Saya sedang berada di ketinggian beberapa ribu kaki di atas permukaan bumi di dalam sebuah pesawat terbang yang sedang terguncang-guncang menghadapi gumpalan awan dan angin. Masih ada sekitar satu jam lagi sebelum tiba di tujuan.Dalam situasi tanda "kenakan sabuk pengaman" menyala, tiba-tiba seorang penumpang di bagian depan bangkit dari tempat duduk dan berjalan ke arah cockpit sambil berseru, "Saya akan keluarkan pilot dari pesawat!"
Orang-orang di barisan kursi paling depan berusaha mencegah menghalangi orang tersebut mendekati pintu cockpit.
"Ada apa?" tanya seseorang dari mereka.
"Pilot ini pernah memalsukan dokumen kependudukan. Orang seperti ini mungkin juga pernah nyontek waktu kuliah atau waktu mendapatkan lisensi pilotnya. Maka saya khawatir sekarang ini dia akan membawa pesawat ini ke tempat yang salah."
Tiba-tiba dari bagian tengah muncul seorang perempuan muda dan ikut berteriak," Ya, ya, lempar saja dia keluar. Dia pernah colek bokong saya lima tahun yang lalu. Orang tidak beretika seperti itu tak pantas mengendalikan pesawat."
Keriuhan meninggi. Beberapa orang mulai berkomentar. Sebagian mengolok-olok keabsurdan situasi itu, tetapi sebagian lagi mendukung atas nama hukum, moral dan etika.
Sebagian besar penumpang tampak ketakutan, karena apa jadinya dengan nasib kami jika pilot benar-benar dibuang dari pesawat. Belum habis kebingungan itu, seorang dari barisan belakang menerobos ke cockpit dan entah bagaimana bisa membuka pintunya. Dalam beberapa saat dia keluar dengan seorang berpakaian awak pesawat.
"Ini ko-pilot," teriak lelaki besar berkumis tebal itu sambil mencengkeram leher orang yang bersamanya, "adalah penipu! Dia pernah makan di warung saya dan mengaku hanya mengambil ikan padahal menurut karyawan saya, dia juga mengambil ayam balado. Dia nembak bayarnya. Penipu seperti ini sungguh berbahaya, dia bisa menyelewengkan arah pesawat."
Teriakan yang mendukung pilot dan ko-pilot dibuang ke luar semakin banyak. Tetapi, sebagian lagi protes keras, "Pesawat akan jatuh kalau pesawat tidak ada yang mengemudikan."
Mereka yang menginginkan pilot dan ko-pilot dieksekusi bergeming. Seseorang mewakili mereka berkata, "Kita sudah hubungi ATC dan minta Presiden Jokowi dan Menteri Jonan dengan persetujuan DPR mengirimkan pilot dan ko-pilot baru!"
Wah, semakin tak masuk di akal saja ini. Tak tahan berdiam diri, saya berteriak di tengah keriuhan, "Apa salahnya menunggu satu jam lagi? Setelah itu kita bisa serahkan mereka ke pihak yang berwenang di bandara."
Seorang di antara kerumunan dekat cockpit menyahut, "Semua warga sama di mata hukum. Setiap pelanggaran besar atau kecil harus dihukum. Jangan ada penundaan. Pilot dan ko-pilot ini merasa sebagai malaikat, karena mereka merasa tak bisa dihukum kalau sedang berada di atmosfir bumi."
"Benar... benar!" seorang pria berperut gendut yang ada di kursi di seberang kursi saya menyahut sambil menghembuskan asap dari mulutnya. "Pilot dan ko-pilot sudah bertindak sewenang-wenang. Mereka mengatur kapan kita boleh ke toilet, kapan harus mengikat pinggang, bahkan mereka melarang kita merokok dalam pesawat."
What?! Saya makin bingung. Ada apa ini semua?
Pesawat terguncang-guncang lebih keras. Tapi, sebagian orang-orang tak peduli, yaitu mereka yang menginginkan pilot dan ko-pilot dibuang dari pesawat. Sejumlah penumpang tua dan wanita mulai berdoa.
"Sebentar lagi pesawat yang membawa pilot pengganti segera tiba,"Â terdengar seseorang mengumumkan melalui speaker peswat. "Harap penumpang tenang. Semua dalam kendali."
Saya tak percaya semua ini terjadi. Saya mencubit lengan kiri untuk memastikan ini bukan mimpi. Pada saat itu mata saya tertumbuk pada gambar di monitor di depan kursi : Ada wajah Abraham Samad dan Bambang Widjojanto di sana. Mereka menyapa , "Kami berharap Anda mendapat pengalaman yang menyenangkan dalam penerbangan ini."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H