Mohon tunggu...
Fantasi
Fantasi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Usaha Mikro

" When we are born we cry that we are come to this great stage of fools. " - William Shakespeare -

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Sex Education in 15 Minutes

21 September 2017   20:58 Diperbarui: 21 September 2017   22:51 993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image courtesy of Simon Howden at FreeDigitalPhotos.net

Menjadi orang-tua bagi anak yang berani bertanya kadang-kadang membuat saya harus berakrobat untuk menjawab. Beberapa hari lalu ketika masuk ke mobil untuk berangkat sekolah, putri kami yang sekarang sudah duduk di Kelas 2 SMP  mengagetkan saya dengan pertanyaan," Pa, kalau seorang perempuan sudah pernah melahirkan, apakah dia bisa hamil lagi ?"

Untuk memahami arah pertanyaannya, saya balik bertanya, "Memang mengapa?"

"Bukankah kalau sudah melahirkan perempuan tidak lagi perawan ?  Kalau sudah tidak perawan, bagaimana bisa hamil lagi ?"

"Kata siapa begitu ?" Seingat saya, dia pernah bercerita bahwa di sekolah telah belajar mengenai kehamilan sebagai hasil dari pertemuan sel telur dan sperma. Bagaimana bisa sekarang ada pertanyaan yang terdengar konyol itu ?

"Kata teman-teman. Laki-laki tak mau menikah dengan perempuan yang tidak perawan lagi karena sudah tak bisa hamil."

Saya tertawa. "Tak ada hubungannya keperawanan dengan kehamilan. Keperawanan hanya menandakan bahwa seorang perempuan belum pernah berhubungan seks. Tidak perawan bisa berarti karena pernah berhubungan seks atau sebab lain seperti kecelakaan pada daerah vital."

"Laki-laki juga ada yang perawan ada yang tidak ?"

"Laki-laki tak punya selaput dara. Yang ada itu, laki-laki yang masih perjaka atau tidak. Belum pernah berhubungan seks atau sudah pernah. Tanda-tandanya tak ada seperti pada perempuan."

"Kata Mama, perempuan harus menjaga keperawanan sampai menikah nanti. Bu guru juga pernah bilang begitu. Keperawanan itu untuk apa ?"

Kami sedang ada di mobil menuju sekolahnya yang berjarak tempuh sekitar 15 menit. Bukan saatnya berkhotbah panjang-panjang.  "Keperawanan itu cuma tanda. Yang utama adalah menjaga kehormatan diri, Perempuan yang berhubungan seks hanya dengan lelaki yang menjadi suaminya adalah perempuan terhormat. Perempuan yang berhubungan seks dengan sembarang laki-laki adalah perempuan murahan."

"Jadi, bukan keperawanan yang penting?" putri kami bertanya. Saya membiarkannya menjawab sendiri. Sejenak dia diam, kemudian bertanya,"Menikah itu harus berhubungan seks, ya, Pa ?"

Ini pertanyaan aneh. "Gak juga, sih," saya ambil waktu berpikir. "Memang mengapa ?"

"Mengapa penting amat mengaitkan pernikahan dengan seks ?"

"Maksud kamu ?"

"Tadi itu, Papa bilang kita tak boleh berhubungan seks sebelum menikah. Terus, ada berita, orang-orang menikah supaya bisa berhubungan seks. Memangnya seks itu untuk apa ?"

Ya, ampun! Seusia tiga belas tahun seperti putri kami sekarang - bahkan sampai akan menikah pun - saya tak pernah berani bertanya begini pada ayah atau ibu saya. Ah, anak-anak (eh, remaja) zaman sekarang memang sudah sangat maju.

"Seks bukan keharusan," saya menjawab cepat. Tapi kemudian setengah meralat saya lanjutkan, " Tentu saja, kalau mau punya anak harus berhubungan seks. Bisa sih pakai cara kedokteran modern, punya anak tanpa berhubungan seks. Itu kalau ada masalah dengan kesuburan atau fisiologis pada suami istri."

"Terus ...?" tampaknya dia menangkap kehati-hatian dalam jawaban saya.

"Seks memang bukan keharusan. Suami isteri berhubungan seks bukan hanya untuk mendapatkan keturunan. Mereka juga melakukan hubungan seksual karena itu menyenangkan."

"Ha...?!" tampaknya dia kaget dengan jawaban gamblang itu. Saya tak bisa melihat reaksi wajahnya, karena dia duduk di bangku belakang. Tidak di jok depan, agar memudahkannya keluar dari mobil nanti. Posisi sekolahnya ada di sebelah kanan jalan.

 "Memang menyenangkan. Itu sebabnya setelah anak-anak masuk usia remaja, ingin mencoba-coba. Itu naluri."

"Kata Mama, jangan dekat laki-laki, nanti bisa hamil. Padahal, 'kan tak mungkin hamil kalau tak berhubungan, 'kan?"

"Memang tidak akan hamil  kalau tidak berhubungan seks. Tapi, kalian remaja...ah,sebenarnya kebanyakan orang dewasa juga..., tidak paham kekuatan naluri seksual. Pegangan tangan, lalu kissing, lalu berlanjut lagi... itu yang akhirnya menjerumuskan ke hubungan yang tak seharusnya terjadi."

 "Begitu ? Pasti hamil ?"

"Tak selalu. Kehamilan pastilah bencana bagi anak remaja. Tapi, bukan kehamilan itu yang jadi masalahnya. Sekarang ini banyak anak remaja sudah tahu cara mencegah kehamilan setelah berhubungan seks," saya menuturkan. "Kehormatan diri. Itu yang paling perlu dipertahankan."

"Tapi, Pa, masa karena pegangan tangan saja, bisa keterusan ke hubungan seks ? Lagian, 'kan pegangan tangan juga di antara banyak orang, masa bisa lanjut ke hubungan seks?"

Sekolahnya sudah semakin dekat. Saya harus bisa menjelaskan dengan singkat. Cahaya matahari muncul dari arah depan, saya menurunkan sedikit sun visor di atas kepala. Sebuah gagasan muncul.

"Begini," ujar saya sambil mengatur kemiringan penghalang sinar matahari itu. Sekitar 45 derajat. "Ketika pria dan wanita bermain-main  dengan dorongan seksual mereka, itu seperti orang yang bermain-main di tepi jurang."

Saya menyusuri pinggiran sun visor dengan tangan kiri sementara tangan kanan terus mengemudi. Jalanan mulai macet dengan kendaraan pengantar anak sekolah. "Bayangkan, ini adalah tepi jurang yang dalam dan landasan miring ini adalah pematang tempat mereka bermain-main. Risiko jatuh sangat besar. Bermain di tepi jurang seperti ini, tinggal menunggu waktu untuk jatuh."

Saya tidak tahu apakah ilustrasi yang saya berikan berlebihan dan apakah putri kami menangkap maksud saya. Dia turun dari mobil setelah pamit dengan mencium punggung tangan saya dan bergabung dengan teman-temannya menuju gedung sekolah. Saya mengiringi dengan sepotong doa untuk keselamatannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun