belum secara optimal dikembangkan dalam upaya menyajikan materi Pendidikan Agama  Islam.

       Penulis melalui studi ini kemudian mengharapkan sebuah kontribusi bagi penguatan nilai-nilai pembelajaran dan pengembangan materi Pendidikan Agama Islam. Penelitian ini kemudian menemukan beberapa kontribusi Psikologi Agama bagi penguatan nilai-nilai dan pemantapan materi Pendidikan Agama Islam khususnya di Indonesia. Beberapa diantara peran kontributif tersebut          diantaranya:    Pertama, memahami tahapan jiwa agama seorang peserta didik untuk penyesuaian sajian materi. Karena melalui pemahaman yang tepat terhadap perkembangan jiwa peserta didik, maka materi yang disajikan akan lebih sesuai dan efektif. Kedua adalah memahami dan mengantisipasi terjadinya pemurtadan, melalui kajian psikologi konversi agama. Selama ini, penanganan terhadap kasus pemurtadan menjadi lebih berorientasi teologis daripada kajian psikologi. Dalam studi Psikologi Agama, kajian konversi agama menjadi salah satu materi yang dikembangkan guna memahami fenomena jiwa keagamaan mereka yang berpindah agama. Pemahaman yang matang terhadap jiwa keagamaan akan menjadi instrumen yang bagus untuk menangani gejala pemurtadan dan pindah agama. Ketiga, memahami makna kesehatan jiwa dan gangguan kejiwaan perspektif agama. Hal ini menjadi penting untuk mengembangkan dan mengkomparasikan gejala gangguan mental perspektif psikologi konvensional dengan yang terdapat dalam referensi-referensi keagamaan Islam. pada umumnya, psikopatologi dalam Islam lebih kepada penyakit jiwa, hati dan ruh (nafs, qalb dan ruh). Perbedaan kacamata dalam melihat abnormalitas menarik untuk semakin dikembangkan. Misalnya abnormalitas barat berdasarkan kepada etika umum, sedangkan abnormalitas dalam Islam lebih kepada ketaatan dan ketakwaan, sejauh mana seseorang menyimpang dari dua kata kunci tersebut. Keempat adalah penguatan toleransi beragama. Seperti yang disebutkan oleh Robert, H Thouless bahwa Psikologi Agama dapat berkembang menjadi instrumen untuk menumbuhkembangkan semangat toleransi. Hal ini menjadi mungkin mengingat Psikologi Agama mengarahkan kepada pemahaman terhadap aneka model pengamalan dan pengalaman keagamaan sehingga membuka wawasan dan mengembangkan wacana toleransi.

 

 

 

  • DAFTAR PUSTAKA

Hamdani Bakran Adz-Dzaky, Konseling dan Psikoterapi Islam (Yogyakarta: Pajar Pustaka Baru, 2006)

Dahwadin, Farhan Sifa Nugraha, Motivasi dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam

(Wonosobo, Mangku Bumi Media, 2019)

Hasbi W, Harrys Pratama Teguh, Pendidikan Agama Islam Era Modern, (Yogyakarta, Leutika Prio, 2019)

Winarno Surakhmad, Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar, Metode, dan Teknik

(Bandung, Tarsito, 1985)

Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta, Ghalia Indonesia, 2005)

Robert H. Thouless, Pengantar Psikologi Agama, terj. Manchun Husein (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2000)

Sururin, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2004)

Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama Sebuah Pengantar (Bandung, Mizan, 2003) Endang Kartikowati dan Zubaedi, Psikologi Agama dan Psikologi Islami Sebuah

Komparasi (Jakarta, Kencana, 2016)


  •  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun