By : Fantasi (No. 126)
Â
"Aku akan mati begitu mengatakannya," ujar sang lelaki sambil meletakkan sendok dan garpu dengan berhati-hati di atas piring porselen. Dia seperti baru mengumpulkan kekuatan dan berucap buru-buru sebelum keberaniannya hilang.
"Mengatakan apa ?" perempuan di hadapannya mengangkat wajah dan menatapnya heran. Dia juga baru menyelesaikan suapan terakhir.
"Itu yang tak bisa aku katakan."
"Kalau begitu, jangan katakan."
"Tapi, aku akan mati jika aku tak mengatakannya. Setidak-tidaknya aku akan merasa mati jika aku tak pernah mengatakannya."
"Kamu membingungkanku."
"Ya, aku bingung."
"Kamu ingin aku membantumu untuk mengatakannya ?"
"Jangan!" sergah lelaki itu, telunjuk kanannya terangkat dan mengarah ke bibir perempuan di depannya. "Aku akan mati jika kamu mengatakannya."
"Hah ?!"
Si perempuan beringsut sedikit dari duduknya. Menjauh dari meja bundar tempat mereka berdua baru saja menyelesaikan makan malam. Lampu hias warna warni berdaya kecil yang digantung di pepohonan sekitar kafe dan lilin yang cahayanya terus berayun dimainkan angin tak cukup jelas menampakkan ekspresi si lelaki. "Kamu akan mati jika aku mengatakan apa ?"
"Jika kamu mengatakan kata-kata kutukan itu."
Si perempuan coba mencerna kata-kata yang baru didengarnya. "Kata-kata kutukan apa ?"
Lelaki itu diam sesaat.
"Itu yang terjadi jika aku atau kamu mengatakannya. Itu menjadikannya seperti kata-kata kutukan."
"Siapa yang membuat aturan seperti itu?"
"Aku sendiri. Itu suatu kekeliruan. Tapi, saat itu aku merasa sumpah seperti itulah yang harus kuikuti untuk menebus kepecundanganku. Aku telah bersumpah di masa lalu tak akan mengucapkan kata-kata itu kepada yang lain. Juga tak akan menerima kata-kata itu dari yang lain"
"Selain kepadanya ? Selain darinya?" perempuan itu menyapukan pandangannya ke kejauhan. Kerlap-kerlip cahaya dari bangunan yang berserakan di hamparan kota di bawah langit malam terlihat bagai guratan-guratan yang gelisah di atas kanvas bisu.
"Ya. Kamu tahu tentang dia."
Lelaki itu lalu diam, merasa dadanya sesak mengingat kegagalannya untuk membuktikan kesungguhannya tentang kata-kata yang pernah dia ucapkan. Kata-kata itu akhirnya cuma jadi ungkapan kosong yang tak berdaya melawan sekat-sekat sosial yang membatasi pengejawantahannya. Kata-kata itu kehilangan makna; bersama itu hilang pula sebagian alasannya untuk hidup.
Dingin angin menusuk dari celah-celah pepohonan. Desau dedaunan menggundah dua anak manusia yang larut dalam pikiran masing-masing di keheningan pojok kafe taman yang sepi pengunjung saat itu.
Perempuan itu membetulkan rambutnya yang jatuh ke dekat mata. Bibirnya sedikit bergetar ketika berdesis pelan, "Kamu tak bisa move on."
Si lelaki duduk diam, memegangi pinggir meja, sekali atau dua kali terdengar melepaskan nafas panjang. Si perempuan menemukan alasan untuk memacakkan mata hampir tanpa berkedip ke sinar terjauh yang masih terlihat di tepi kota. Hanya ada malam dan angin mengisi ruang di antara mereka.
"Mungkin memang lebih baik kita mengakhiri relasi yang timpang ini," perempuan yang mulai merasa kedinginan itu akhirnya memecah kesunyian.
"Bukan, bukan begitu akhirnya," sang lelaki memotong. "Kebersamaan kita ini terlalu berharga disudahi oleh kebodohan yang kulakukan di masa lalu."
"Kamu mencabut kutukanmu?"
"Tidak. Aku akan lebih terkutuk jika mencabut ucapan bibirku sendiri. Karena itu, aku akan berhenti berkata-kata. Aku tak mau membuat ketololan yang sama seperti dulu. Kalau kamu mengerti jawablah aku tanpa kata-kata."
Lelaki itu menjulurkan tangan kanannya dan mengambil tangan kiri sang perempuan. Meletakkan tangan perempuan itu di dadanya beberapa lama, lelaki itu kemudian mengangkat dan menyentuhkan jemari sang perempuan ke bibirnya dan membiarkannya terus di sana.
Sang perempuan terpana. Dia merasa ada bulir hangat mengalir di punggung tangannya. Dia menggamit dan membawa jemari sang lelaki mendekat ke kepalanya dan menundukkan dahinya hingga menempel pada punggung tangan lelaki itu. Dia merasa ada yang hangat mengalir dari rongga matanya membasahi ujung jemari lelaki itu.
---------------------
Â
Kunjungi juga ya....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H