Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Elegi Sekuntum Melati

10 Februari 2023   05:32 Diperbarui: 10 Februari 2023   05:43 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau ia benar-benar mencintaiku sudah selayaknya mas Ilham harus membantuku memupus seluruh kenangan masa silam yang kelam. Siap membuka lembaran hidup baru bersama. Prinsipku seperti itu. Nyatanya ia bersedia menerimaku sebagai calon istri apa adanya.

Demikianlah aku akhirnya menikah bersama lelaki yang ternyata mampu menunjukan kelapangan hatinya. Tak satu kalipun ia pernah mengungkit bagian kelam dalam diriku yang sedang kuperjuangkan guna  kulupakan. Sebagai balasan aku mencoba menjalankan peranku sebagai istri, kemudian menjadi ibu sebaik mungkin.
                                                                    ***

Kini kami kembali dipertemukan setelah berpisah hampir tiga dasa warsa lamanya.
Kesimpulannya, bagiku cinta pertama bukanlah sesuatu yang mudah dilupakan. Meninggalkan jaringan parut dalam hati, seberapa besarpun usahamu untuk melupakannya.

Pak Bob berlutut sambil menumpukan kedua tangannya di pegangan kursi goyang yang kududuki. Kami sama-sama menua dimakan usia. Namun cinta lama itu kembali mekar bersemi.
"Sepergimu aku mengajukan pensiun dini dan hidup menyepi di villa itu."

Dengan kalimat terbata-bata ia menceritakan hari-harinya menjalani masa berkabung sambil mengenang jejak-jejak cinta kami.
"Hatiku hancur demi mengetahui engkau sudah menikah," ia melanjutkan masih dalam posisi berlutut. Mengambil tanganku dan meremasnya erat.
Aku membuka mataku yang mengabur. Basah oleh titik air keharuan. Kehilangan kata-kata.

Kami saling menatap sendu. Kurasa ia pasti setuju, betapa mahalnya cinta kami berdua. Begitu panjang waktu tercurah untuk berusaha saling melupakan. Begitu besar energi dihabiskan guna mengubur rasa rindu. Sungguh menyedihkan karena kini terbukti, semua upaya itu sia-sia belaka. Kami masih tetap saling mencintai. Mirip sepasang kupu-kupu terbang mengarungi sisa hari sebelum terjebak kegelapan malam.
"Melatiku," bisiknya. "Aku ingin memetikmu dan membawamu bersamaku."

Aku menghela napas panjang.

"Aku ingin membicarakan ini terlebih dulu dengan kedua anakku." ( fan.c)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun