Wah, semakin tak masuk di akal saja ini. Tak tahan berdiam diri, saya berteriak di tengah keriuhan, "Apa salahnya menunggu satu jam lagi? Setelah itu kita bisa serahkan mereka ke pihak yang berwenang di bandara."
Seorang di antara kerumunan dekat cockpit menyahut, "Semua warga sama di mata hukum. Setiap pelanggaran besar atau kecil harus dihukum. Jangan ada penundaan. Pilot dan ko-pilot ini merasa sebagai malaikat, karena mereka merasa tak bisa dihukum kalau sedang berada di atmosfir bumi."
"Benar... benar!" seorang pria berperut gendut yang ada di kursi di seberang kursi saya menyahut sambil menghembuskan asap dari mulutnya. "Pilot dan ko-pilot sudah bertindak sewenang-wenang. Mereka mengatur kapan kita boleh ke toilet, kapan harus mengikat pinggang, bahkan mereka melarang kita merokok dalam pesawat."
What?! Saya makin bingung. Ada apa ini semua?
Pesawat terguncang-guncang lebih keras. Tapi, sebagian orang-orang tak peduli, yaitu mereka yang menginginkan pilot dan ko-pilot dibuang dari pesawat. Sejumlah penumpang tua dan wanita mulai berdoa.
"Sebentar lagi pesawat yang membawa pilot pengganti segera tiba,"Â terdengar seseorang mengumumkan melalui speaker peswat. "Harap penumpang tenang. Semua dalam kendali."
Saya tak percaya semua ini terjadi. Saya mencubit lengan kiri untuk memastikan ini bukan mimpi. Pada saat itu mata saya tertumbuk pada gambar di monitor di depan kursi : Ada wajah Abraham Samad dan Bambang Widjojanto di sana. Mereka menyapa , "Kami berharap Anda mendapat pengalaman yang menyenangkan dalam penerbangan ini."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H