Mohon tunggu...
Faqih Ma arif
Faqih Ma arif Mohon Tunggu... Dosen - Civil Engineering: Discrete Element | Engineering Mechanics | Finite Element Method | Material Engineering | Structural Engineering |

Beijing University of Aeronautics and Astronautics | 601B号房间 | 1号楼, 外国留学生宿舍 | 北京航空航天大学 | 北京市海淀区学院路 | 37學院路, 邮编 |100083 |

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Renungan Hari Nelayan Nasional, Diperingati namun Diabaikan

6 April 2020   16:05 Diperbarui: 6 April 2020   19:51 915
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Hari Nelayan Nasional | lines.id

"Kita pernah besar menjadi bangsa bahari, untuk mengulang semua itu, kami berharap pemerintah mampu meningkatkan perhatiannya kepada nelayan lokal. Sehingga taraf hidup mereka bisa lebih baik lagi." Dilansir dari lines.id

Hari Nelayan nasional diperingati dan ditetapkan setiap tanggal 06 April sejak sejak tahun 1960 era pemerintahan orde baru. Di tahun 2020, Hari nalayan nasional diperingati ke-60 kalinya. 

Hari Nelayan Nasional sebenarnya diperingati sebagai bentuk apresiasi kepada beliau para nelayan Indonesia yang terus berupaya dan berperan aktif dalam rangka kecukupan dan pemenuhan gizi, protein, untuk seluruh lapisan masyarakat Indonesia.

Profil potensi Indonesia
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia memiliki 17.499 pulau yang membujur dari Sabang hingga Merauke. 

Indonesia memiliki total luasan wilayah sebesar 7.81 Juta kilometer persegi, terdiri dari 2.01 kilometer persegi daratan, 3.25 juta kilometer persegi lautan, serta 2.55 juta kilometer persegi Zona Ekonomi Ekslklusif (ZEE). 

Bisa dibayangkan, dari angka-angka tersebut, Indonesia ternyata memiliki luasan laut yang lebih besar, sehingga kita layak mendapatkan predikat sebagai negara maritim.

Polemik Penentuan Hari Nelayan Nasional
Hari Nelayan Nasional yang setiap tahun diperingati pada 06 April, rencananya akan diganti menjadi 21 Mei. Hal ini memicu protes dari berbagai kalangan, terutama yang peduli dengan kehidupan nelayan.

Protes keras diajukan oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) yang mengatakan bahwa perubahan tanggal menjadi 21 Mei adalah usulan yang ngawur. 

Bagi KIARA, usulan menjadi 21 Mei mencerminkan bahwa negara tidak mengetahui fakta sejarah yang ada, yang melibatkan nelayan dan perempuan nelayan seluruh Indonesia.

Berdasarkan pertimbangan faktor sejarah dan keterlibatan nelayan, jika diganti menjadi tanggal 21 Mei, maka momen peringatan sejak 60 tahun lamanya itu tidak lagi menjadi hal yang fenomenal di hati para nelayan.

Jikapun perubahan itu tetap dilaksanakan, maka diusulkan peringatan hari nelayan itu pada tanggal 16 Juni. Kenapa demikian?, karena 16 Juni nelayan Indonesia Bangkit dan hak konstitusionalnya diakui oleh keputusan MK No.3/PUU-VIII/2010. Tanggal tersebut juga mengandung arti tentang kemenangan nelayan atas ruang hidupnya.

Namun, hingga kini Hari Nelayan Nasional tetap diperingati setiap tanggal 06 April. Apakah kemudian akan diganti?, kita tinggal menunggu keputusan DPR dan Pemerintah, langkah apa saja yang dilakukan untuk mengganti tanggal tersebut.

Diperingati, namun diabaikan
Saat ini, nelayan masih dalam kubangan kemiskinan struktural, seperti dilansir berbagai sumber oleh Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA).

Sementara, pembangunan sektor maritim nasional Indonesia sebenarnya bergantung pada Nelayan yang sekaligus menjadi tulang punggung dalam proses pembangunan tersebut.

Kenyataannya, tuntutan nelayan Indonesia mengenai beberapa hal pokok yang belum juga mendapatkan apresiasi serius dari pemerintah, diantaranya adalah anggaran yang dialokasikan untuk bidang perikanan dan kelautan tidak diarahkan untuk melindungi serta dapat menyejahtarakan masyarakat di wilayah pesisir skala lintas kecil. 

Kedua adalah melusanya perampasan wilayah pesisir yang sebenarnya menjadi tempat tinggal sekaligus ruang hidup masyarakat nelayan, sangat kurangnya partisipasi masyarakat nelayan meskipun sumbangsihnya dilapangan sudah sangat besar, Tidak ada penghubung antara aktivitas perikkanan skala kecil dari hulu ke hilir, serta tidak ada atensi khusus dari pemerintah terhadap ABK dengan juragan atau pemilik kapal.

Beberapa hal pokok itulah yang seharusnya saat ini mendapatkan sambutan baik dari pemerintah, terlebih saat ini adalah momen yang tepat di Hari Nelayan Nasional. 

