Mohon tunggu...
Faqih Ma arif
Faqih Ma arif Mohon Tunggu... Dosen - Civil Engineering: Discrete Element | Engineering Mechanics | Finite Element Method | Material Engineering | Structural Engineering |

Beijing University of Aeronautics and Astronautics | 601B号房间 | 1号楼, 外国留学生宿舍 | 北京航空航天大学 | 北京市海淀区学院路 | 37學院路, 邮编 |100083 |

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Fenomena Panic Buying Warnai Indonesia Hadapi Covid-19

3 Maret 2020   14:32 Diperbarui: 4 Maret 2020   08:37 1964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Reportase COVID-19 | Sumber: JHCSSE

Covid-19 saat ini telah merambah ke wilayah Indonesia. Hingga tulisan ini dimuat, Indonesia sudah masuk dalam daftar negara baru yang terkonfirmasi ada penderita corona di dalamnya.

Sejauh ini, pemantauan melalui laman Global Cases by John Hopkins CSSE, telah terdapat korban terkonfirmasi sebanyak 90.428 Jiwa. Jumlah kematian akibat virus jenis ini bertambah menjadi 3.117 jiwa dan yang berhasil sembuh adalah 47.945 Jiwa.

Ketiga negara yang pernah saya tulis sebelumnya yaitu Korea Selatan, Italia, dan Iran menjadi negara terkonfirmasi jumlah penderita terbanyak di luar China.

Reportase COVID-19 | Sumber: JHCSSE
Reportase COVID-19 | Sumber: JHCSSE
Panic Buying
Dilansir dari laman Wikipedia, panic buying adalah pembelian sejumlah besar produk yang tidak biasa untuk mengantisipasi atau setelah bencana atau bencana yang dirasakan, atau mengantisipasi kenaikan harga besar atau kekurangan.

Sejak Presiden Indonesia Joko Widodo dan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengonfirmasi adanya kasus pertama virus corona di Indonesia pada Senin (2/3/2020), masyarakat berbondong-bondong membeli kebutuhan seperti masker dan cairan pencuci tangan dengan jumlah besar. Meski terjadi lonjakan harga untuk barang-barang tersebut, tapi warga tetap membelinya. Dilansir dari suara.com

Panic buying pertama kali dikenal pada 1943 (kelaparan Benggala) yang diperkirakan 2.1 - 3 juta orang meninggal dunia, 1962 (Krisis Rudal Kuba, pembelian makanan kaleng), 1973 (krisis minyak, pembelian minyak besar-besaran. 

Selanjutnya pada tahun 2000 (protes Inggris atas minyak, pembelian minyak jumlah besar), 2005 (musim badai atlantik katrina, pembelian BBM, makanan dll), 2005 (ledakan pabrik kimia di Jilin, pembelian air dan makanan). 

Kemudian berlanjut tahun 2008, 2009, 2011, 2012, 2016, 2017 dan yang terakhir tahun 2019 sampai dengan 2020 pembelian besar-besaran untuk masker dan makanan.

Persediaan Masker Menipis
Sejak diberitakan dua orang terkonfirmasi Covid-19, Indonesia menjadi salah satu negara yang terkena panic buying. Fenomena ini terjadi di salah pusat perbelanjaan Grand Lucky di Kawasan SCBD Jakarta Selatan seperti dilansir situs berita Kompas.

Ilustrasi panic buying di SCBD | Sumber: Kompas.com/Rindi Nuris Velarosdela
Ilustrasi panic buying di SCBD | Sumber: Kompas.com/Rindi Nuris Velarosdela
Disampaikan salah satu pembeli bahwa mereka khawatir sesuatu hal yang besar akan terjadi di luar prediksi, seperti kota Wuhan, sehingga menurutnya perlu untuk mempersiapkan lebih dini dalam mengantisipasi Covid-19.

Di beberapa kota lain seperti Tangerang misalnya, saudara saya melaporkan minimnya persediaan masker di berbagai toko dan apotek di wilayahnya.

"Biasanya membeli masker sangat mudah, akan tetapi hari ini sangat sulit mencarinya meski sudah keliling di berbagai apotek," ujar Yunadillah dalam pesan singkat media social WhatsApp grup

Memang ada stok masker, tapi itupun harganya sangat mahal, tidak seperti biasanya. Sehingga harus mencari cara lain untuk mendapatkannya.

Efek Media Sosial
Jika diamati, pengaruh media sosial ataupun televisi memegang peranan penting dalam panic buying. Sebagaimana diketahui, saat virus Covid-19 mulai melanda China, pemerintah Indonesia telah memproduksi masker dalam jumlah yang sangat besar.

Berbagai organisasi mahasiswa Tiongkok menginisiasi untuk melakukan gerakan sosial terkait dengan ini, salah satunya adalah pengiriman masker ke berbagai daerah di China.

Sebenarnya, kelangkaan masker di Indonesia bukan hanya terjadi dalam waktu dekat ini, sejak Januari masker sulit didapatkan. Meskipun masker dapat dibeli, akan tetapi harganya melonjak sampai dengan lima kali lipat harga normal.

Bahkan, ada yang menjual dengan cara online produknya. Akan tetapi, setelah masker itu terbeli, ternyata tidak sesuai dengan ekspektasi yang diharapkan.

Peristiwa Besar Panic Buying Masker
Jika kita mereferensi peristiwa panic buying masker terbesar di Indonesia, menurut pengalaman yang saya alami dalam lima belas tahun terakhir berada di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Karhutla di Pulau Sumatera.

Meletusnya Gunung Merapi tahun 2010 hampir meluluhlantakan sendi perekonomian warga, khususnya di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Kebutuhan masker saat itu, menjadi peranan penting dalam melindungi warganya, terutama agar tetap sehat dan terhindar dari saluran pernafasan atau ISPA akibat debu Merapi.

Sedangkan kebakaran hutan yang melanda beberapa daerah di pulau Sumatera dan sekitarnya, membuat masker menjadi pilihan utama kala itu.

Tidak kalah penting, meletusnya Gunung Kelud yang abunya sampai ke Yogyakarta pada tahun 2014 juga menutup hampir sebagian besar wilayah Yogya dan sekitarnya, sehingga kebutuhan masker saat itu menjadi sangat penting untuk perlindungan diri dari bahaya letusan abu gunung saat itu.

Di Era Sekarang, Apakah Panic Buying Hanya di Indonesia?
Jawabannya tentu tidak. Terkonfirmasi bahwa panic buying juga terjadi di China, Hongkong, Korea Selatan, Australia, Jepang, dan sebagainya.

"Pemerintah Australia menganjurkan untuk menambah jumlah belanja untuk kebutuhan sehari-hari kami, tapi kami tidak dianjurkan untuk menimbun bahan makanan." kata Dr PrashAn Karunaratne, peneliti dari Macquarie Business School dilansir dari suara.com

Di beberapa lokasi di China misalnya, masyarakat harus menahan diri untuk keluar mencari bahan pokok makanan, karena dikhawatirkan akan tertular Covid-19.

Akan tetapi sebelum Covid-19 menyebar ke berbagai propinsi di Tiongkok, mereka berbondong-bondong untuk melakukan pembelian sembako di pusat perbelanjaan. Sehingga hampir 90 persen seluruh barang di pusat perbelanjaan itu habis terjual.

Panic Buying Makin Besar di Bulan Maret
Berbeda dengan di Jakarta dan sekitarnya, masyarakat yang berada di Kabupaten atau desa, mereka lebih memilih stok persediaan makanan untuk persiapan Ramadhan yang sebentar lagi akan tiba.

Beberapa dari mereka mengatakan bahwa, panic buying terjadi karena harga kebutuhan pokok yang melambung tinggi menjelang Ramadhan dan ini terus berulang sepanjang tahun menjelang bulan Ramadhan.

Sebagai penutup, nampaknya panic buying di Indonesia dapat dibedakan menjadi dua. Bagi mereka yang berada di daerah perkotaan, mereka berbelanja karena khawatir akan merebaknya Covid-19.

Sedangkan bagi masyarakat di daerah, mereka lebih resah jika tidak mendapatkan stok makanan untuk Ramadhan, karena diindikasikan harga sembako akan melambung tinggi seperti biasanya.

Di beberapa kota di Indonesia, pembelian masker untuk kepentingan kesehatan agar terhindar dari Covid-19. Sedangkan di Daerah Istimewa Yogyakarta hari ini, pembelian masker dalam skala besar untuk melindungi diri dan terjaga kesehatannya dari Abu Merapi yang tadi pagi erupsi (03/03/2020).

"Kontradiktif". Dua fenomena yang berbeda, kebutuhan kesehatan dan perut menjadi warna warni tersendiri untuk Indonesia. Semoga masyarakat Indonesia sehat selalu. Aamiin.

Semoga bermanfaat
Copyright @fqm2020
References 1 2 3 4 5 6

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun