"Hah ?!"
Si perempuan beringsut sedikit dari duduknya. Menjauh dari meja bundar tempat mereka berdua baru saja menyelesaikan makan malam. Lampu hias warna warni berdaya kecil yang digantung di pepohonan sekitar kafe dan lilin yang cahayanya terus berayun dimainkan angin tak cukup jelas menampakkan ekspresi si lelaki. "Kamu akan mati jika aku mengatakan apa ?"
"Jika kamu mengatakan kata-kata kutukan itu."
Si perempuan coba mencerna kata-kata yang baru didengarnya. "Kata-kata kutukan apa ?"
Lelaki itu diam sesaat.
"Itu yang terjadi jika aku atau kamu mengatakannya. Itu menjadikannya seperti kata-kata kutukan."
"Siapa yang membuat aturan seperti itu?"
"Aku sendiri. Itu suatu kekeliruan. Tapi, saat itu aku merasa sumpah seperti itulah yang harus kuikuti untuk menebus kepecundanganku. Aku telah bersumpah di masa lalu tak akan mengucapkan kata-kata itu kepada yang lain. Juga tak akan menerima kata-kata itu dari yang lain"
"Selain kepadanya ? Selain darinya?" perempuan itu menyapukan pandangannya ke kejauhan. Kerlap-kerlip cahaya dari bangunan yang berserakan di hamparan kota di bawah langit malam terlihat bagai guratan-guratan yang gelisah di atas kanvas bisu.
"Ya. Kamu tahu tentang dia."
Lelaki itu lalu diam, merasa dadanya sesak mengingat kegagalannya untuk membuktikan kesungguhannya tentang kata-kata yang pernah dia ucapkan. Kata-kata itu akhirnya cuma jadi ungkapan kosong yang tak berdaya melawan sekat-sekat sosial yang membatasi pengejawantahannya. Kata-kata itu kehilangan makna; bersama itu hilang pula sebagian alasannya untuk hidup.