Bagaimanapun juga, kesejahteraan nelayan itu sangat penting, karena Nelayan kita menjadi actor penting dalam mengelola perairan nasional. Bayangkan saja, luas laut kita ditambah ZEE sekitar 5.8 juta kilometer persegi memiliki potensi perikanan sebesar 6.5 juta ton. Fantastis!

Apakabar dengan perampasan pesisir?
Kondisi psikis para nelayan dipengaruhi ileh salah satunya adalah perampasan pesisir yang terus meluas oleh pihak tertentu. KIARA melaporkan tentang fakta bahwa dengan adanya reklamasi, ternyata telah menggusur setidaknya 14.344 nelayan dan 18.151 kepala keluarga.

"Berubah-ubahnya target program dan indikator kinerja kelautan dan perikanan yang diharapkan menunjukkan minusnya kajian pendahuluan yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan," dilansir dari laman mongabay.co.id.

Lantas???, Nelayan tersebut harus mencari mata pencaharian baru setelah lahan utama mereka untuk mencari nafkah dialihfungsikan menjadi reklamasi (daratan baru) oleh pengembang dan pihak beruang.

Sayangnya, di balik itu semua ternyata ada peran pemerintah yang ikut mendukung program reklamasi. Di beberapa daerah di Indonesia misalnya, pemerintah setempat mendukung program reklamasi dengan bantuan dana sampai dengan miliaran rupiah.

Tidak hanya itu, selain reklamasi, adanya pembangunan PLTU berkapasitas 35.000 megawat juga merupakan salah satu bentuk perampasan wilayah atau pesisi tangkap nelayan dalam menjalankan mata pencahariannya.

Fakta di atas menunjukkan bahwa penggerusan dan perampasan wilayah pesisir teruslah terjadi, dari waktu demi waktu, dan sulit untuk diatasi, karena juga mendapat dukungan dari pemangku kekuasaan. 

Jika terus dibiarkan, maka hal ini akan berdampak buruk terhadap kehidupan nelayan kita, yang sekian lama mengandalkan Kawasan pesisir sebagai area tangkapannya.

Nelayan kita jauh dari Tekonologi
Menurut Pasal 1 Angka 10 UU Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya menangkap ikan. 

Nelayan Indonesia ditaksir saat ini mencapai 2.7 juta jiwa yang merupakan sebagian besar adalah nelayan tradisional. Nelayan merupakan salah satu profesi terbesar kelima setelah Petani, buruh, santri dan guru. Akan tetapi, sebagai posisi lima besar di Indonesia ternyata mereka jauh dari kata makmur dan sejahtera.

Nelayan penangkap ikan di Indonesia berjumlah sekitar 2.73 juta jiwa, pembudidaya sebesar 3.35 juta jiwa. Merekalah yang telah menopang kebutuhan pangan protein di Indonesia dengan persentase sebesar 80 persen, dibandingkan dengan perikanan komersial. 

Armada kecil yang mereka gunakan berjumlah sekitar 550.310 unit (98.77 persen), sedangkan dengan kapal lebih dari 30 (1.239 persen) dan memiliki daya jangkau kapal yang tidak lebih dari 4 mil laut.

Kondisi memprihatinkan lainnya juga dirasakan oleh para nelayan. Diantaranya adalah lingkungan serta tempat tinggal yang kurang baik, masih sangat rentan terhadap gempa bumi, tsunami, banjir, dan berbagai dampak pencemaran lingkungan.

Pemanasan global serta pencemaran lingkungan menyebabkan ketersediaan berbagai jenis ikan yang dirasakan semakin menurun. Tidak hanya itu, mahalnya bahan bakar minyak, dan keterbatasannya menjadikan tingkat produktifitas nelayan kita semakin menurun. 

Peningkatan sarana prasarana, penguasaan teknologi bagi nelayan merupakan hal yang sangat urgent saat ini.

Dari 625.633 unit kapal ikan, hanya 3.811 unit (0,6 persen) yang tergolong modern dan dari 380 ribu ha tambak udang, hanya 10 persen yang modern, kemudian dari 60.885 Unit Pengolahan Ikan hanya 178 (1,2 persen) yang modern. Ujar Rochmin dalam jurnalpublik.com

Tugas berat dalam melaksanakan Nawa Cita presiden Jokowi tentang poros maritim dunia, nampaknya harus ditinjau ulang. Nampaknya nelayan kita menjerit jika hal ini terus dilaksanakan. 

Kenapa demikian? Di samping memiliki tugas sebagai ketahanan pangan nasional, meningkatkan devisa negara di sektor maritim, menunjang perekonomian rakyat serta perekonomian Indonesia, membuat nelayan harus terus berpacu dengan teknologi konvensional, Miris bukan?!.

Sebagai penutup, bagaimana ditengah situasi Pandemi COVID-19 yang merebak di Indonesia?. Disampaikan oleh Menteri Edhy bahwa himbauan untuk physical distancing diberlakukan juga untuk para nelayan. Lalu?, bagaimana dengan nasib mereka?. Nelayanku, Nasibmu kini.

Semoga bermanfaat
Copyright @fqm2020
References 1 2 3 4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun