Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Elegi Sekuntum Melati

10 Februari 2023   05:32 Diperbarui: 10 Februari 2023   05:43 328
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Cukup lama sudah mas Ilham pergi. Namun aku masih belajar menguraikan peristiwa itu dengan segenap jiwa dan emosi. Berusaha menyusupkan pemahaman yang nyata, bahwa dia benar-benar sudah pergi. Menguap dan hilang dari radar kehidupanku. Tidak akan pernah kembali walau upaya apapun coba kulakukan. Meratap, berdoa. Termasuk memohon ampun atas segenap kesalahan masa laluku.

Namun suami pendamping hidupku selama tigapuluh tahun itu tetap membisu.

Ia menjauh dan kian menjauh. Menyisakan sisa-sisa senyumnya yang pudar disela-sela derita laranya yang ia tanggung hampir tiga tahun. Membiarkan jiwa-raga digerogoti kanker hati. Sembari mempersiapkan mentalku agar belajar melanjutkan hidup sebagai wanita mandiri. Karena meskipun kami punya dua orang anak, mereka punya dunianya sendiri. Aku tidak boleh mengusiknya.

Aku merebahkan diri di kursi goyang. Beranda kini senyap seusai misa memperingati seratus hari kepergian mas Ilham. Sayup-sayup kudengar kesibukan kedua anakku dan pasangan hidup mereka tengah berbenah.  Mereka harus kembali ke kota dan rumah masing-masing guna melanjutkan hidup. Sesudah tiga bulan turut bergulat dalam kesedihan dan keletihan bersamaku.

Mendampingi sang ayah beranjak pergi dari dunia fana ini. Serta mencoba menyuntikkan kekuatan mental padaku, bahwa hidup akan baik-baik saja. Yang dibutuhkan cuma kehendak menyesuaikan diri dengan pola yang baru. Toh kalau ada masalah mereka siap pulang untuk membantu.

Aku hampir saja terlelap tatkala Reksa, anak keduaku menyentuh lenganku. Membisikiku sambil menyerahkan sekuntum Melati kepadaku.

"Ada seseorang mencari ibu. Katanya ibu akan tahu siapa beliau melalui bunga ini."

Aku tercekat beberapa lama hingga akhirnya sadar, ini bukan mimpi. Aku bahkan belum sempat tertidur. Bagaimana mungkin dia bisa muncul kembali?

                                                                  ***

Aku memanggilnya pak Bob. Beliau adalah dosen tamu di fakultas Psikologi Maranatha. Memberikan mata kuliah Anatomi dan Susunan Syaraf selama dua semester. Tepatnya untuk semester empat dan lima.

Sebagai mahasiswi muda yang tidak begitu mengenal dunia lelaki, bagiku dokter muda itu amat menakjubkan. Ia tampil cerdas tiap kali membawakan materi kuliahnya. Penyampaiannya runut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun