Judul Buku : Ikan Adalah Pertapa
Judul Asli : 오래된 것들을 생각할 때에는 (Pada Saat Merenung Hal-hal yang Kuno)
Pengarang : Ko Hyeong Ryeol
Penerjemah : KimYoung Soo dan Nenden Lilis Aisyah
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta
Tahun Terbit : 2023
Tebal : xxiii + 259 halaman
Ikan adalah Pertapa merupakan sebuah karya sastra yang menawarkan keindahan puisi yang diambil dari antologi dalam bahasa Korea berjudul 오래된 것들을 생각할 때에는 (Pada Saat Merenung Hal-hal yang Kuno). Buku ini ditulis oleh Ko Hyeong Ryeol yang kemudian diterjemahkan oleh KimYoung Soo dan Nenden Lilis Aisyah. Kumpulan puisi yang diterjemahkan dengan baik ini sangat menarik perhatian dengan tema sebuah perjalanan mendalami makna kehidupan.
Buku kumpulan puisi dwi bahasa (Indonesia – Korea) ini terbagi menjadi empat bagian, yakni (1) Bagai Kenangan Milik Cahaya yang Sangat Dekat, (2) Bideondae dan Puisi Prosais Setelah Makan Mie Dingin, (3) Gerombolan manusia debu, dan (4) Ada kenyataan yang belum terbongkar. Melalui tema-tema yang dihadirkan dalam buku ini, Ko mampu melibatkan pembaca dalam perjalanan emosional yang mendalam yang memungkinkan pembaca untuk terhubung dengan puisi-puisinya.
Pada bagian pertama terdapat 15 puisi yang cenderung membahas tentang kehidupan yang tak selamanya berjalan sesuai dengan harapan. Pada kutipan berikut memperlihatkan bahwa jalan yang dimaksud ialah tujuan atau harapan kita sebagai manusia di masa depan. Namun, sampai sekarang kita belum bisa mencapai tujuan tersebut.
Hingga saat ini, jalan itu belum tiba di jalan itu
Jalan itu belum pernah tiba di jalan itu (“Berdiri di Jalan yang Tidak Datang Lagi, Ryeol, hlm. 32)
Sama seperti bagian pertama, bagian kedua dalam buku ini juga menyajikan 15 puisi. Temanya merujuk pada perjuangan untuk tetap terus bertahan di situasi yang terlihat tidak adil. Salah satunya ialah dalam puisi berjudul “Kipas Angin”.
Kipas angin terlalu adil untuk semua
Tak memberi angin tambahan bagi orang yang kepanasan
Dia sama sekali tidak tahu
keluarga asing berkumpul di depannya
Namun demian, musim panas tak merasa sedih dengan
ketidakadilan serupa itu (“Negeri Kipas Angin”, Ryeol, hlm. 74)
Ketidakadilan pada kutipan di atas telihat dengan sangat jelas. Kipas angin memberikan kinerja, yakni menghembuskan kekuatan angin yang sama bagi sekitarnya. Hal tersebutlah yang membuat bahwa keadilan yang penyair maksud bukanlah sekadar pembagian sama rata, tetapi perhatian lebih bagi golongan yang ternyata membutuhkan “angin” ekstra.
Selanjutnya, terdapat 13 buah puisi dalam bagian ketiga dalam buku ini. Adapun tema yang diangkat pada bagian ketiga cenderung kepada perenungan hidup yang penuh makna, seperti pada kutipan puisi yang berjudul “Selembar Peta Genome Ayahku”.
Apakah tiga miliar pasangan neuron dikali seratus triliun
dapat menciptakan satu manusia?
…
Sebuah tubuh
berjuang menampung semua hal yang dianggap penting
Namun sebenarnya tak berguna (“Selembar Peta Genome Ayahku”, Ryeol, hlm. 110)
Pada bagian terakhir buku ini, bagian empat, diisi dengan 17 buah puisi yang cenderung mengangkat tema-tema tentang potret kehidupan sosial. Salah satunya ialah dalam puisi berjudul “Ruang Tamu yang Pilu”. Ketidakadilan dan ketimpangan sosial dapat kita lihat pada kutipan puisi di berikut. Dengan jelas bahwa ketimpangan-ketimpangan yang terjadi saat ini sudah menjadi sesuatu yang sangat mudah dijumpai.
Diskriminasi, isolasi, konsentrasi, pilihan, dan kesalahan dan
etika telah lama menjadi barang mewah (“Ruang Tamu yang Pilu, Ryeol, hlm. 196)
Kemudian, pada kutipan puisi berjudul “Di dalam Dunia Korupsi” yang memperlihatkan bahwa hari-hari ini lebih mudah dijumpai perbuatan serakah dibandingkan sebuah ketulusan.
Korupsi menguasai kemurnian
Korupsi lebih memusnahkan dan produktif daripada
kemurnian (“Di dalam Dunia Korupsi”, Ryeol, hlm. 192)
Kekayaan diksi dalam buku ini memperlihatkan bagaimana puisi dihadirkan dengan kata-kata yang sederhana dan gamblang hingga kepada puisi yang hadir menggunakan kata-kata yang rumit. Banyaknya penggunaan diksi yang kuat tersebut dapat membuat pembaca kesulitan untuk memahami makna dari puisi-puisi Ko tersebut. Namun, permainan diksi yang disajikan oleh Ko tetap membuat puisi ini asik untuk dibaca, kerumitan pada diksi-diksinya memberikan kesan yang kuat dan tetap dapat memukau para pembacanya.
Kemudian, keberagaman imaji, seperti imaji pendengaran, visual, perasa, dan lain sebagainya dihadirkan dalam puisi-puisi Ko, seperti pada kutipan berikut.
Ujung Vladivostook yang tak dapat kembali lagi
Di sauna bagaikan neraka
Daun biru tua memukul dirinya sendiri sekuat tenaga hingga
tulang daunnya remuk (“Aku Telah Mati pada Waktu Itu, Ryeol, hlm. 22)
Perhatian yang tepat pada tipografi pun dapat kita lihat pada beberapa kutipan di atas. Tipografi yang menjorok ke dalam menciptakan efek visual yang membantu dalam memperkuat makna atau pesan puisi. Adanya penekanan visual pada kata-kata atau frasa tertentu dapat memperkuat makna puisi sehingga pembaca dapat lebih “masuk” ke dalam “alunan” puisi-puisinya. Ditambah pada keunikan Ko yang menghadirkan objek-objek pada puisinya yang dekat dengan kehidupan. Seperti ikan, rumput, kentang, kucing, kodok, apel, dan lain sebagainya.
Secara keseluruhan, buku Ikan Adalah Pertapa merupakan buku yang menarik untuk dibaca. Tentunya diiringi dengan nilai mutu yang dapat berkontribusi bagi perkembangan kesastraan dunia. Hal tersebut karena penyair berhasil menyajikan tema-tema kehidupan yang membawa kepada perjalanan yang terikat pada kehidupan sehari-hari. Buku ini dapat menjadi inspirasi dan sudut pandang baru bagi kita yang ingin memaknai arti kehidupan.
Sri Fany Bela Ita Br Barus
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H